BRUK!!!!!
Deru knalpot motorku berganti dengan bunyi jatuh yang teramat kuat dan sanggup membangunkan seisi desa. Sakit sekali rasanya. Luka yang ada di tangan dan kakiku serasa menjalar ke sekujur tubuh. Aku masih sempat tersadar. Terlihat beberapa warga mengerubungiku dan diantaranya terdapat beberapa wajah baru. Tapi seketika itu juga semua menjadi………….. gelap. Benar-benar gelap!
*****
Aku telah berada dalam sebuah rumah dengan luka yang juga telah dibalut. Orang yang menolongku pasti sangat baik. Jarang sekali ada orang yang mau direpotkan dimalam hari seperti ini.
“Diminum dulu tehnya selagi masih hangat.” Kata seorang gadis yang,sepertinya, sebaya denganku. Aku hanya membalasnya dengan senyuman karena masih merasa sedikit pusing. Gadis itu pun duduk menemaniku. Ketika kupandangi wajahnya dengan seksama, pusingku terasa hilang seketika. Begitu manis. Dewi Aprodhite sarasa langsung menembakkan panah asmaranya padaku. Ah…. “Kenapa baru kali ini kau menampakan diri”, rutukku dalam hati sambil menyesal. Kenapa aku bisa melewatkan gadis secantik ini sementara aku telah tinggal di desa sepanjang hidupku?!?! Atau mungkin, dia warga baru. Beberapa hari yang lalu, ayah -yang seorang kepala desa- terlihat sibuk mengurus warga baru yang katanya akan menjadi kepala sekolah baruku. Ya ampun, jangan-jangan ini adalah rumah yang ditempati oleh kepala sekolah itu dan gadis tadi adalah putrinya. Aku yang masih sibuk dengan berbagai tebakan dikagetkan oleh suara lelaki paruh baya yang baru keluar.
“Sudah sadar rupanya. Nak, di mana rumahmu?? Biar saya antar ke sana karena keadaanmu tidak memungkinkan untuk membawa motor sendiri.” Kata pria itu dengan nada yang tegas, bijak tapi lembut khas seorang ayah. Ini pasti kepala sekolah baru itu. Ah, malu juga mengatakan aku anak kepala desa. Masa anak kepala desa berkeliaran dengan motor. Di tengah malam, pula. Tapi mau tidak mau aku pun menjawab pertanyaan bapak itu dengan suara yang halus dan agak tersipu,
“Saya tinggal di rumah Bapak Nico, pak.”
“Oh, jadi kamu anak kepala desa. Baiklah. Kalau keadaanmu sudah lebih kuat, sayaakan mengantarmu.”
Sosok ayah yang lembut. Tentunya sosok kepala sekolah yang akan menjadi panutan. Setelah beberapa menit mengumpulkan kembali tenagaku, aku pun mengucapkan terima kasih dan langsung pamit. Aku diantar oleh pak Thomas –si pemilik rumah- dengan motorku. Sementara anaknya, Dion, mengekor dengan motornya. Pak Thomas dan Dion tak lama di rumahku berhubung waktu sudah menunjukan hampir tengah malam.
*****
“Nama saya Adelia. Saya pindahan dari SMA Negeri 2 di kota dan saya harap kita bisa berteman dengan baik dalam kelas ini.” Hanya itu yang diucapkannya di depan kelas ketika Ibu Hany, wali kelas kami, memintanya memperkenalkan diri.
“Kalau pacaran dengan baik saja, bagaimana?” celetuk Renold, sang playboy sekolah. Adel tak menangapi ucapan Renold yang selalu gombal itu. Ia hanya menatap sekilas ke arah Renold, lalu langsung duduk di samping Ita, sang ketua kelas, karena disuruh Ibu Hany. Bahagianya bisa melihat sosok manis itu lagi. Ditambah, ia ternyata sekelas denganku dan duduk dengan Ita yang merupakan sepupuku. Dewi fortuna memang menyayangiku. Hari-hari sekolahku pasti akan lebih indah.
*****
Berbulan-bulan kemudian, tampaklah sosok asli Adel. Ternyata selain memiliki paras yang cantik, hatinya pun baik. Ditambah lagi, ia sosok yang ceria dan pandai bergaul dengan siapa pun. Walaupun dari kota, ternyata Adel sama sekali tak canggung untuk bergaul dengan anak desa. Tapi aku merasa ada yang ganjil. Selama bersekolah di sini, Adel tak pernah mengikuti pelajaran olahraga. Ia hanya mengerjakan tugas yang selalu diberikan khusus hanya untuknya. See??? Just for her!! Sebenarnya, ada apa dengan Adel?
Semakin dekat dengan Adel, aku merasa ada sesuatu yang meringsek masuk dalam hatiku. Suatu perasaan yang begitu kuat. Aku selalu merasa gugup dan salah tingkah ketika dekat dengannya. Sampai suatu hari…….
“Adel, I don’t know why I’m falling in love with you but one think I know is I need you. Would you be my girl?” wajahku memerah ketika mengatakan itu pada Adel.
“I’m so sorry, Ricky. But I can’t,” jawab Adel dengan tenang. Aku pun menjawab dengan tidak menyembunyikan perasaan kagetku.
“Why?”
Adel tersenyum simpul kemudian menjawab, “ I can’t to refuse you, Ricky.” Kami pun tersenyum berdua di depan kelas. Tepuk tangan riuh terdengar. Hari ini, Pak Agus-guru bahasa Inggris kami- membagi dua orang dalam satu kelompok secara berpasangan. Kami diwajibkan membuat dialog tentang pernyatakan cinta. Dan sebagai laki-laki, tentu aku yang akan menyatakan perasaan cinta. Sebenarnya, itu bukan murni hasil kerja kami. Adel mengatakan, kata-kata yang diucapkan oleh sang cowok ia copy dari salah satu teenlit yang berjudul “Separuh Bintang”. Karena Pak Agus tidak mungkin membaca teenlit, jadi pasti tidak tahu. Aku hanya bisa terkekeh mendengar pernyataan Adel itu. Sudah baik, pintar, ceria, kocak pula. Sepertinya perasaan spesialku padanya semakin menebal.
Akhirnya kuputuskan untuk menyatakan perasaanku padanya. Hari ini juga!!! Sepulang sekolah!!! Harus!!! Itu sudah menjadi tekatku. Ini baru jam istirahat jadi masih ada waktu untuk mempersiapkan diri agar tidak gugup di depan Adel nantinya. Tapi keanehan tentang Adel lagi-lagi terjadi. Setelah jam istirahat Adel tidak masuk ke kelas. Kemana dia?? Tidak mungkin dia membolos. Dia anak kepala sekolah. Perempuan, pula. Lalu ada apa dengan Adel??
*****
“Anak-anak, ibu baru saja dapat kabar bahwa Adel masuk rumah sakit karena penyakit jantungnya kambuh. Ternyata Adel menderita lemah jantung.” Kata Bu Hany keesokan harinya. Aku begitu terkejut mendengar kabar itu. Kemarin penyakit Adel kambuh karena melihat ular di dekat toilet sekolah. Siapa pun pasti akan takut melihat reptil yang satu itu.Jadi ini penyebab Adel tak pernah ikut pelajaran olahraga. Lemah jantung. Sulit menerima bahwa Adel menderita penyakit itu. Sikap-sikapnya berhasil menutupi keadaan fisiknya yang lemah. Setelah perundingan yang cukup lama, akhirnya kami memutuskan untuk menjenguk Adel besok. Karena letak rumah sakit yang jauh dari desa, Tika menawarkan untuk memakai mobilnya. Orang tuanya mempunyai rental mobil dan kami tak perlu memikirkan biaya karena semuanya gratis. Tapi sayangnya, tak semua kami bisa ikut. Hanya yang terpilih dan salah satunya adalah aku. Aku tak sabar untuk menanti esok hari. Rasanya lama sekali ketika kita harus menunggu waktu berjalan.
*****
Benci pada keadaan!! Itulah yang kualami sekarang. Pagi-pagi aku telah tiba di sekolah dan semuanya harus batal. Aku batal untuk ikut mengunjungi Adel karena harus mengikuti lomba penulisan cerpen. Lomba yang seharusnya diadakan lusa, justru dimajukan menjadi hari ini karena hal yang tak kuketahui. Bagaimana aku bisa berkonsentrasi menulis jika hati dan pikiranku hanya tertuju pada Adel yang lemah di rumah sakit. Panitia lomba itu memang membuatku dongkol dan kesal. Tapi aku harus pergi ke sana. Aku tak mau membuat malu nama sekolah terlebih kepala sekolah yang telah mendaftarkanku. Ah…. Aku menyesal mencalonkan diri waktu itu.
*****
Akhirnya Adel menghembuskan nafas terakhirnya setelah beberapa menit “jadian” denganku. Tak tahu didapat darimana hingga aku berani menyatakan perasaanku di depan seluruh keluarganya sambil menggenggam tangan yang lemah itu. Isak tangis seluruh keluarganya membelah keheningan rumah sakit. Aku sendiri tak bisa meneteskan air mata. Entah kenapa. Inilah akhir dari sebuah cinta di dusun kecil………
*****
Aku tersenyum memandangi sosok yang berjalan ke arahku. Hari ini Adel kembali masuk ke sekolah. Ternyata simulasiku membuat cerpen sad ending agar aku dapat lebih tegar -jika benar-benar terjadi- gagal total. Ia bahkan terlihat sangat segar dibandingkan ketika masih di rumah sakit. Dan aku bahagia karenanya. Ditambah lagi, “Cinta di Dusun Kecil”ku berhasil mendapat juara pertama. Awalnya, Adel sempat memprotes ending cerpenku karena mematikan karakternya. Untungnya, kami telah “jadian” ketika ia membaca cerpenku. Jika tidak, mungkin ia akan berpikir 1000x sebelum akhirnya menerimaku.
Perasaanku pada Adel kunyatakan pada hari dimana ia harus keluar dari rumah sakit. Ia sempat mengerjaiku. Setelah menyatakan perasaanku, ia berkata tak bisa. Tapi dengan tersenyum, ia melanjutkan bahwa tak bisa menolakku. Huh…. Jika ia tak melanjutkan kalimat itu, mungkin aku yang akan menggantikannya masuk rumah sakit karena lemah jantung. Sekarang, “Cinta Di dusun Kecil”ku tak hanya memenangkan lomba tapi juga hati Adel.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H