Mohon tunggu...
Mariani Sutanto
Mariani Sutanto Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog yang berkecimpung dalam parenting, perkembangan anak hingga remaja, dan eksplorasi diri.

Lakukan hal-hal kecil dengan cinta yang besar (Ibu Teresa)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Semerbak Kebaikan Bagi Sesama

16 Juli 2015   22:24 Diperbarui: 16 Juli 2015   22:24 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Keinginan dan mood sering kali berjalan tidak seiring. Sudah lama aku membaca pengumuman blog competition #bekasjadiberkah di Kompasiana ini. Namun setiap kali hendak menulis, jari-jari ini terasa berat dalam merangkai kata dan menuangkannya dalam kalimat untuk menjadikannya sebuah kisah guna dibagikan.

Hari berlalu dan minggu terbilang, berjalannya waktu agak menggerus keinginan yang sempat membuncah itu. Sampai aku digugah oleh apa yang kualami.

Kemarin siang aku mengunjungi seorang ibu. Beliau dahulu adalah pemijat profesional panggilan yang bersedia datang ke rumah-rumah klien yang membutuhkan jasanya. Agak berbeda dengan pemijat lainnya, Ibu Santi dikenal memiliki ketelatenan dan kemampuan dalam hal “membetulkan” urat dan otot tubuh. Jika dipijat olehnya, bisa menghabiskan waktu dua sampai dua setengah jam lamanya. Otot-otot yang meringkel[1] karena lelah bisa langsung mengurai, badan pun akan terasa segar kembali.

Sekian tahun lamanya keluarga kami secara berkala dibugarkan oleh Bu Santi, sampai suatu siang usai memijat kami sekeluarga, beliau berpamitan tidak akan bisa meneruskan profesinya lagi karena akan menjalani pembedahan dan kemoterapi. Kami tentu saja dibuat terkejut dengan berita ini. Terus terang aku merasakan kesedihan yang mendalam dan tidak tahu harus berkata atau berbuat apa di hadapan Ibu yang sudah akrab dengan keluarga kami ini. Pada akhirnya aku hanya bisa mendoakan agar beliau diberi kekuatan dalam perjuangan melawan kanker yang katanya berada di stadium 2A itu.

Setelah setahun “berpisah”, suatu hari kami mendapat kabar gembira bahwa beliau dinyatakan sembuh dan bisa kembali mencari nafkah melalui keahliannya dalam memijat. Sudah pasti aku sangat gembira mendapat kabar ini dan kembali dapat menikmati sentuhan beliau. Namun, kegembiraan ini ternyata tidak berlangsung lama. Setelah aktif bekerja kembali, suatu ketika dokter menyatakan bahwa beliau harus istirahat total, tak boleh melakukan pekerjaan berat apa pun lagi, termasuk memijat. Artinya, beliau harus mengucapkan perpisahan untuk selamanya dengan satu-satunya keahlian yang beliau miliki untuk menunjang nafkah sekeluarga. Untuk kedua kalinya kami dilanda kesedihan dan kian merasakan kehilangan karena “vonis” dokter yang berlaku selamanya ini. Untuk selamanya, kami bukan hanya kehilangan pijatannya, tetapi juga momen-momen di mana kami bisa saling berbagi cerita dan suka duka kehidupan layaknya saudara sendiri.

Semenjak itu kami tak bisa bertemu lagi dengannya sebagaimana biasanya. Entah dapat ide dari mana, tiba-tiba suamiku mengusulkan agar kami sekeluarga sowan[2] ke rumahnya, setidaknya setiap kali menjelang Lebaran. Momen sekali setahun ini ternyata menjadi jalinan silahturahmi yang seolah dapat menghapus hari-hari di mana kami tak saling berjumpa.

Kunjungan menjelang Lebaran kali ini kami berbincang agak lama. Dengan nada bersemangat, beliau bercerita bahwa sebenarnya beliau sempat berkeinginan untuk menjalani profesi memijat lagi, terutama didorong oleh kenyataan bahwa suamiku hanya cocok dengan pijatan beliau—yang mampu mengurai otot di leher dan bahu dengan baik. Namun, sesudah beliau mencoba dengan memijat seorang klien tak jauh dari rumahnya, Bu Santi kembali jatuh sakit.

Perbincangan kami kemudian berlanjut ke topik tentang perawatan pasca kesembuhannya. Beliau mengungkapkan bahwa sebenarnya beliau harus rutin melakukan pap smear dalam enam bulan sekali. Namun karena ketiadaan dana, beliau hanya bisa menjalani pap smear setahun sekali. Tanpa diminta olehnya, kami menyimpulkan bahwa itulah kebutuhan beliau yang paling mendesak saat ini.

Terpikirkan secara serius akan hal ini, tiba-tiba aku teringat akan gerakan #bekasjadiberkah. Tak tinggal diam, hari ini aku segera mendata barang-barang yang selama ini didiamkan karena tidak kupakai lagi. Dari sekian banyak item tersebut, pilihanku jatuh pada sebuah eau de toilette keluaran Kenzo.

Ibuku memberi hadiah parfum ini dengan harapan putrinya mau menggunakannya dan menjadi agak feminin. Aku pernah mencobanya, namun ternyata tidak sesuai dengan jiwaku yang aktif dinamis. Berkali-kali aku berusaha mencobanya, namun akhirnya aku berhenti menggunakannya. Rasanya aku seperti menjadi pribadi yang berbeda saat parfum itu kusemprotkan pada tubuhku. Akhirnya, daripada terjadi konflik antara aroma parfum dan tipe jiwaku, maka aku memutuskan untuk tidak menggunakannya lagi. Sayang memang, karena parfum itu orisinil dan cukup mahal harganya. Namun, apa boleh buat… ia tidak sesuai untukku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun