Mohon tunggu...
Mariana Sogen
Mariana Sogen Mohon Tunggu... -

mahasiswa yang hanya ingin menambah pengalaman menulis........

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hati pelangi Riska

6 Juni 2012   22:32 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:19 217
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku kembali menatap langit. Ini bukan pertama kalinya wajahku mendongak. Setiap hujan berhenti, aku selalu berharap melihat pelangi.  Tapi sayang, aku tak bisa melihat apa-apa. Yang ada hanya kegelapan yang tertangkap kornea. Oh, tidak. Bahkan korneaku sudah tak berfungsi. Benarkah ketika wajah ini mendongak telah menghadap langit? Atau masih ada atap yang menghalangi pandanganku. Yang aku tahu hanyalah bahwa wajahku telah mendongak.

Guyuran hujan deras membuyarkan lamunanku. Berarti ketika wajahku mendongak langit masih dibingkai dengan awan hitam dan tak ada pelangi, tentunya. Aku sangat membenci keadaan ini. Keadaan di mana aku tak tahu dan bisa berbuat apa-apa.

*****

Entah kenapa, hari ini aku sangat berhasrat jalan-jalan ke taman dekat rumah. Aku membujuk mama dengan berbagai cara agar dapat membiarkanku pergi sendiri ke sana. Sulit sekali merayu mama untuk bisa mengizinkanku. Perbendaharaan kata-kataku telah sampai pada titik penghabisan ketika akhirnya mama menyerah.

Setelah beberapa menit berjalan, aku mulai merasakan suasana taman. Terdengar deraian tawa anak kecil. Langkah kakiku terhenti ketika tongkat pemanduku menyentuh sesuatu. Kursi taman. Hah….. akhirnya kumenemukanmu. Tak sabar kupastikan posisinya lalu kurebahkan tubuhku ke atasnya. Tak lama berselang, sebuah derap langkah kaki mendekat. Hatiku was-was. Mudah-mudahan saja bukan orang jahat. Kalau tidak, habislah aku. Tapi yang terjadi malah di luar dugaan.

“Hai, boleh aku duduk di sini?” Tanya suara itu dengan manis atau mungkin saja dimanis-maniskan. Suaranya berat khas remaja. Mungkin ia seusiaku.

“Oh, boleh. Tentu saja. Inikan kursi umum.” Aku hanya bisa menjawab sekenanya. Lama terdiam, ia kembali bersuara memulai percakapan.

“Sangat menyukai pelangi, ya?” Aku cukup terkejut dengan pertanyaannya. Tapi kurasa hal itu terlihat jelas dari segala pernak-pernik yang kupakai. Tongkat, handphone, hingga jepitan rambutku kan berwarna pelangi. Berarti sejak tadi ia memperhatikanku. Aku pun kembali menjawab sekenanya,

“Bukan menyukai tapi mengagumi. Lagipula hal itu terlihat jelas, kan?” nada bicaraku terdengar datar.

“Boleh kumemanggilmu dengan sebutan Miss Pelangi? Rasanya nama itu cocok denganmu.” Aku sedikit kesal dengan ucapannya barusan.

Hello, namaku Riska, bukan Pelangi. Aku memang sangat menyukai pelangi, tapi bukan berarti kamu bisa mengubah namaku seenaknya.” Gerutuku dalam hati seakan menanggapi perkataannya. Anehnya bukanlah kata-kata itu yang keluar dari mulutku.

“Terserah kamu saja. Tapi dengan syarat, setiap kali ke sini dan duduk di tempat duduk ini, kamu harus menceritakan berbagai kisah tentang pelangi. Apa pun kisahnya, yang penting berkaitan dengan pelangi. Mau puisi, berita, cerpen atau novel sekali pun terserah. Bagaimana?” Mampus kau cowok belagu. Kuyakin, cuma orang gila kurang kerjaan yang mau menerima tawaran itu. Semoga saja permintaanku membuatnya segera angkat kaki. Tak pamit sama sekali pun tak apa. Intinya ia enyah dari hadapanku secepatnya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Tanggapannya malah membuatku tercengang,

“Baiklah. Setiap hari Senin, Rabu dan Sabtu sore pukul 4 kita bertemu di sini dan akan kukisahkan semua yang ingin kau dengar tentang pelangi. Bagaimana?” What?!?! Dasar cowok gila kurang kerjaan! Kenapa dia malah menerima tawaran gilaku?! Skak math. Bagaimana ini? Tapi, seperti kata Bondan n fade 2 Black, ya sudahlah. Aku terima saja. Toh, ini semua bermula dari otakku dan akan menambah wawasanku tentang pelangi.

“Eh, siapa nama aslimu?” Dia ternyata masih penasaran dan ingin tahu nama asliku. Aku pikir dia makhluk aneh dari planet lain yang tak peduli pada nama asli seseorang.

“Namaku Riska,” jawabku sesingkat mungkin.

“Oh, Riska. Aku Rian.”. Ujarnya tanpa ditanya.

“Apa ada orang yang menanyakan hal itu, hah? Aku sungguh tak peduli dengan namamu, makhluk aneh!” Kembali aku menggurutu dalam hati. Aku tak menanggapi kata-katanya. Hanya ada diam di antara kami. Hening, hanya ada semilir angin yang menerpa dedaunan angsana. Aneh juga, cowok belagu ini tak bersuara sama sekali. Apa yang dia lakukan hingga tak berbicara sama sekali?

“Hey, aku punya satu kisah,” katanya membela keheningan. Ah, akhirnya kau bersuara juga, makhluk aneh. Tapi apa secepat itu dia mendapat kisah tentang pelangi? Belum sempat aku menanggapi, dia kembali melanjutkan.

“Ada seorang putri raja di sebuah kerajaan,” kata Rian seperti memulai sebuah cerita.

“Yang namanya putri raja pasti di kerajaan, dong. Masa ada putri raja di kali? Diakan bukan putri keong!” aku langsung menyela dengan sinis di kalimat pertamanya, yang kuyakini belum selesai.

“Sekali lagi kau menyela, tak akan kulanjutkan cerita ini,” ujarnya seakan mengancamku.

“Yah, baiklah. Kata bapak presiden kita SBY, ‘lanjutkan’. Silahkan”

“Putri raja itu sangat baik. Sayang, ia mengalami cacat yang membuatnya tak bisa melihat sejak lahir. Meski memiliki kekurangan, semua orang di kerajaan itu sangat menyayanginya. Setiap hari, ia duduk di taman dan mendengarkan ibunya membacakan cerita. Ia selalu meminta kisah tentang pelangi karena ia sangat mengagumi karya agung Tuhan yang satu itu. Ibunya selalu menggambarkan padanya bentuk, warna dan keindahan sebuah pelangi. Hingga umurnya menginjak 17 tahun, ia mempunyai impian untuk dapat melihat pelangi.” Untuk beberapa saat ia terdiam. Kukira ia tengah mengambil nafas setelah bercerita panjang lebar. Tapi setelah beberapa saat, tak ada suara lagi. Aku pun memutuskan untuk memanggilnya. Namun tak ada jawaban. Tak lama kemudian suaranya kembali terdengar.

“Riska, maaf tapi aku harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak.” Belum sempat aku menjawab, aku mendengar langkah kaki Rian menjauh. Dia betul-betul pergi. Entah kenapa aku merasa kehilangan.

*****

Seperti halnya jarum jam tak pernah berhenti berputar, hari-hari pun tak mau berhenti berganti. Rian menceritakan kepadaku segala kisah tentang pelangi. Darinya aku baru tahu bahwa pelangi sebenarnya memiliki 350.000 warna tapi hanya 7 warna yang lebih banyak dikenal karena dianggap perwakilan dari simbol nada yang hanya 7. Senang sekali bisa mengenal Rian. Meskipun pada awalnya aku menganggapnya sebagai makhluk aneh, ternyata dia termasuk cowok yang menyenangkan.

“Riska, apa kamu pernah melihat pelangi?” Katanya setelah mengisahkan mitos pelangi yang dianut oleh masyarakat Lio. Ternyata di sana pelangi biasa disebut dengan Nipamoa. Nipa yang berarti Ular dan Moa yang berarti Haus.

“Ya. Peristiwa naas ini datang menjemput ketika usiaku 16 tahun jadi tentu saja aku pernah melihat pelangi. Memangnya kenapa?” tanyaku sedikit penasaran. Bukannya menjawab, dia malah balik bertanya,

“Apa kau ingin melihatnya lagi?”

“Tentu saja. Hanya saja belum ada manusia baik hati yang mau menyumbangkan kornea matanya untukku. Jadi keinginan itu hanya bisa kupendam.”

“Masih ingat dengan ceritaku waktu pertama kali kita bertemu?”

Sebenarnya ada apa dengan Rian? Rasanya ia terlalu banyak bertanya hari ini.

“Ya. Tapi aku rasa cerita itu belum selesai.”

“Baiklah. Akan kulanjutkan sekarang. Mendengar putri semata wayangnya menginkan untuk melihat pelangi, raja pun menyelenggarakan sayembara. Bagi siapa saja yang dapat membuat putri bisa melihat khususnya pelangi, akan diberikan hadiah.

Sudah ratusan bahkan ribuan orang mengikuti sayembara itu tapi belum ada yang berhasil. Suatu ketika datanglah seorang pemuda dari desa untuk mengikuti sayembara itu. Ia menceritakan sebuah kisah pelangi kepada ndoro putri. Di akhir kisahnya, ia menanyakan apakah putri telah melihat pelangi atau belum tapi tentu saja jawaban yang diterima adalah belum. Mendengar itu, ia berkata bahwa putri harus menggunakan hatinya untuk melihat pelangi. Putri telah mendengar banyak kisah tentang pelangi dan pasti tak akan sulit untuk dapat melihatnya meski hanya dalam hati. Pemuda desa itu pun membimbing agar putri bisa melihat pelangi dengan hati sampai akhirnya putri bersorak kegirangan karena ia berhasil. Ia dapat melihat pelangi, bukan dengan mata melainkan dengan hati.” Aku mendengar Rian menarik nafas panjang. Setelah itu, ia kembali melanjutkan,

“Miss Pelangi, sama halnya dengan putri itu, aku ingin kau juga bisa melihat dengan hati. Kau lebih beruntung karena pernah melihat pelangi sebelumnya. Matamu buta tapi tidak demikian dengan hatimu. Sekarang ada pelangi yang muncul. Bayangkanlah, kau melihatnya.” Tanpa banyak berkata, Rian memutar tubuhku ke arah pelangi muncul. Ia menyuruhku untuk menutup mata. Aku rasa mataku terbuka atau pun tertutup, semuanya sama. Gelap! Tapi tetap saja aku mengikuti instruksinya. Setelah lama membayangkan kembali bentuknya, aku merasa ada warna yang muncul dalam penglihatanku. Tak lagi gelap! Merah, jingga, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Warna pelangi! I did it. Aku bersorak kegirangan karena dapat kembali melihat pelangi. Tuhan, terima kasih telah menciptakan manusia seperti Rian yang mau menunjukkan padaku bahwa melihat tak harus dengan mata yang sempurna tapi dengan hati yang sempurna.

Tak lama setelah itu, Rian berkata, “Miss Pelangi, aku harus pergi. Mungkin ini hari terakhir kita bertemu karena aku akan segera pindah ke tempat jauh. Sampai jumpa.” Aku merasa Rian semakin menjauh.

Kuputuskan untuk bertanya, siapa sebenarnya lelaki itu. Namun tak terdengar suara. Mungkin aku terlambat bertanya. Mungkin ia telah jauh dan tak mendengar. Tapi sesaat kemudian aku mendengar suaranya, “Anggap saja aku pelangi yang meski tak pernah kau lihat, akan selalu ada di hatimu.”

*****

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun