Mohon tunggu...
Mari Ana
Mari Ana Mohon Tunggu... Lainnya - Pesta Mariana Silalahi, Mahasiswi Universitas Kristen Indonesia, Program Studi Ilmu Politik

“Dengan kecintaan pada literatur dan musik, saya menghabiskan waktu luang saya dengan membaca novel dan mendengarkan lagu-lagu dari berbagai genre. Sebagai penulis, saya berusaha untuk menyentuh emosi pembaca melalui setiap kata yang saya tulis. Saya percaya bahwa menulis adalah seni yang dapat mengubah cara kita melihat dunia.”

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kabinet Prabowo-Gibran: Harapan Baru atau Tantangan bagi Hubungan Pusat-Daerah?

28 Oktober 2024   11:35 Diperbarui: 28 Oktober 2024   11:37 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
hubungan politik antara pemerintah pusat dan daerah di indonesia.

Pembentukan kabinet Prabowo-Gibran, jika diwujudkan, akan mencerminkan pendekatan unik dan ambisius terhadap pemerintahan di indonesia. Di satu sisi, pasangan ini berpotensi menawarkan gagasan dan energi baru yang menarik, namun di sisi lain, kehadiran mereka juga bisa memunculkan sejumlah tantangan dalam menjaga keseimbangan antara kepentingan pusat dan daerah. Pertama, kemitraan antara Peabowo subianto dan Gibran Rakubuming Raka akan menggabungkan pengalaman serta kredibilitas dan politik Prabowo dengan figur muda dan populer seperti Gibran. Prabowo, dengan latar belakang militer dan posisi politiknya yang tegas, menawarkan kepemimpinan yang stabil dan terstruktur. Di sisi lain, Gibran, walaupun tergolong baru di ranah politik, membawa perspektif segar dan kemampuan untuk mendekati gen Z yang semakin aktif dalam wacana politik Indonesia. Perpaduan ini bisa menjadi modal kuat dalam menciptakan kabinet yang inovatif dan dinamis. 

Namun, tantangan potensial yang muncul dari kabinet ini bisa melibatkan isu-isu dalam hubungan pusat-daerah. Praboeo dikenal memiliki pandangan yang lebih sentralistik,yang menekankankan stabilitas dan kontrol dari pusat, terutama dalam menghadapi ancaman keamanan dan pertahanan. Pendekatan ini, meskipun efektif dalam konteks keamanan, mungkin memunculkan kekhawatiran di kalangan pemerintah daerah yang otonomi dan flesibilitas mereka dalam mengelola daerah masing-masing. Sebagai fitur yang dikenal dekat dengan Presiden jokowi dan mewakili solo sebagai wali kota, Gibran diharapkan mampu menjembatani kepentingan pusat dan daerah. Namun, hubunhan yang dekat ini bisa pula menimbulkan persepsi bahwa kepentingan keluarga presiden, alih-alih independensi daerah, lebih diprioritaskan. Hal ini bisa memperkeruh hubungan pusat-daerah jika kebijakan yang diterapkan terlihat terlalu menguntungkan pihak tertentu atau kurang peka terhadapa kebutuhan khas daerah- daerah.

Lebih jauh lagi, kehadiran Gibran dalam kabiner ini bisa menambah dinamika politik di dalam tubuh pemerintahan itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir, berbagai kepala daerah menunjukkan kemampuan untuk mengatasi iu-isu lokal dengan efektif dan berinovasi sesuai kebutuhan masing-masing wilayah. Jika kabinet Prabowo-Gibran memiliki visi sentralistik yang kuat, ini mungkin menghambat fleksibilitas yang dibutuhka oleh pemerintah daerah, terutama yang memiliki latar belakang kultural dan kebutuhan yang berbeda. Namun demikian, kabiner Prabowo-Gibran tetap memiliki potensi besar unfuk menjadi katalisator bagi perubahan positif. Jika pasangan ini berhasil menyeimbangkan pendekatan yang terpusat dan memperhatikan aspirasi daerah, ada harapan besar bahwa kabiner ini akan memperkuat kesatuan nasional dan meredakan ketegangan antara pusat dan daerah yang kerap muncul.

Pada akhirnya , kabiner ini akan menjadi ujian bagi hubungan pusat-daerah yang sudah cukup rumit di indonesia. Keberhasilan mereka bergantung pada kemampuan untuk merancang kebijakan yang tidak hanya efektif dalm skala nasional, tetapi juga responsif terhadap kebutuhan lokal. Jika berhasil, kabiner Prabowo- Gibran bukan hanya akan menghadirkan harapan baru bagi stabilitas pemerintahan, tetapi juga model pemerintahan yang inkusif dan kolaboratif. Sebaliknya, jika tantangan ini gagal dijawab, ada risiko munculnya sentimen ketidakpuasan di daerah yang merasa tidak didengar, memperlamh semangat otonomi yang selama ini diperjuangkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun