[caption id="attachment_119079" align="aligncenter" width="640" caption="Ilustrasi: Tenaga kerja Indonesia/Admin (KOMPAS.com/Tribun Batam/Iman Suryanto)"][/caption]
Kematian Ruyati seolah menjadi tumbal kekerashatianpemerintah Indonesia yang diwakili Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muhaimin Iskandar. Padahal trigger-nya terjadi ketika Sumiati , seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berumur 23 tahun asal NTB disetrika dan dijahit mulutnya oleh majikannya di Madinah membuat geram publik sehingga menimbulkan gelombang demo dan himbauan anggota DPR untuk moratorium (penghentian sementara) pengiriman TKI . Khususnya ke negara-negara Timur Tengah.Tetapi Muhaimin Iskandar tetap bergeming.
Apa alasannya? Muhaimin berkilah moratorium hanya akan menyuburkan kegiatan TKI illegal! Padahal bukankah seharusnya masalah dipilah-pilah menjadi kasus per kasus? Analoginya ketika suatu kran air bermasalah janganlah menyalahkan aliran air liar yang keluar karena pipa air bocor. Kran air mewakili masalah TKI legal, aliran air liar mewakili masalah TKI illegal sedangkan sumber air mewakili masalah sempitnya lapangan kerja di Indonesia.
Kasus seorang Ruyati, berumur 54 tahun, bersuami, beranak tiga dan mempunyai cucu yang notabene adalah TKI legal mewakili 2 kasus sekaligus. Dia tidak mungkin pergi meninggalkan suasana nyaman di kampung halaman apabila ada lapangan kerja yang mampu menjamin kelangsungan hidup keluarganya. Dia juga tidak mungkin pergi jauh ke Arab Saudi hanya untuk mengantar nyawa. Karena ini bukan untuk pertama kalinya dia pergi sehingga tahu persis konsekuensi setiap tindakan. Dia tahu sanksinya. Jadi pasti ada suatu kondisi tidak wajar yang memaksa dia bertindak senekad itu.
Moratorium (penghentian sementara) pengiriman TKI hanya dapat menyelesaikan masalah secara parsial. Karena itu ketika penulis membentuk grup di Facebook : “Moratorium atau Stop Pengiriman TKI” semenjak kasus Sumiati bulan November 2011 tujuannya bukan untuk mendukung ditutupnya kemungkinan bekerja di luar negeri. Melainkan untuk menghimbau pihak berwenang merekondisi penyiapan calon TKI dengan berdiskusi dan mendengar langsung pengalaman para TKI yang menjadi anggota grup. Karena selain para TKI, grup juga beranggotakan orang-orang yang berkompeten di bidangnya seperti staff BNP2TKI, para pengacara yang bergabung dalam Lembaga Bantuan Hukum TKI, praktisi Pengusaha Jasa TKI (PJTKI) hingga Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Anak, Linda Amalia Sari.
Walaupun urusan Linda Amalia Sari mungkin hanya ditangani oleh staffnya, hal tersebut lebih baik dibandingkan tokoh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat yang memilih keluar dari grup seolah enggan mendengar celoteh para TKI . Sebabnya? Entahlah.
Anggota grup juga beranggotakan ibu-ibu pengajian yang mengikuti dengan tekun setiap kejadian sehingga mereka bersorak sorai ketika akhirnya moratorium diumumkan. Selain itu ada juga para wartawan, aktivis, dosen, mahasiswa/i dan tentu saja masyarakat awam yang ikut menunjukkan solidaritas sosialnya dengan tidak meninggalkan grup dan sesekali ikut berkomentar.
Selesaikah masalah para TKI dengan diumumkannya moratorium pengiriman TKI? Jelas tidak, karena akar permasalahannya ada di dalam negeri sehingga perlu pembenahan dalam banyak hal. Tapi hasil diskusi dan berbagi pengalaman selama beberapa bulan menghasilkan beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- Pendidikan TKI siap kerja. Syarat pelatihan / pendidikan 200 jam terlalu pendek khususnya untuk calon TKI buta huruf sehingga menimbulkan dilema tersendiri. Terlalu lama tinggal di penampungan mengakibatkankan biaya tinggi. Akhirnya dengan segala cara calon TKIpun diberangkatkan. Sayangnya negara tujuan seperti Arab Saudi dan Malaysia tidak menerapkan standarisasi ketat seperti Singapura atau Hongkong. Akibatnya kasus pemukulan dan salah pengertian yang berujung kekerasan acap terjadi. Solusinya adalah seleksi ketat secara berjenjang. Sungguh aneh, penerapan seleksi ketat bisa diterapkan pada calon mahasiswa perguruan tinggi negeri. Padahal merekalah yang membayar biaya pendidikan tinggi yang tiap tahun kian membengkak. Tapi mengapa seleksi TKI begitu longgar? Padahal mereka pergi membawa nama bangsa. Mereka adalah duta. Jika perilaku mereka baik akan baiklah nama negara Indonesia demikian pula sebaliknya.
- Administrasi pat-pat gulipat yang mengakibatkan calon TKI tidak memenuhi persyaratan seperti Ruyati bisa lolos dan berangkat. Penegakkan hukum harusnya berawal dari dalam negeri. Karena sesudah TKI berangkat kerja dan tersandung kasus, masalahnya menjadi rumit mengingat sanksi hukum yang bakal diterimanya sesuai peraturan hukum negara tempat TKI tersebut bekerja. Jadi mengapa tidak memperketat seleksi dan hanya meloloskan calon TKI yang memenuhi persyaratan secara legal?
- Sebetulnya pengawasan keberadaan TKI di permudah dengan keharusan membuat Kartu Tenaga Kerja Luar Negeri (KTKLN) sesuai Undang-Undang no. 39 tahun 2004. Sebagai bukti identitas pada KTKLN tercantum nama, tempat /tanggal lahir, alamat, PPTKIS pengirim, nomer paspor, nama orang tua, nama majikan dan alamat TKI. Pada KTKLN juga dibenamkan microchip untuk melacak apabila TKI mengalami putus komunikasi. Sayangnya KTKLN ini menimbulkan permasalahan sendiri khususnya bagi para tenaga kerja yang sudah bekerja di luar negeri karena waktu cuti mereka pendek sedangkan pembuatan KTKLN membutuhkan waktu (KTKLN hanya dikeluarkan BNP2TKI) dan uang (TKI wajib membayar uang asuransi sebesar Rp 400.000, padahal para TKI sudah mendapat jaminan asuransi dari majikan, sehingga terjadi dobel asuransi).
Kini, apakah perjalanan grup “Moratorium atau Stop Pengiriman TKI” sudah usai mengingat pasca hukuman pancung Ruyati, pemerintah Indonesia sudah memberlakukan moratorium (penghentian sementara) penempatan TKI sektor peñata laksana (domestic worker) ke Arab Saudi hingga dilakukannya penandatanganan nota kesepahaman (MOU) antara Indonesia dengan Arab Saudi menyangkut TKI serta terbentuknya joint task force (satuan tugas bersama).
Jawabnya adalah : belum ! Karena pemerintah Indonesia belum melihat permasalahan dengan jernih dan banyak oknum melihat pengiriman TKI sebagai ladang bisnis menggiurkan semata. Mereka tidak mempedulikan keringat dan darah yang menetes untuk mengumpulkan rupiah demi rupiah. Grup "Moratorium Atau Stop Pengiriman TKI" ingin membuktikan bahwa solidaritas sosial bukanlah bahasa symbol tanpa arti. Berita TKI hendaknya jangan hanya menjadi penyemarak media ibarat infotainment yang dapat hilang tanpa terasa bekasnya. Nasib TKI untuk mendapatkan perlindungan harus diperjuangkan walau masyarakat awam hanya bisa memperjuangkannya dalam grup.
Kepala BNP2TKI, Jumhur Hidayat memang menyatakan bahwa akibat pengetatan telah terjadi penurunan jumlah pengiriman TKI ke Arab Saudi hingga 50 % menjadi sekitar 20.000 orang tiap bulannya. Evaluasi menyeluruh terhadap perusahaan jasa pengerah TKI --- sekarang dikenal dengan Pelaksana Penempatan TKI Swasta (PPTKIS) juga telah mengakibatkan sanksi pencabutan izin operasional sekitar 130 PPTKIS. Tapi seperti dianalogikan diatas, Jumhur Hidayat baru memperbaiki kran air yang mewakili masalah TKI legal. Masalah TKI illegal dan masalah tiadanya lapangan pekerjaan belum terpecahkan dan itu bukan tugas Jumhur Hidayat sendiri. note : Terimakasih untuk Alfito Deannova TVOne yang tetap menjadi anggota grup hingga tulisan ini dipublikasikan. Terimakasih karena tidak meremehkan setiap kepedulian terhadap TKI/BMI untuk memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H