Emosi yang Tertahan
  Â
  Aku mendengar cerita istriku sore itu, saat kami menikmati kopi. Serasa aku tertikam. Dadaku tiba-tiba sesak. Bayangkan jalangnya perempuan itu. Mengkhianati suaminya yang sangat setia.
   "Kasihan ya," kata istriku.
   "Dasar, jalang," teriakku sambil menggebrak meja.
   "Aduh, panas," teriak istriku.
   "Maaf, aku terlampau emosi," kataku sambil membersihkan kopi di bakunya.
   "Belum lagi, suaminya sakit-sakitan, Pak. Tega sekali!" kata istriku lagi.
   Pikiranku mulai tak karuan. Emosiku memuncak sampai ke ubun-ubun. Tubuhku mendadak panas. Aku marah besar. Pak Ari, suami, Nita, karibku sejak dulu. Aku tahu betul, ia orang baik, yang rela berkorban demi istrinya. Aku menggeleng.
   "Bagaimana keadaan suaminya, Bu?"
   "Masuk RS, Pak."
   "Astaga! Apa perselingkuhan itu penyebabnya, Bu?" tanyaku mencari tahu.
   "Bukan, Pak. Jadi suaminya gejala stroke, lalu di rawat. Nah, Si Nita keseringsn ketemu dokter yang merawatnya. Jadilah hal tersebut," jelas istriku.
   "Kasihan Pak Ari," kataku.
   "Pak Ari siapa, Pak?" istriku terlihat bingung.
   "Kok tanya? Suami, Nita," kataku.
   "Memangnya kenapa?" tanya istriku.
   "Kok balik tanya?" aku bingung.
   "Kan Bapak yang bilang?"
   "Kan, Ibu cerita, Nita selingkuh?"
   "Aduh, dasar, Bapak! Nita di televisi, Pak. Sinetron," istriku terbahak.
   Aku menghela nafas,"Jadi bukan, Nita, tetangga kita, Bu?"
   Istriku mengangguk.
   "Prak!" aku menggebrak meja.
   "Kenapa, Pak?"
   "Mau ke rumah, Nita," jawabku.
   "Bapak, dasar genit. O jadi, Bapak suka lihatin, Nita, istri Pak Ari?" istriku cemberut.
    Aku terbahak.
06 Oktober 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H