Tanggal 2 Mei diperingati sebagai Hari Pendidikan Nasional. Hari nasional ini ditetapkan melalui Keppres No. 316 Tahun 1959 tanggal 16 Desember 1959. Dipilihnya tanggal 2 Mei disesuaikan dengan hari ulang tahun Ki Hajar Dewantara, tokoh pelopor pendidikan di Indonesia dan pendiri lembaga pendidikan Taman Siswa.
Ki Hadjar Dewantara lahir dari keluarga kaya Indonesia selama era kolonialisme Belanda, ia dikenal karena berani menentang kebijakan pendidikan pemerintah Hindia Belanda pada masa itu, yang hanya memperbolehkan anak-anak kelahiran Belanda atau orang kaya (seperti dirinya) yang bisa mengenyam bangku pendidikan.
Kritiknya terhadap kebijakan pemerintah kolonial menyebabkan ia diasingkan ke Belanda. Ia kemudian mendirikan sebuah lembaga pendidikan bernama Taman Siswa setelah kembali ke Indonesia. Ki Hadjar Dewantara diangkat sebagai menteri pendidikan setelah kemerdekaan Indonesia.
Tahun ini, tema Hari Pendidikan Nasional kita adalah "Serentak Bergerak, Wujudkan Merdeka Belajar". Tema ini memotivasi masyarakat untuk semangat dalam perjuangan melawan pandemi Covid-19. Sebagaimana semangat yang ditunjukkan oleh para guru yang terus bangkit dan berjuang demi keberlanjutan pendidikan di Indonesia.
Mendikbud (sekarang Mendikbud-Ristek) Nadiem Makarim melihat bahwa para guru telah mencoba berbagai metode pembelajaran untuk mengakali pandemi COVID19. Ada yang melakukan pembelajaran secara dalam jaringan (daring), ada yang mengatur anak didiknya dalam sebuah kelompok belajar berskala kecil dan didatangi bergiliran, ada pula yang bergilir masuk sekolah untuk melakukan pembelajaran tatap muka dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Selain itu, ada pula guru yang mendatangi rumah siswa dan berdiskusi dengan orang tua untuk membantu proses belajar mengajar. Ditambah lagi, ada guru yang harus berjalan jauh untuk mencari sinyal hingga ke seberang sungai, bukit, dan sebagainya untuk dapat menjalankan pembelajaran.
Kondisi ini seolah memaksa para guru untuk mengamalkan ketiga prinsip pengajaran (Patrap Triloka) yang diperkenalkan oleh Bapak Pendidikan Indonesia: Ki Hajar Dewantara (Raden Mas Soewardi Soerjaningrat), bukan hanya Tut Wuri Handayani yang selama ini menjadi semboyan pendidikan kita dan tercantum pada topi peserta didik mulai dari Sekolah Dasar (SD) sampai Sekolah Menengah Atas (SMA).
Patrap triloka sendiri merupakan prinsip dasar dalam sekolah/pendidikan Taman Siswa yang menjadi pedoman bagi seorang guru. Konsep ini dikembangkan oleh Suwardi/Ki Hajar Dewantara setelah ia mempelajari sistem pendidikan progresif yang diperkenalkan oleh Maria Montessori (Italia) dan Rabindranath Tagore (India/Benggala).
Patrap Triloka memiliki unsur-unsur berikut (dalam bahasa Jawa):
- ing ngarsa sung tulada (, "(yang) di depan memberi teladan"),
- ing madya mangun karsa (, "(yang) di tengah membangun kemauan/inisiatif"),
- tut wuri handayani (, "dari belakang mendukung").
Artinya, seorang guru harus bisa menjadi teladan atau contoh untuk anak didiknya, membangun inisiatif dan mendukung anak didiknya dalam belajar.Â
Jika kita menginginkan anak-anak Indonesia yang gemar membaca (sehingga bisa meningkatkan literasi kita agar tidak lagi berada di urutan ke-61 dari 62 negara), kita membutuhkan guru-guru yang suka membaca.Â