Setelah lebih dari sepuluh tahun berkecimpung dalam dunia medis, ada satu hal yang saya sadari: bahayanya pemberian stigma pada suatu penyakit.Â
KBBI mendefinisikan stigma sebagai ciri negatif yang menempel pada pribadi seseorang karena pengaruh lingkungannya.Â
Jika stigma ini disematkan pada penderita penyakit, orang tersebut mengalami penderitaan ganda. Pertama adalah penderitaan karena penyakit yang diidapnya dan kemudian penderitaan karena stigma yang disematkan masyarakat pada penyakitnya.
Ada banyak penyakit yang diberi stigma oleh masyarakat sejak dahulu sampai saat ini. Contoh penyakit yang distigma di masa lalu adalah kusta.Â
Di masyarakat Yahudi kuno, penderita kusta diasingkan karena dianggap tidak tahir dan harus tinggal di luar kota. Mereka juga dilarang beribadah di Bait Allah selama menderita kusta. Saat ini, jika ada penderita kusta yang diasingkan oleh masyarakat tentu saja sudah bukan karena dianggap tidak tahir, melainkan karena ketakutan tertular penyakit.
Bukan hanya kusta, ada berapa penyakit lain yang menyebabkan penderitanya dijauhi di masa kini karena ketakutan tertular. Contohnya antara lain tuberkulosis, HIV-AIDS, dan jangan lupakan yang baru-baru ini membuat kita semua mendekam di dalam rumah selama hampir tiga tahun: COVID-19.
Selain ketakutan masyarakat akan penularan penyakit, ada penyakit-penyakit yang diberi stigma terkait anggapan tentang gaya hidup pengidapnya. Sebut saja tuberkulosis dan stunting yang diidentikkan dengan kemiskinan, serta HIV-AIDS yang diidentikkan dengan pergaulan bebas dan pemakaian narkoba.
Stigma-stigma yang melekat pada penyakit tertentu itu menyebabkan penderitanya enggan untuk memeriksakan diri ke dokter. Mereka takut terkena stigma, takut dijauhi masyarakat, bahkan tidak jarang menjadi marah jika diberitahu bahwa menderita penyakit tertentu.Â
Inilah yang menyebabkan ada istilah "vonis dokter", seolah-olah jika dokter tidak memberitahu bahwa seseorang menderita tuberkulosis (atau kusta atau HIV-AIDS, atau penyakit apapun yang distigma masyarakat) maka penyakit tersebut tidak ada. Padahal kan tidak begitu.
Hal yang diberitahukan dokter pada pasiennya adalah diagnosis. Dalam hal ini, dokter lebih menyerupai seorang detektif yang mencari tahu apa yang terjadi (diagnosis atau nama penyakit) berdasarkan petunjuk-petunjuk yang ada (gejala, tanda, dan hasil pemeriksaan penunjang).Â