[caption id="attachment_225027" align="aligncenter" width="604" caption="sumber foto: Erna Sofianti (Noey Java Jive)"][/caption]
“Mariam terkejut ketika menyadari burqa yang dikenakan membuatnya nyaman. Pakaian ini sama saja dengan jendela searah. Di dalamnya, dia menjadi pengamat, terhalang dari tatapan curiga orang-orang asing”
Kutipan diatas hanya kisah rekaan Khaled Hosseini dalam novelnya A Thousand Splendid Suns. Tentang Mariam yang mendapat paksaan dari suaminya agar menggunakan burqa, tapi akhirnya justru merasakan nyaman.
Walau tidak ada seorangpun yang memaksa saya memakai hijab, ada benang merah antara kisah Mariam dengan apa yang saya alami. Saya memakai hijab tanpa memahami esensinya dan menemukan kebahagiaan sesudahnya. Ada rasa nyaman, berharga dan terlindung dari pandangan mata tak senonoh.
Dilahirkan dan besar dalam keluarga beragama Khatolik, membuat saya tidak mengerti mengapa seorang perempuan harus berhijab. Bahkan ketika memutuskan memeluk agama Islam, saya mempunyai keyakinan bahwa seorang berhijab haruslah penganut agama Islam yang kafah. Bukan seorang mualaf yang terbata-bata menghafal surat dan belajar mengaji. Tatkala itu tahun 1989, buku pelajaran sholat masih sulit ditemukan di toko-toko buku besar, sehingga saya membeli buku “Tata Cara Sholat” seharga Rp 1.000,00 di pinggir jalan. Begitu juga buku cara membaca huruf Al Quran, saya menemukan dan membelinya di bursa buku murah Palasari, Bandung.
Sekitar 15 tahun lamanya sendirian terbata-bata mengaji dan sholat, sebelum akhirnya memutuskan mengikuti pengajian Az-Zahra. Sebuah pengajian yang semula merupakan kumpulan ibu-ibu arisan. Mayoritas terdiri dari orang tua siswa sekolah Taruna Bakti, tempat anak-anak saya bersekolah. Banyak kisah menggelikan terjadi disini, penyebabnya kenaifan saya tentang Islam termasuk keputusan mencoba berhijab. Berhijab untuk pertama kalinya.
Tidak mudah, karena tidak ada tempat bertanya di keluarga. Hubungan tetangga di kompleks perumahan yang cenderung nafsi-nafsi juga tidak banyak membantu. Karena itu pegawai toserbalah yang membantu mencarikan baju muslim dan kerudung lengkap dengan asesoriesnya. Saya ingat baju biru dan kerudung biru yang nyaman.
Ya sangat nyaman dipakai. Tidak panas seperti bayangan semula sehingga saya ketagihan dan membongkar lemari baju untuk menemukan baju lainnya yang memungkinkan. Semua baju lengan pendek yang tak pantas langsung masuk kardus untuk didonasikan.
Sesuatu sensasi yang tidak mudah dilukiskan. Bagaimana mungkin berpakaian tertutup di cuaca panas bisa menimbulkan rasa nyaman? Apakah itu yang dinamakan hidayah seperti halnya ketika saya memutuskan memeluk agama Islam? Entahlah. Perasaan nyaman itu bertambah sesudah saya mendapati bahwa saya merasa terlindungi. Seolah ada garis tipis yang melindungi saya ketika berada di dalam kerumunan orang banyak. Ada perlindungan tak terlihat ketika bertemu kaum pria yang bukan muhrim.
Tapi pemahaman bahwa seorang muslimah harus berhijab baru saya ketahui kemudian ketika pengajian mengadakan pagelaran baju muslim. Designernya, Eni Kosasih membagikan kertas fotocopy berisi firman Allah SWT berikut ini:
“Hai nabi katakanlah kepada istri-istri mu, anak-anak perempuan mu, dan istri-istri orang mukmin, hendaklah mereka mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk di kenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al Ahjab : 59).”
Dan :
“Katakanlah kepada wanita-wanita mukmin agar menahan pandangan mereka dan menjaga kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak darinya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya dan janganlah menampakkan perhiasannya….” (Q.S. an Nûr: 31) Seperti halnya setiap perjalanan , selalu ada proses yang menyebabkan kita matang atau mencapai suatu tujuan dengan suatu kebanggaan. Di tengah proses biasanya terjadi godaan atau cobaan yang membuat lengah . Godaan ringan seperti komentar seorang bibi (adik ibu) yang beragama nonmuslim sehingga tentu saja tidak mengetahui kewajiban berhijab bagi muslimah: “Maria kamu cantik, apalagi kalau tidak pakai kerudung. Pakai kerudung jadi kelihatan lebih tua”. Nah, hampir tidak ada seorangpun perempuan di muka bumi ini yang ingin dikatakan lebih tua dibanding usia yang sebenarnya. Tetapi apakah itu berarti saya harus membuka hijab? Tentu saja tidak, terlebih sesudah tahu bahwa keharusan berhijab tercantum dalam kitab suci umat Islam, Al Quran Nur Karim. Cobaan lainnya datang dalam bentuk rambut yang rontok setiap hari. Rontok diluar jumlah normal. Sudah berpuluh tempat dan cara ditempuh untuk mendapat solusinya. Hasilnya masih nol besar. Hingga suatu kali saya bertemu hairdresser salon muslimah. Dia juga berhijab dan memberi nasehat : “Jaga rambut agar selalu bersih juga jangan terlalu panjang. Selebihnya kita harus ikhlas, karena rambut sayapun rontok. Berbagai cara sudah dicoba tapi hasilnya tetap. Jadi tawakal saja, toh tidak akan botak”. Seorang hairdresser berambut rontok? Padahal dia memiliki banyak akses untuk menjaga rambut agar tidak rontok. Selain itu dia juga mempunyai waktu dan pengetahuan untuk memilih shampoo, treatment rambut dan creambath , tapi toh rambutnya tetap rontok. Satu ujian yang harus dilewati muslimah : “Takut berpenampilan jelek karena rambut rontok atau takut pada azab Allah SWT, karena tidak berhijab? Bukankah perintah Allah SWT sudah begitu jelas?”. Beberapa rekan enggan menggunakan hijab dengan alasan “yang penting berhijab hatinya”. Wah, tentu saja saya tidak sependapat. Berhijab harus mulai dari penampilan , bentuk terluar seorang muslimah. Agar dia terjaga sekaligus menjaga dirinya. Mulut terjaga dari ucapan kotor dan sumpah serapah nama binatang yang tidak seharusnya disebut. Badannya terjaga, karena ketika bergerak, baik melangkah , duduk atau jongkok tidak menampakan bagian tubuh yang mengakibatkan kaum Adam menggoda. Banyak peristiwa yang menunjukkan betapa besar peranan berhijab, sebagai contoh ketika bertemu kerabat non muslim, sikapnya menghargai saya sebagai muslimah dan tidak cipika-cipiki (cium pipi kanan dan kiri) sebagaimana kebiasaan non muslim walau bukan muhrimnya. Hal tersebut tidak mungkin tercapai apabila saya tidak berhijab. Beberapa orang mungkin menganggap sepele masalah perilaku dan kebiasaan salah seperti cipika cipiki tersebut tapi besar artinya bagi seorang muslimah karena ini masalah lifestyle, masalah gaya hidup yang kebablasan dan apabila tidak hati-hati akan mendorong kita kedalam fitnah.
Kini, sekitar enam tahun berlalu ketika saya mulai memutuskan berhijab. Saya merasakan keindahan itu dan meyakini hijab bukan bentuk pengekangan. Hijab adalah pelindung yg bermanfaat bagi muslimah itu sendiri. Hijab memang tidak selalu berbentuk burqa seperti yang dikenakan Mariam. Tapi hijab melindungi muslimah agar berperilaku sesuai sesuai ajaran Islam yang utuh dan kafah. Tidak sekedar pengakuan bahwa dirinya beragama Islam.
Hijab membuat muslimah merasa nyaman. Seolah ada dinding tak kasat mata yang melindungi. Dinding yang membantunya terhindar dari gangguan tak senonoh dan pandangan mata yang jelalatan. Sekaligus dinding yang akan mengetuk relung hati seorang muslimah agar selalu istiqomah. Itulah yang saya rasakan dan nikmati kini. Alhamdullilah Allah SWT melapangkan jalan saya karena saya berhijab. **Maria G. Soemitro**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H