Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

In Solitude

3 Oktober 2023   07:15 Diperbarui: 3 Oktober 2023   07:35 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

                           In Solitude

        Kesepian itu bentuk pembunuhan yang tidak kentara, tapi sakitnya terasa tak tertahan. Itulah terjadi padaku. Aku tak merasa bahagia. Sebaliknya sepi melilit hari-hariku.
     "Bukannya masa lalu dilupakan, Ndra?" Randi membuka percakapan sore itu.
      "Tidak, Ndi,' jawabku pelan.
      "Ya harus ia, Ndra. Lihatlah dirimu, murung saban hari, jadi kurus kan?" lanjut Randi.
       "Masa lalu itu jejak perjalanan, Ndi. Jangan dilupakan," kataku.
       "Kasihan dirimu, Ndra," katanya lagi.
       "Aku belum bisa move on, Ndi. Perjalan kami terlalu indah. Kamu tahu kan, bagaimana aku memujanya?"
       Randi menggeleng. Ia tahu, percuma menasehatiku. Toh, aku masih begini: merindukannya dalam sepiku!
       Aku mengotak-atik ponselku. Aku menemukan syair, yang sangat mewakili perasaanku. Aku menyelami maknanya. Tak tertahan, buliran mata turun begitu saja. Aku merindukannya.

           In Solitude

ingin kucumbu bulan malam ini
menanggalkannya dari langit
dan membawanya dalam sepiku

Puisi karya: Medy Loekito (1992)
      Ya, seandainya bisa, aku mencumbu bulan, untuk mendampingi sepiku, mengusir gundahku.
      "Wanda sudah bahagia, Rendra," ucap Randi lagi.
       Aku hanya tersenyum menatapnya.
       "Aku percaya ia kembali padaku, Ndi. Aku percaya itu," kataku sambil mengusap tetesan air mata yang terus jatuh.
      "Jangan mimpi, Rendra. Hei, bangun!" kata Randi.
      "Ndi, hatinya tertinggal di sini. Aku yakin ia kembali," kataku lagi.
      Dering bel rumah berbunyi. Aku menatap Rendi sambil tersenyum. Rendi mematung. Kemudian membuntutiku membukakan pintu. Benar saja. Suara hatiku tak pernah salah. Rendi memelototinya, seolah memastikan.
      "Kamu menangis? Matamu sembab," kata Wanda mengawali percakapan.
     "Ah, tidak. Mana mungkin laki-laki menangis," kataku.
     "Masa sih? Jadi kamu tidak merasa kehilangan?" kata Wanda.
     "Ya, em, aku menangis. Sepi mengikatku," kataku.
     "Aku tahu kamu akan datang," kataku sambil tersenyum.
      Wanda mendekatiku. Ia memelukku erat. Aku menatap Rendi di sampingku. Aku hendak menunjukkan padanya, bahwa Wanda tak bisa hidup tanpaku.
     "Ndra, aku pamit. Aku dan Riko akan menetap di luar negeri," bisik Wanda.
      Aku tak bisa berkata-kata selain melepaskan pelukannya. Air mata yang sempat mengering, mengalir lagi.
      "Maaf, Ndra, ponsel yang aku berikan padamu, tolong kembalikan," ucap Wanda.
      Aku lagi-lagi terdiam. Wanda mengambil ponsel di tanganku.

25 September 2023
     

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun