Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama featured

Saat Cuaca Ekstrim, Saatnya Saling Peduli

16 Januari 2012   14:55 Diperbarui: 4 April 2017   18:19 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_164129" align="aligncenter" width="480" caption="Ditengah hujan dan jebolnya tembok, membantu kelancaran lalu lintas (dok. Walhi)"]

13267256201131283386
13267256201131283386
[/caption] Tragedy masa depan sedang berjalan di depan kita dan kita sendiri yang menjalankannya. (Isac Asimov dan Frederik Pohl) Bagai  gejala-gejala yang dirasakan ketika tubuh terkena penyakit, alampun memberikan sinyal-sinyalnya. Eksploitasi sudah diambang batas. Manusia mengambil sumber daya alam tanpa memberi jeda pada alam untuk recovery. Sehingga hujan turun hampir sepanjang tahun.  Pohon-pohon bertumbangan. Banjir hampir merata di setiap pelosok Indonesia. Di wilayah kota besar, manusia mengambil ruang melampaui keseimbangan. Sehingga tanpa isu globalwarming-pun harusnya kita mafhum bahwa apabila terjadi hujan deras pastilah banjir. Banjir penyebab macet parah karena alur kendaraan berjalan merambat. Dan bencana lain datang yaitu bahan bakar fosil yang terbuang sia-sia. Pengendara yang terjebak kemacetan dan menghamburkan waktunya untuk menunggu kemacetan terurai. Kemacetan selalu dihitung berdasarkan kwantitas materi yang dihabiskan tetapi mengabaikan kualitas hidup warga masyarakat yang terenggut sekian jam karena terjebak kemacetan tersebut. Warga masyarakat memang selalu terpojok pada posisi lemah. Bahkan ketika Bendung Katulampa Sindangsari, Kota Bogor dinyatakan siaga 4, warga masyarakat diharapkan meningkatkan kewaspadaan. Demikian juga pernyataan pemprov Jabar yang menetapkan siaga banjir dan BMKG memprediksi curah hujan akan memasuki tahap puncak untuk wilayah Jakarta dan sekitarnya karena itu warga diimbau untuk waspada. Waspada? O itu sih "makanan" sehari-hari warga masyarakat. Cuaca ekstrim adalah keniscayaan yang harus dihadapi, tetapi betulkah kita hanya bisa apatis. Bersiap-siap menunggu banjir. Berjibaku menyelamatkan  barang ketika banjir tiba dan membereskannya kemudian. Bagaimana dengan kendaraan dan fisik korban yang terkena hantaman pohon tumbang atau papan reklame? Pasrah? Sebetulnya ada yang bisa diperbuat warga untuk memperkecil kerugian yang diderita. Yaitu dengan mulai mempedulikan area di sekeliling rumah dan jalan-jalan yang dilalui untuk melaporkannya pada dinas terkait.
  • Pohon. Entah ide aneh siapa untuk mempercantik area sekeliling akar pohon dengan paving stones. Ibarat bonsai yang ditanam pada pot kecil, itulah yang terjadi pada pohon tersebut. Perbedaannya bonsai dirawat dengan memangkasnya pada waktu-waktu tertentu sedangkan pohon dipinggir jalan dibiarkan tumbuh membesar tapi "dicekik" akar dan batang pohonnya. Membongkar paving stonesnya sekarangpun akan percuma, karena si pohon terlanjur invalid. Sebaiknya laporkan pada Dinas Pertamanan untuk memangkas habis dahan. Karena toh nanti akan tumbuh pucuk baru. Apabila tidak, berarti pohon tersebut sakit dan lebih baik ditebang habis daripada si pohon sakit berkepanjangan atau bahkan lebih apes: tumbang menimpa pengguna jalan.
  • Pernah memergoki pohon yang menjadi area bakar sampah di bagian akarnya? Hanya mahluk tak bernyawa yang diasapi hingga menjadi bandeng asap atau dendeng asap. Apabila mahluk hidup diasapi dan dibakar terus menerus disalah satu bagian badannya, ia akan setengah hidup. Tampak luar mungkin indah atau perkasa, tapi merana didalamnya. Si pohon sudah tidak sehat. Dinas Pertamanan harus memangkasnya daripada si pohon tiba-tiba tumbang mengenai orang tak bersalah yang naas karena kebetulan melewati pohon tersebut.
  • Pohon-pohon yang dipasangi paku hampir di sepanjang tahun sebaiknya juga dipangkas. Paku hanya layak ditancapkan pada tembok atau benda mati lainnya. Tapi tidak pada pohon yang diharapkan hidup sehat dan menyuplai oksigen bagi manusia.
  • Billboard dan papan reklame seharusnya dipasang dengan ukuran tertentu dan minimal menggunakan 2 tiang pancang. Tapi berhubung "demi keindahan", banyak papan reklame menggunakan 1 tiang pancang. Papan reklame tersebut sebaiknya kita laporkan karena keberadaannya sangat riskan. Pemerintah kota memang harus memilih: kehilangan pendapatan ratusan milyar dari pajak reklame atau gugatan warga kota yang luka/meninggal tertimpa papan reklame.
  • Gotong royong membersihkan selokan. Sudah lama keguyuban warga kota hilang. Kerja bakti dalam bentuk Jumsih (Jum'at Bersih) hampir terlupakan. Padahal kita tidak bisa mengandalkan pemeliharaan lingkungan pada siapapun kecuali diri kita. Jadi apa salahnya mengajak Ketua Rukun Tetangga (RT) mengadakan kerjabakti membersihkan sampah di saluran air dan tanah-tanah kosong? Akan ada banyak hasil yang didapat. Mulai dari silaturahmi dengan tetangga yang jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, berkenalan dengan tetangga baru hingga secara tidak langsung membuat malu orang-orang yang sering membuang sampah sembarangan.

Lingkungan perkotaan sudah terlanjur tidak seimbang.  Menunggu turun tangan pemerintah kota untuk menata ulang drainase, merawat pohon-pohon dan memasang papan reklame yang sesuai aturan, nampaknya bak pungguk merindukan bulan. Sebagai warga masyarakat kita memang harus aktif.  Mungkin benar negara kita negara autopilot.  Baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Sebaiknya janganlah kita berlari kian kemari tak tentu arah.  Karena terbukti persatuan akan menyelamatkan. Kepedulian akan mengguyubkan. Dan pelestarian lingkungan harus diusahakan bersama. Karena kita sering tidak sadar proses-proses yang bertujuan untuk membangun masa depan ternyata terjadi bersamaan dengan penghancuran lingkungan hidup. **Maria Hardayanto**

13267242011806021490
13267242011806021490
13267242591797136679
13267242591797136679

13267243341336274356
13267243341336274356

1326724509526642805
1326724509526642805

[caption id="attachment_164130" align="aligncenter" width="541" caption="banjir di jembatan layang Pasupati Bandung (dok. Pikiran Rakyat 22 Desember 2011)"]

13267259671899676165
13267259671899676165
[/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun