Setengah Sadar
   Aku mulai resah, pandanganku tak terarah. Ini sebabnya tidak terlalu parah. Hanya saja situasinya gerah. Aku bergeser duduk ke arah sebelah, tak tahu kenapa matanya seolah memanah. Bagaimana aku tidak salah kaprah?
   Akalku mulai gundah. Kenakalan seolah diarah. Aku lupa diri sejenak. Seolah tak ada yang salah. Sempat kuingat anak istri di rumah, tapi senyum itu seakan memaksaku untuk berpaling arah! Ini parah!
   Aku masih setia dengan gelas memutar searah jarum jam. Semacam sebuah tradisi jika berkumpul dengan kawan sefrekuensi.
   "Tambah?" tanya temanku di sebelah.
   Aku mengangguk saja. Pandanganku masih terarah ke dua bola mata yang menarik darah. Pesonanya aduhai. Astaga, anak di rumah, tidak jadi soal.
   Malam semakin larut. Denting suara alam menyahut. Aku masih terlarut pada senyumnya yang tak kusut. Entah aku hanyut, sebab beberapa arak kuteguk, tanganku diraih. Tidak ada penyesalan, sebab ini kuingin.
   "Ayo!" katanya.
   Aku kepincut. Tak ada hal lain selain menurut. Khayalanku terbang ke arah nuansa yang tidak surut. Aku menurut.
   "Dasar laki-laki kecut."
    Dalam setengah sadar yang kalut, masih kuingat suara wanita yang cemberut.
4 Agustus 2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H