Rahasia di Serambi Toko
   Hujan terus mengguyur sejak tadi. Kantuk menyerang disaat yang tidak tepat. Hendak menikmati kopi, itu hal yang tidak bisa saat ini. Warung ada di ujung jalan ini. Aku meringkuk sendiri di serambi Toko Tani. Tidak ada yang bisa kuperbuat, ponsel mati sejak tadi. Ah, lengkaplah penderitaan ini.
  "Kapan ya hujan ini berhenti?" suara itu mengagetkanku. Aku tak tahu kapan ia tiba di sini. Aku menoleh ke kiri kanan, tidak ada siapa-siapa. Hendak menyahut, takut dibilang sok kenal. Aku kembali melamun. Kehadirannya tak kugubris.
  "Hai, aku Rena," kenalnya sambil mengulurkan tangan.
  Aku menatapnya. Seolah memastikan, apakah ia benar-benar mau kenalan.
  "Santai saja, jangan terlalu menatapku. Awas kangen lo!" katanya bergurau.
  "Sandi," kataku malu-malu.
  Seperti biasa, adam dan hawa pasti mengalir dalam canda, meski baru berjumpa. Apalagi sama-sama dewasa. Keasikan berbincang, tak sadar hujan sudah menghilang. Aku tak merelakan ia pergi. Semua ini salah hujan yang datang tanpa undangan, berhenti tak memberi pilihan.
  "Apakah kita berjumpa lagi?" tanyanya.
   Aku bimbang. Tatapanku kosong ke jalan seberang. Ada yang tak bisa diperjuang. Mungkin saja ia bimbang, bahkan menghilang jika ia tahu aku tak sendirian datang.
  "Ayah, ayo pulang," anakku Gilang sudah pulang dari toko seberang.
   Aku mematung, memandang wajahnya yang berang. Aku siap menjelaskan, namun perubahan wajahnya membuatku terombang.
   "Gilang, kok kamu di sini? Ma, ini temanku. Kami sama-sama merayakan ulang tahun teman kami, si Lintang, rumah di seberang," kata Kintang.
   Aku tersenyum. Ia hanya menunduk menahan tawa.
   "Sayang, bukankah ini harapanmu, agar anak kita Gilang memiliki ibu penggantimu?" gumamku dalam hati. Ya, istriku meninggal tahun lalu.
  "Yah, ayah Kintang sudah lama menghilang," bisik Gilang.
  12 September 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H