Luwak dan kopi (gambar diunduh dari google image)
Dalam perjalanan menggunakan travel dari Pontianak ke Sambas saya bertemu dengan sosok ini: bapak Anggiat (bukan yang ada di gambar atas ya.. kalau yang di foto itu namanya luwak). Beliau berencana pergi ke Sambas dalam rangka menjadi konsultan di salah satu perusahaan kelapa sawit di sana. Bukan sosok ramah yang suka mengobrol ini yang akan saya bicarakan (beliau mengajak bicara hampir semua penumpang travel. Hehe.. jadi rame dan nggak ngantuk perjalanannya), bukan pula kepeduliannya terhadap pendidikan di Indonesia (kapan-kapan mungkin saya akan membuat tulisan khusus tentang ini), namun ceritanya tentang perkebunan kopi miliknya jauh di pelosok Sumatera Utara sana. Jauh sekali dari Kalimantan Barat tempat kami mengobrol.
"Sebenarnya orang di Indonesia itu bisa kaya hanya dengan menekuni pertanian. Asal dikelola dengan profesional." Begitu ia mengawali obrolan tentang kopi.
"Coba bayangkan, dengan memiliki satu hektar tanah saja, berapa banyak yang bisa ditanam. Apalagi jika tanahnya masih relatif murah seperti di sini." (Kalimantan Barat -red)
"Jadi orang tidak perlu berjubel di kota. Biar saja orang lain yang sibuk di kota besar. Kita menggarap tanah di desa saja lah. Nanti anak-anak dididik yang baik di rumah, baru nanti setelah besar dikuliahkan di kota. Sebisa mungkin jurusan yang kira-kira bisa mengembangkan usaha yang sudah dimiliki. Bisa pertanian atau peternakan. Atau teknik mesin juga bisa kalau orangtuanya punya kebun sawit luas." Setahu saya derah Kalimantan Barat memang banyak diubah menjadi perkebunan sawit.
Kemudian bapak ini bercerita tentang usaha yang dirintisnya di kampung halaman. "Saya beli tanah dari hasil bekerja seperti ini. Biar bisa buat pulang. Saat muda seperti ini memang semangat pergi bekerja kemana-mana sebagai konsultan, tapi suatu saat ketika tua pasti ingin pulang juga. Tanahnya saya tanami kopi. Jadi kebun kopi. Yang mengelola ibu saya, lumayan kan biar dia olahraga jadi tidak mudah sakit."
Saya mengangguk-anggukkan kepala. Memang benar lansia harus memiliki kegiatan yang positif agar panjang umur dan bahagia.
"Yang ditanam apa Pak?" Tanya saya. Maksud saya jenis kopinya, kan beliau tadi sudah mengatakan bahwa tanahnya dibuat jadi kebun kopi.
"Saya tanam Arabica."
"Wuih, mahal dong." Saya tersenyum karena ingat suatu ketika salah membeli kopi di swalayan. Merek kopi yang menjual biji kopi panggang kemudian dapat digiling di mesin yang sudah disediakan. Niat hati mengambil kopi Robusta yang harganya tidak sampai Rp 20.000,00 eh yang terbawa kopi Arabica yang harganya hampir Rp 50.000,00 untuk kemasan 200 gram. Asem tenan..
Mungkin karena mendengar komentar itu pak Anggiat meneruskan ceritanya "Mahal memang, tapi ada yang lebih mahal lagi: kopi Luwak. Satu kilogramnya bisa sampai satu juta rupiah."
Mata saya membelalak besar. Sekilo satu juta rupiah? Wow! Tapi kemudian saya ingat pernah membaca bahwa seringkali luwak-luwak "penghasil kopi luwak" itu diperlakukan tidak manusiawi (atau tidak hewani? Luwak kan hewan. Hee..) Luwak-luwak itu dipaksa untuk makan kopi terus menerus sehingga kekurangan gizi karena luwak sebenarnya tidak menjadikan kopi sebagai makanan utama. Mereka lebih suka buah lain seperti pisang dan pepaya untuk makanan sehari-hari. Boleh dikatakan luwak makan kopi untuk ngopi-ngopi cantik saja. Terbayang kan bagaimana jadinya Anda ketika dipaksa menjadikan kegiatan ngopi-ngopi cantik tersebut sebagai satu-satunya menu setiap harinya? Kalau saya sih ogah.
"Kasihan luwaknya." Tanpa sadar saya mengucapkan apa yang terlintas dalam pikiran saya.
"Oh, itu kan luwak yang dikandangin."
"Bapak nggak ngandangin luwak?"
Dia menggeleng. "Lagipula lebih enak kopi yang didapat dari luwak liar. Mungkin karena biji kopinya sudah biji pilihan ya? Yang milih ya si luwak itu sendiri."
Saya pun tersenyum membayangkan luwak lincah yang sibuk memilih biji kopi mana yang ingin dimakannya.
"Selain itu jenis kopinya apa juga nggak ketahuan. Bisa saja kan luwaknya makan kopi di kebun saya eeknya di kebun orang, atau sebaliknya makan di kebun orang eeknya di kebun saya." Benar juga sih, kan luwak liar. Mau eek di mana terserah dia.
"Tapi satu lagi: ngumpulinnya jadi lama. Belum tentu satu tahun dapat satu kilogram kopi luwak. Ibu saya kalau nemu kopi luwak pasti ngasih tahu saya. Dari satu kotoran luwak paling dapat berapa butir saja. Itu nanti dibersihkan lalu diolah jadi kopi luwak."
"Dijual Pak?" tanya saya. Harganya kan lumayan banget ya.
"Enggak."beliau menggeleng. "Diminum sendiri saja. Kopi luwak asli enak sekali lho. Tanpa gula pun tidak getir di lidah. Warnanya di cangkir tidak hitam seperti kopi pada umumnya. Relatif bening mirip teh."
Wow, ini hal baru yang belum saya tahu.
"Kapan-kapan mampir lah ke tempat saya sama suami. Mencoba kopi luwak." Ia menawarkan keramahan ala orang Indonesia.
Beres Pak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H