[caption id="" align="aligncenter" width="439" caption="Dede Yusuf"][/caption]
Usulan seorang awam di warung kopi mungkin hanya akan hilang tertiup angin. Beda halnyadenganusulan seorang tokoh masyarakat apalagi seorang pejabat publik. Usulannya akan dipublikasikan, kedalaman usulan akan dicerna hingga terkadang usulan tersebut menimbulkan polemik.
Hal tersebut nampaknya diabaikan oleh Wakil Gubernur Jawa Barat Dede Yusufyang sering mengajukan usulan. Usulannya yang terbaru adalah re-branding untuk Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia PSSI menjadi Asosiasi Sepak Bola Seluruh Indonesia (ASSI).
“Kalau ada nama produk yang mendapat kecaman berarti produknya sudah tidak bagus. Termasuk juga PSSI yang menjadi obrolan miring selama enam bulan terakhir. Masyarakat sudah tidak nyaman lagi. Nah salah satu solusinya ialah re-branding tadi,”ujar Dede Yusuf.
“Dengan demikian citrapun berubah. Soal re-branding sebenarnya sudah biasa dilakukan di tempat-tempat. Dan tidak ada salahnya dilakukan untuk PSSI. Siapa-siapa yang maju, ya silakan saja,”ujarnya. (Pikiran Rakyat, 1 Juni 2011)
Setujukah Anda dengan ide nyleneh ini? Karena substansi masalah PSSI cukup rumit. Ide re-branding hanya akan menjadi lelucon tak lucu ketika masalah yang belum tuntas yaitu sekelompok orang yang merasa tersinggung oleh keputusan FIFA berhadapan dengan kelompok lainnya yang menyarankan untuk legowo dan mengikuti tata tertib FIFA sebagai badan yang mempunyai otoritas mengatur persepakbolaan internasional.
Sebelum melempar ide, apakah Dede Yusuf mengetahui bahwa nama PSSI bukan nama dagang, tetapi nama perserikatan yang didirikan pada tahun 1930 dan bergabung dengan FIFA pada tahun 1952? Tidak mudah melakukan perubahan nama karena berkaitan dengan banyak hal diantaranya sejarah puluhan tahun yang telah berhasil diukir PSSI. Baik sejarah yang menimbulkan decak kagum atau justru senyuman pahit.
Re-branding di dunia usahapun tidak dapat dilakukan sembarangan, contohnya kasus United Paramount Network yang mengalamire-branding menjadi Avicom dan akhirnya justru harus ditutup karena sejatinya brand hanyalah bentuk kemasan produk atau jasa yang bernilai tinggi apabila produk/jasa tersebut cukup bermutu. Sedangkan re-branding PSSI beberapa kalipun tidak akan efektif apabila “mutu” PSSI masih memprihatinkan.
[caption id="" align="aligncenter" width="237" caption="Lambang PSSI"][/caption] sumber gambar : disini dan disini
Dede Yusuf ternyata gemar melemparkan usulan aneh. Sebagai Ketua Gerakan Kwartir Daerah Jawa Barat, Dede Yusuf mengusulkan baju seragam Pramuka sebaiknya diganti supaya tak disebut jadoel. Perubahan tersebut diharapkan dapat menarik kaum muda untuk menekuni Pramuka karena setiap daerah nantinya diperbolehkanmelakukan perubahan sesuai baju daerah khasnya.
Betulkah? Bukankah fungsi diberlakukan seragam adalah untuk mempersatukan, menunjukkan dan membangkitkan rasa kebanggaan? Fungsi akan bermakna dengan semestinya apabila kegiatan Pramuka juga menarik. Mantan penggiat Pramuka pastilah sepakat bahwa pelajaran sandi morse, semaphore, tali temali dan jambore Pramuka sangat mengasyikkan. Hampir semua siswa sekolah mengikuti kegiatan ekstrakulikuler tersebut. Tapi itu dulu, era 1970-an. Sedangkan sekarang ada lebih dari 20 jenis kegiatan ekstrakulikuler yang berkembang sejalan dengan kemajuan teknologi. Sehingga seharusnya disikapi dengan bijak. Percuma merubah kemasan apabila cara penyampaian konten tetap.Tanpa variasi yang memikat. Sehingga Ketua Gerakan Pramuka Kwartir Jawa Baratnyapun memberi julukan : Jadoel!
[caption id="" align="aligncenter" width="310" caption="Jadoel? Siapa dulu yang pakai ..............?"]
Usulan lainnya yang pernah mengundang polemik seniman dan budayawan Sunda adalah ketika mengusulkan pembangunan pusat kesenian Jawa Barat seperti Taman Ismail Marzuki (TIM) yang dimiliki Jakarta.Padahal Pemerintah ProvinsiJawa Barat sudah memiliki gedung kesenian Rumentang Siang di Jalan Baranang Siang dan gedung kesenian Yayasan Pusat Kebudayaan (YPK) di Jalan Naripan, Bandung. Gedung-gedung tersebut tak pernah mendapat perhatian serius dari dinas terkait, bahkan gedung kesenian Rumentang Siang pernah ambrol ketika sejumlah siswa SMA sedang memainkan lakon drama musikal legenda Sunda “Lutung Kasarung”.
sumber gambar : disini dan disini
Kabupaten Bandung Barat sebagai bagian wilayah pemerintah daerah Jawa Barat mempunyai gedung kesenian di Ngamprah, Padalarang yang semenjak pembangunannya selesai pada tahun 2005belum pernah diresmikan apalagi digunakan. Kondisi gedung dengan luas 350 meter persegi itu kini sangat buruk. Beberapa bagian atap bocor, dindingnya penuh coretan, lingkungan sekitar gedung kumuh bahkan beberapa bagian tribun penonton sudah ambrol.
Pemerintah Daerah Jawa Barat juga memiliki Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ir. H. Juanda suatu wilayah konservasi hutan yang memiliki area untuk memamerkan hasil karya seni para seniman se Jawa Barat. Komunitas Hong, suatu komunitas yang melestarikan permainan tradisional Jawa Baratpun bermarkas disini.
Jadi daripada menganggarkan gedung kesenian baru atau pusat kesenian baru, mengapa tidak merawat yang sudah ada? Biayanya lebih murah dan bangunan kesenian yang ada tidak menjadi mubazir.
sumber gambar : disini
Dengan banyaknya usulan Dede Yusuf yang tidak menyentuh substansi permasalahanmenimbulkan pertanyaan tersendiri. Mengertikah Dede Yusuf akan biaya tinggi yang muncul seiring dengan semua usulannya? Mungkinkah Dede Yusuf tidak bisa menyelami aspirasi rakyat Jawa Barat yang diayominya? Sungguh sangat disayangkan karena banyak rakyat Jawa Barat mengharapkan Dede Yusuf menjadi kandidat Presiden Republik Indonesia di masa akan datang. Dede Yusuf mempunyai kesempatan untuk pembuktian yang justru disia-siakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H