Undang-Undang Ketahanan Keluarga dan konsep ”gender harmony” yang diusung dalam politik Indonesia cenderung memperkuat stereotip gender tradisional dan berisiko menghambat kemajuan kesetaraan gender, meskipun di permukaan mereka tampak berupaya mempromosikan nilai-nilai harmoni dalam keluarga.
Isu gender masih menjadi tantangan besar bagi Indonesia, terutama jika berbicara soal perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan bahkan dapat terlihat dari sikap misoginis di masyarakat Indonesia. Seperti misalnya ketika perempuan menjadi korban kekerasan, masyarakat kerap justru menyalahkan perempuan. Ketimpangan kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan di Indonesia tentunya tdak lepas dari dominasi nilai-nilai maskulinitas dan patriarki yang tumbuh dan mengakar kuat pada masyarakat Indonesia. Seiring berjalannya waktu, gerakan feminisme, yaitu sebuah gerakan yang membawa ideologi dengan tujuan memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah masyarakat yang memiliki budaya patriarki yang kuat, semakin banyak dikenali oleh masyarakat Indonesia. Menurut Walby (1989), perspektif feminisme mengakui adanya ketidaksetaraan sosial antara laki-laki dan perempuan. Namun, tentunya tidak semua masyarakat Indonesia menyetujui perspektif yang dibawa oleh gerakan feminisme.
Sebagai contoh nyata, masih terdapat kesenjangan gender di dunia kerja. Data dari Badan Pusat Statistik tahun 2023 menunjukkan bahwa di DKI Jakarta saja hanya 50,12% perempuan yang aktif dalam angkatan kerja dan itu adalah angka yang cukup jauh jika dibandingkan dengan laki-laki yang mencapai angka partisipasi sebesar 80,25%. Ini mencerminkan masih adanya hambatan struktural dan kultural yang membatasi perempuan untuk mendapatkan akses yang sama di dunia kerja. Hambatan ini diperparah oleh narasi konservatif yang menempatkan perempuan sebagai "penjaga rumah tangga" daripada partisipan aktif di sektor publik. Di bidang ekonomi, perempuan juga mengalami kerugian. Tingkat partisipasi perempuan dalam pasar tenaga kerja secara keseluruhan tidak mengalami perubahan yang signifikan, yaitu tetap berada di kisaran 51% untuk perempuan berusia 15 tahun ke atas selama 20 tahun terakhir.
Selain itu, kebijakan-kebijakan terkait kesetaraan gender seperti misalnya RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) sering menghadapi hambatan politik karena adanya perlawanan dari kelompok konservatif. RUU PKS mengalami penundaan selama enam tahun. Dalam salah satu video mahasiswa pada kanal Youtube Chusnul Mariyah Official yang berjudul ”Perbandingan Politik RUU PKS Indonesia dan UU PKS Belgia” dikatakan bahwa pengesahan undang-undang yang terus-menerus ditunda disebabkan karena masih terdapat banyak masukan dari para pembuat undang-undang dan adanya keberatan dari beberapa fraksi terkait dengan pendefinisian kekerasan seksual. Namun, menurut salah satu mahasiswa dalam video tersebut, penundaan pengesahan undang-undang selama bertahun-tahun terjadi karena minimnya perhatian, keseriusan, dan pemahaman atas urgensi RUU PKS oleh para pengambil kebijakan. Baru pada 2022 RUU ini disahkan, setelah revisi yang memperhitungkan tekanan dari berbagai pihak.
Banyak kelompok yang merasa sulit untuk menentang norma-norma agama dalam masyarakat yang sangat religius seperti Indonesia. Pendukung kebijakan kesetaraan gender sering kali dipandang negatif. Mereka dianggap menganut ideologi asing atau budaya barat yang bertentangan dengan nilai-nilai Indonesia. Perdebatan ideologis ini menyebabkan stagnasi di parlemen dan memperlambat proses legislasi yang sangat dibutuhkan perempuan di Indonesia.
Kebijakan Gender yang Konservatif di Indonesia
Secara garis besar terdapat dua kelompok dengan perbedaan pandangan, yaitu kelompok konservatif dan progresif. Kedua pandangan ini tentu sangat memengaruhi kebijakan gender di Indonesia. Dua kutub utama ini memiliki pandangan yang bertolak belakang dalam merespons isu-isu gender seperti peran perempuan dalam masyarakat, akses terhadap hak-hak kesehatan, pendidikan, kesetaraan dalam dunia kerja, dan tentunya dalam politik. Kelompok konservatif cenderung mempromosikan pandangan tradisional tentang peran gender, di mana perempuan sering kali ditempatkan di ranah domestik sebagai pengasuh utama keluarga. Pandangan ini sering kali diperkuat oleh nilai-nilai budaya dan agama yang menekankan pentingnya peran perempuan dalam rumah tangga. Pandangan konservatif inilah yang sering kali menyebabkan kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak memperhatikan hak-hak perempuan dalam aspek kehidupan publik, seperti akses yang setara dalam pekerjaan, pengambilan keputusan politik, dan kesehatan.
Salah satu undang-undang yang cukup kontroversial di Indonesia adalah Undang-Undang Ketahanan Keluarga yang pernah diusulkan pada tahun 2020. UU Ketahanan Keluarga merupakan salah satu contoh kebijakan yang mengklaim untuk memperkuat lembaga keluarga, tetapi dalam praktiknya memiliki kecenderungan konservatif yang membatasi peran perempuan di ranah domestik. UU ini mendefinisikan keluarga sebagai unit inti dari masyarakat yang harus dilindungi dan distabilkan melalui peran tradisional gender. Hal ini mencakup pembagian peran di mana laki-laki dilihat sebagai pemegang peran utama termasuk dalam ranah publik dan perempuan sebagai pengurus rumah tangga.
Kritik terhadap Undang-Undang Ketahanan Keluarga
UU Ketahanan Keluarga berpotensi mendomestikasi perempuan. Salah satu pasal yang dinilai kontroversial dalam UU Ketahanan Keluarga dan menunjukan adanya potensi domestikasi perempuan tersebut adalah klausul tentang pembagian peran antara suami dan istri yang tercantum dalam Pasal 25 Ayat 3 yang menyebutkan:
Kewajiban istri sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), antara lain: a. wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya; b. menjaga keutuhan keluarga; serta c. memperlakukan suami dan Anak secara baik, serta memenuhi hak-hak suami dan Anak sesuai norma agama, etika sosial, dan ketentuan peraturan perundangundangan.
Secara keseluruhan, pasal tersebut mengatur bahwa suami memiliki peran dan tanggung jawab sebagai kepala keluarga yang bertugas menjaga keutuhan dan kesejahteraan keluarga, memenuhi kebutuhan hidup rumah tangga sesuai kemampuannya, bertanggung jawab atas legalitas kependudukan keluarga, melindungi keluarga dari diskriminasi dan kejahatan lainnya, serta mengadakan musyawarah dengan anggota keluarga dalam menyelesaikan masalah keluarga. Sementara, peran istri adalah sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 25 Ayat 3.