Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Fiksi Mini: Saat Senyumannya Datang

6 Oktober 2023   06:22 Diperbarui: 6 Oktober 2023   06:36 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

               Saat Senyumannya Datang

      Aku mengaguminya. Sungguh! Hal ini bukan karena rupanya yang menawan, tetapi lebih ke pembawaannya yang meluluhkan. Masih membekas dalam benak, kejadian dulu, yang tak sengaja di perempatan jalan.
     "Arkh!"
     "Maaf, maaf," kataku.
     Aku membopongnya ke pinggir jalan. Ia tampak kesakitan. Aku merasa bersalah, sehingga ada niat mengantarnya ke apotek terdekat.
     "Aku antar ke sana ya," kataku sambil menunjuk ke seberang, arah apotek.
     Aku tersenyum mengingat hari itu. Hari di mana benih-benih rindu ini tumbuh. Aku makin bersemangat menemuinya sore ini, di taman.
     "Aku tunggu kamu di tempat biasa, Lan," pesan Wawan.
     "Kali ini, kamu nongkrong sendiri saja. Aku ingin menemui gadisku," balasku.
      "Ah, dasar! Ya sudah, deh," balasnya.
      Aku tidak peduli lagi soal nongkrong dengan, Wawan. Pikiranku sekarang dipenuhi bayangan gadis rupawan dambaanku. Itulah mengapa aku di sini, duduk menanti orang yang cintai. Aku sudah siapkan puisi untuk menarik simpatinya.
     
 Apabila senyummu selalu mekar di hatiku
Jangan larang jika aku selalu rindu dan mencintaimu

(Kutipan Puisi Dr. Zawawi Imran)
 
    Aku sengaja mengutip puisi ini, sebab memang aku selalu merindukannya. Rindu itu begitu hebat. Saking hebatnya, aku tidak peduli lagi dengan dunia, karena diniaku adalah dirinya.
     "Dari tadi di sini?" tanyanya manis.
      Astaga, aku tak sanggup berpaling. Senyumnya luar biasa manis. Aku terus menatapnya. Aku merogoh saku, hendak mengambil secarik kertas berisi puisi yang kusiapkan. Aku sudah mantapkan diri untuk tampil berani.
     "Eh, kamu di sini," katanya.
     Suara itu aku tahu persis. Aku sedikit kecewa, ia datang saat yang kurang pas.
      "Ya," kata dengan memasang senyum masam.
      "Kamu saling kenal?" tanyanya.
       Wawan tersenyum,"Ini kawanku, Ma, Alan," kenal wawan.
       Aku mematung. Wajahku memerah karena malu. 
       "Aku tahu, Wan, dari ponselmu. Makanya ngajak ketemuan."
       "Begini, Lan, sejak ditinggal ayahnya, Wawan tidak ada teman selain kamu. Tante hanya mau bilang, rawatlah persahabatan kalian."
        "Lan, mana gadis yang mau kamu temuin? Katanya kenal saat di perempatan," goda Wawan.
        Aku terdiam malu. Tante Rini, menatapku malu-malu.
   
      04 Oktober 2023

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun