Malam yang dingin menusuk sum-sum tulang. Penderitaanku kian memburuk, saat kubaca chat WhatsApp-an. Aku kalap. Rasa berubah makna. Aku sempat berpikir untuk menanggapinya biasa saja. Namun, semakin kuanggap biasa, semakin sesak kurasa. Ini luar biasa, sampai keringat membasahi tubuhku yang kaku.
Aku Malu Mengenalkanmu pada Orang Tuaku!
Aku tak tahu bagaimana membalasnya. Orang yang kusayang, mengaku sayang kepadaku juga, malu mengenalkanku pada orang tuanya.
"Di manakah cinta apa adanya yang pernah kau ucapkan?" gumamku lirih menahan sakit.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.
(Kutipan Puisi "Pelarian" Chairil Anwar, 1943)
Aku hancur seketika. Dua jiwa tidak menyatu dalam dendang asmara yang menggema. Aku tenggelam dalam buai cinta yang tak nyata.
"Aku debu di hidupmu," gumamku.
Perlahan sedihku tak tertahan. Kutatap layar ponselku dengan wallpaper fotonya. Aku sekejap membencinya. Cinta yang kuat runtuh seketika. Aku kalah!
Dering ponselku berbunyi.
"Belum puaskah ia menyakitiku?" tanyaku lirih saat kutahu ia mengirimku pesan.
Kok tak dibalas? Ih, males deh! Dasar, tidak hobi membaca! Novel sebagus itu kusarankan dibaca, malah tak respon.
  Â
Aku gelagapan. Kuusap air mata yang terlanjur jatuh. Aku bergegas memasang kembali fotonya di-wallpaper ponselku.
Heeee, maaf, tadi sibuk bantu Ibu.
Aku rebahan membayangkan senyumnya. Aku sangat lemah bila kisahku dengannya usai.
30 Nov 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H