Mohon tunggu...
Maria Kristi
Maria Kristi Mohon Tunggu... Dokter - .

Ibu empat orang anak yang menggunakan Kompasiana untuk belajar menulis.

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Komentar terhadap RUU Ketahanan Keluarga

28 Februari 2020   13:25 Diperbarui: 28 Februari 2020   13:51 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya hari ini saya membaca RUU Ketahanan Keluarga. Ada pasal yang bagus, seperti pasal 29 ayat 1 tentang kewajiban pemerintah menyediakan cuti melahirkan dan menyusui sampai 6 bulan, penyimpanan ASI perah, tempat menyusui, dan pengasuhan anak di gedung tempat bekerja, serta pasal 29 ayat 2 tentang cuti suami. Namun banyak juga yang, menurut saya, wagu.  

Karena saya ibu-ibu, dan ibu-ibu biasanya lebih cerewet dari bapak-bapak, maka saya gatel kalau tidak ngomentarin. Oya, tidak perlu terlalu serius mengambil hati atas tulisan ini sebab saya tidak berlatarbelakang hukum.

Tulisan ini hanya komentar ibu-ibu biasa yang sudah membaca 96 halaman RUU Ketahanan Keluarga yang kemarin bikin heboh linimasa saya.

Wajar sih kalau sempat membuat pro-kontra. Seperti yang saya tulis di atas, ada beberapa (lumayan banyak) pasal yang wagu. Dari sini saya jadi tahu kalau membuat Undang-undang itu bukan perkara mudah. Meskipun maksud kita (mungkin) baik, tetap saja berpotensi mengganggu.

Salah satu hal yang berpotensi mengecilkan peran perempuan adalah pasal 77 ayat 2 (d) yang  memasukan kedua orangtua bekerja sebagai salah satu hal yang menyebabkan krisis keluarga.

Kedua orangtua saya bekerja dan saya tidak merasa memiliki keluarga yang berada dalam suatu krisis. Tapi oke, ini pendapat pribadi. Mungkin di luar sana banyak yang merasa keluarganya berada dalam kondisi krisis jika kedua orangtuanya bekerja.

Pasal yang sangat mungkin disalahgunakan adalah pasal 26 ayat 1 (c) yang mengatakan adanya hak untuk memperoleh keturunan sebagai generasi penerus keluarga. Pasal ini dapat disalahgunakan untuk kawin lagi jika perkawinan tersebut tidak mendapatkan keturunan.

Padahal infertilitas merupakan problem suami-istri yang masing-masing pihak berkontribusi 50% pada terjadinya hal tersebut. Jika suami yang infertil, apakah (suami) kawin lagi merupakan hal yang benar untuk mengatasinya? I don't think so.

Pasal 134 (A) ada permintaan pada pelaku usaha untuk mengatur jam kerja yang ramah keluarga. Tapi tahukah Anda? Jam kerja pegawai rumah sakit (dan mungkin beberapa profesi lain, seperti polisi) sangat tidak ramah keluarga?

Ya, kalau dibuat ramah keluarga, masak iya nanti keluarga kita rawat inap di rumah sakit tidak ada perawat atau dokter jaga setelah pukul 5 sore, atau UGD jadi tidak 24 jam lagi tapi hanya buka pukul 7 pagi sampai 5 sore.

Ada lagi yang maksudnya baik tapi bisa menimbulkan masalah. Pasal 99: tentang kewajiban orangtua. Di pasal ini ayat 2 (b) ibu berkewajiban memberikan asi selama 6 bulan kecuali ada indikasi medis, ibu meninggal dunia, atau ibu terpisah dari bayi. Padahal indikasi medis tidak memberikan ASI itu sedikit sekali lho (kapan-kapan saya tulis kalau ingat ), nah jika tidak memenuhi indikasi medis ini, atau ibu tidak meninggal dunia, atau tidak terpisah dari bayi, maka wajib memberikan ASI. Kan diatur dalam undang-undang.

Padahal saat ini ibu yang mengalami depresi akibat dibully karena tidak berhasil memberikan ASI pada bayinya saja sudah banyak. Please lah, jadi ibu itu sudah berat, nggak usah ditambahi lagi bebannya dengan kewajiban yang diatur dalam undang-undang seperti ini. Fyi, saya pro ASI ya. Sebisa mungkin ibu-ibu yang membawa kontrol bayinya saya minta untuk memberikan ASI pada bayinya.

Sudah ah, nanti kepanjangan. Saya tidak akan membahas penjelasan pasal 50 tentang hal-hal yang termasuk ancaman non fisik atas ketahanan keluarga maupun penjelasan pasal 85 tentang apa saja penyimpangan seksual. Keduanya sudah banyak yang membahas.

Oya, satu lagi. Hal yang paling wagu menurut saya adalah: mencintai anggota keluarga lainnya dimasukkan ke dalam beberapa pasal tentang kewajiban anggota keluarga. Seharusnya mencintai itu bukan kewajiban, sebab itu otomatis terjadi di dalam sebuah keluarga.

Saya setuju dengan pendapat teman saya Tiffa, "daripada ngatur-ngatur bentuk dan peran keluarga, mending energinya dipake buat penyediaan daycare gratis di setiap kelurahan. Atau memastikan perempuan pekerja bisa pulang lembur dengan aman. Jauh lebih bermanfaat kayaknya."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun