Mohon tunggu...
Mariana Sogen
Mariana Sogen Mohon Tunggu... -

mahasiswa yang hanya ingin menambah pengalaman menulis........

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Akhir.....

10 Juni 2012   23:11 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:08 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Pengadilan terakhir tentang di mana aku akan ditempatkan segera dimulai. Para bala tentara surgawi bersiap dengan senjata masing-masing. Tiba-tiba para malaikat bernyanyi dengan riang menyambut kedatangan sebuah cahaya. Cahaya itu sangat terang hingga menyilaukan mata. Apa mungkin cahaya itu adalah Dia yang mempunyai seluruh bumi? Aku hanya  bisa menerka sampai akhirnya lagu para malaikat berhenti. Tampak sang pemimpin, Mikhael menunduk dan memuji-Nya.

“Hormat dan pujian tak terhingga bagi-Mu, ya Tuhan yang Maha Kuasa. Yang mencipta langit dan bumi serta isinya”. Kata-kata yang dikeluarkan terdengar begitu merdu. Aku masih tak bisabergeming. Betapa agungnya cahaya yang baru saja masuk ke dalam ruangan hingga membuatku ternganga.

Tak lama kemudian, tiba saatnya penghakiman bagiku. Aku ditempatkan sebagai tertuduh. Rasanya posisi itu pantas mengingat dosaku yang tak terhitung banyaknya. Sama sepertiku, cahaya agung itu pun tak bergeming. Tapi, tak lama kemudian Ia pun buka suara. Aku tak begitu mengerti apa yang Ia katakan, tapi sepertinya kata-kata itu bukan untukku. Aku masih tak bergeming dan tiba-tiba seluruh ruangan tertutup cahaya terang.

*****

Dengan wajah tertunduk, aku dan Samuel memasuki tempat praktik seorang dokter. Samuel adalah lelaki yang menghiasi hari-hariku selama dua tahun terakhir.

“Berikutnya, Nona Indri,” kata perawat piket  mengagetkanku dari lamunan. Haruskah aku lakukan ini? Aku dan Samuel pun masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Kami disambut dengan senyuman hangat khas seorang dokter. Berjas putih dengan stetoskop di lehernya, membuat tampilannya kian sempurna sebagai seorang dokter.

“Tidak! Saya tidak akan melanggar sumpah yang saya ucapkan sendiri. Lagipula, jika kalian merasa hal itu tidak baik, kenapa kalian lakukan? Meski kalian masih muda, kalian harus bertanggung jawab atas apa yang telah kalian perbuat”. Kata dokter yang kuketahui bernamaGabriel, setelah mendengar maksud kami untuk menggugurkan janin dalam rahimku. Karena telah ditolak, kami pun memutuskan untuk pergi.

Aku merasa yang kulakukan adalah salah besar. Hanya saja, aku baru tujuh belas tahun dan tak mau masa depanku suram karena aib ini. Apalagi, usia kandunganku sudah hampir menginjak bulannya yang kedua. Aku tak mau memberi aib bagi keluargaku yang cukup terpandang.

Sebenarnya ini merupakan kali kedua “hal itu” terjadi. Yang pertama, aku gugurkan ketika kandunganku berusia empat bulan. Waktu itu, aku meminum zat kimia yang entah apa namanya. Perutku serasa diremas. Kemudian, aku mengalami pendarahan yang cukup banyak. Waktu itu, hanya ada aku yang berada di rumah. Meski merasa sakit yang teramat sangat di perutku, aku tetap membersihkan darah yang berceceran di lantai untuk menghindari kecurigaan orang rumah.

Menjadi anak tunggal membuatku sangat kesepian. Hidupku pun tak beraturan. Sagala hal yang kulakukan tak diketahui orang tuaku karena mereka terlalu sibuk dengan pekerjaan dan urusan mereka.

“Jadi, kita ke mana lagi sekarang?” tanya Samuel membuyarkan lamunanku. Aku hanya menjawabnya dengan gelengan. Aku tak peduli dia mengartikan gelengan itu sebagai apa. Mungkin ia menganggap gelengan pertanda aku mengatakan, “Tidak tahu” atau “Tidak mau ke mana-mana lagi”. Terserah dia saja. Yang jelas, aku butuh ketenangan sekarang.

*****

Darah keluar dari rahimku tanpa henti. Setelah seminggu berunding dengan Samuel, kami memutuskan untuk pergi ke salah satu dukun beranak di sebuah desa di pinggiran kota. Ibu itu memijit-mijit perutku hingga aku merasa kesakitan. Rasanya lebih sakit daripada ketika aku meminum cairan kimia. Rasa sakit yang kualami kali ini tak dapat aku gambarkan. Aku merasa ingin mati saja agar rasa sakit ini bisa berakhir. Badanku terasa begitu lemas ketika semuanya selesai. Tapi semua telah selesai dan aku masih hidup. Tuhan masih sayang padaku rupanya. Atau mungkin ini adalah kesempatanku untuk bertobat dari perbuatan ini. Aku terlalu naif sebagai manusia untuk memikirkan hal itu. Hal yang Tuhan rencanakan untuk hidupku sendiri.

“Indri, bagaimana keadaanmu?” kata Samuel membuyarkan lamunanku lagi. Entah sudah berapa kali ia melakukannya. Atau mungkin aku yang terlalu banyak melamun.

“Aku ingin pulang, Sam.” Kataku sambil bangkit dari tidur tanpa menjawab pertanyaannya.

“Tapi keadaanmu masih lemah. Berbaringlah untuk beberapa saat”. Sela sang dukun untuk menghentikan gerakanku. Tapi sifat keras kepalaku tengah berfungsi dengan baik meski keadaanku seperti mayat hidup. Aku tetap bangun dan meninggalkan Samuel yang masih bengong dengan sikapku. Tak lama kemudian, Samuel mengikuti langkahku keluar dari rumah sederhana itu. Dia ingin memopangku, tapi segera kutepiskan tangannya yang kekar. Aku ingin sendiri sekarang!!

Tak lama setelah tiba di rumah, keadaanku semakin memburuk. Tubuhku menjadi kian lemah. Tak lama setelahnya, semua menjadi gelap!!! Benar-benar gelap!!!

*****

Aku melihat kedua orang tuaku menangis. Bingung sekali melihat keadaan ini. Aku pun mendekati ibu dan berusaha menenangkannya. Tapi yang terjadi malah di luar dugaanku. Ibu pingsan dan tumbang ke arahku tanpa menyentuhku sama sekali. Tubuh ibu serasa menembus tubuhku. Aku melihat sekeliling. Semua yang hadir tak menyadari kehadiranku di sini.

Aku baru menyadari bahwa aku tengah berada dalam suatu acara pemakaman. Ini rumahku dan tengah dilaksanakan pemakaman. Siapa yang meninggal?? Aku mendekati sebuah peti yang ditaruh di tengah ruangan dan aku melihat tubuhku sendiri. Pucat dan Kaku!!! Aku telah meninggal!!

*****

Ruang pengadilan terdengar sedikit gaduh. Aku baru saja melihat sebagian kisah hidupku lagi. Semua kejadian itu diputar ulang bagai sebuah film di bioskop. Tak lama setelah ‘panayangan’ kembali kisah hidupku, Santo Mikhael kembali bersuara untuk memanggil para saksi. Aku rasa kesalahanku telah jelas. Aborsi. Tak perlu saksi lagi untuk membuangku ke dalam neraka yang paling dalam.

Orang pertama pun masuk ke dalam ruangan. Karena mengenakan jubah, aku hanya bisa mengira ia seorang anak kecil. Tapi, ia terlalu kecil untuk ukuran seorang anak yang sudah bisa berjalan. Kira-kira berapa usianya, ya? Apa aku pernah bertemu dengannya sewaktu di dunia? Semua pertanyaanku terjawab ketika ia membuka jubahnya. Ia tak mempunyai tangan. Kepalanya ternyata hanya setengah bagian. Tak lama setelah itu ia pun berkata, “Ibu, kau begitu tega padaku”. Kata-katanya membuatku tercekat. “Kau memasukan cairan kimia hingga membuat tubuhku hancur, bahkan sebelum terbentuk. Teganya kau padaku, Ibu”. Apa dia janin yang kugugurkan ketika berusia empat bulan? Kali ini, aku sudah tak sanggup untuk menatap siapa pun. Aku begitu jahat terhadap makhluk tak berdosa di hadapanku ini. Aku yang telah melakukan kesalahan, tapi dia yang harus menanggung penderitaan.

Setelah ia mengatakan hal itu, saksi kedua pun dipanggil. Ia memakai jubah yang sama persis seperti saksi, atau ‘anakku’, sebelumnya. Hanya saja, ia terlihat lebih kecil. Kali ini bagaimana bentuknya? Kembali pertanyaanku terjawab ketika ia membuka jubahnya. Ya Tuhan, ia bahkan tak berbentuk. Ia hanya seperti onggokan daging yang berlumuran darah. Apa yang telah kulakukan?

“Ibu, umurku baru dua bulan ketika kau menyuruh dukun mengeluarkanku dari rahimmu. Kenapa kau begitu jahat padaku, Ibu?” Aku tak berani menatap dan menjawab pertanyaannya. Aku merasa tak layak untuk melakukan itu. Ia bahkan masih sudi memanggilku dengan sebutan ‘Ibu’. Kau begitu jahat pada kami yang bahkan belum terbentuk dan melihat dunia”. Kata-katanya serasa menghujam jantungku. Aku merasa begitu jahat. Aku menyesal telah melakukan semua itu. Tapi masihkah penyesalanku berguna? Kurasa tidak karena setelah ini, aku akan dihantar pada sebuah tempat dengan panas yang membara. Tempat di mana terdapat tangis dan kertak gigi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun