[caption id="attachment_221880" align="aligncenter" width="534" caption="alumni workshop "][/caption]
Bagi peselancar dunia maya tentu akrab dengan kasus Prita Mulyasari, ibu rumah tangga yang mengalami dan menulis dugaan malpraktek tapi malah justru dijebloskan selama 21 hari di hotel prodeo. Kronologis dan akhir kisah Pritapun semua tahu termasuk tentang koin Prita yang merefleksikan bahwa solidaritas sosial kita ternyata masih cukup solid.
Tetapi tidak banyak yang mengetahui bahwa kasus ini berdampak pada ibu-ibu yang mulai merambah dunia maya dan ingin berbagi (curhat) dalam bentuk tulisan. Mereka takut bernasib sama.
Hal tersebut terkuak dalam sesi dialog interaktif pada workshop “Menulis itu Asyik” yang diselenggarakan Kail (Kuncup Padang Ilalang) tanggal 20-21 Oktober 2012 silam. Penulis berkesempatan menjadi salah satu narasumber yang berbagi pengalaman, bukan sebagai pemberi ilmu karena tidak mempunyai kapabelitas untuk itu.
Sebagian besar pengurus Kail mengenal penulis sebagai emak-emak gaptek yang nekat menulis. Emak yang bingung sewaktu harus mencari tombol shut down computer, tidak mampu meng-copy paste suatu kutipan sehingga harus menulis dikertas dan mengetik ke dalam tulisan dengan dua jari (sekarangpun masih :P). Tidak bisa hyperlink dan dipandu seorang anak penggiat lingkungan. Kebingungan sewaktu format Ms office word diganti. Apalagi membuat screen shot, duh itu dulu keahlian yang begitu menakjubkan : “Kok bisa ya memindah halaman facebook ke tulisan?”……………#geleng-geleng kepala. Apalagi memasang video pada tulisan dan membuat blog, wah dulu super duper susahnya .
Sebetulnya alasan kegigihan menulis karena melihat banyak ketimpangan sosial masyarakat yang harus disuarakan. Ketimpangan yang tidak hanya diakibatkan kesewenang-wenangan terhadap si lemah seperti tulisan pemukulan anggota TNI. Juga terjadi antara wong cilik ke wong cilik lainnya, contohnya tulisan sopir bus sms-an.
Selain itu banyak kejadian yang rasanya sayang apabila tidak dibagikan. Tetapi alasan yg paling utama adalah karena minimnya minat remaja untuk membaca apalagi menulis. Kondisi yang disanggah salah seorang peserta, Ardanti Ardianti. Dia tidak tahu bahwa dibelakang layar, anak-anak penggiat lingkungan hidup sering meminta “bunda”nya untuk menulis tentang lingkungan hidup baik berkaitan even, profil dan kegiatan komunitas mereka maupun tentang limbah plastik. Hanya akhir-akhir ini, penulis sering menolak karena terlalu lelah, sayangnya tetap tidak ada yang mau menulis.
Kisah jatuh bangun penulis yang keukeuh menulis mewarnai jam-jam akhir workshop di Boemi Nini jalan Purnawarman 70 Bandung. Penulis hanya berbagi pengalaman mengingat banyak sekali manfaat menulis. Mewartakan, memotivasi, menginspirasi dan membuat pembaca terhibur. Bukankah itu pekerjaan mulia? Khususnya karena tulisan akan dibagikan dan dibagikan kembali. Hingga sering tak berjejak apabila si plagiator enggan mencantumkan penulis aslinya. Tapi menulis adalah pekerjaan untuk keabadian sesuai apa yang dikatakan Pramudya Ananta Toer, nyata adanya.
Pada acara sesi tanya jawab, Danti bertanya tentang Kompasiana. Blog keroyokan dimana penulis anteng menulis karena mendapat banyak ilmu dan apresiasi. Bahkan hampir semua penghargaan yang berhasil dikumpulkan berasal dari Kompasiana.
[caption id="attachment_221884" align="aligncenter" width="401" caption="kumpulan penghargaan itu (dok. Maria Hardayanto)"]
Danti bertanya : “Apakah tulisan yang diposting di Kompasiana otomatis menjadi milik Kompasiana?” Entah bagaimana mulanya Danti telah salah paham dan memilih aktif menulis dalam blog pribadinya. Tapi setiap kompasianer pastinya tahu bahwa tulisannya tetap menjadi miliknya, bisa dihapus kapan saja atau sebaliknya dikumpulkan dan dibukukan seperti “Pak Beye dan Istananya” yang ditulis kompasianer Wisnu Nugroho. Buku yang menurut mas Inu (panggilan kompasianer Wisnu Nugroho) tidak disukai SBY karena mungkin dianggap membongkar kesakralan istana. Danti sendiri sebenarnya sudah aktif menulis dalam blog pribadinya.
Pertanyaan berikutnya dari ibu Yusnita, pertanyaan yang menjadi judul tulisan ini karena membuat penulis terhenyak. Beliau bertanya usai melihat slide-slide tulisan berdasarkan kisah nyata di sekeliling penulis seperti praktek masak, masalah sampah, disenggol bus hingga tulisan Ariel dan Diky Chandra. Pertanyaannya adalah apakah penulis tidak takut mengalami nasib seperti Prita Mulyasari mengingat banyak nama dan instansi tercantum disitu.
Kasus Prita memang menyeret kredibilitas suatu rumah sakit swasta yang berlabelkan internasional sehingga wajar apabila berbuntut panjang. Tetapi bagaimana dengan instansi Polri, KPK, DPR (termasuk pejabatnya) dan Presiden yang sering diserempet para kompasianer dalam tulisan mereka? Pasti akan menambah panjang kasus pelanggaran UU ITE apabila tidak mencantumkan sumber datanya. Jadi selama tulisan memiliki sumber data yang bisa dipertanggungjawabkan, maka silakan beropini- ria.
Terinspirasi website seorang ibu muda yang menulis semua pernak-pernik hidupnya. Penulis mengajak peserta menulis apapun yang ditemui dan dialaminya. Apabila ragu-ragu menulis karena menyentil pihak lain, apa salahnya menulis tentang resep masakan dan tipsnya. Juga tips merawat peralatan dapur, peralatan rumah tangga, mengusir semut hingga merawat tanaman agar senantiasa berbunga dan berbuah.Hasil sementara nampak pada tulisan Asep Suhendar S yang diposting dan dikupas bersama alumni pelatihan menulis lainnya.
Sayang, tidak seperti Chyntia Novy Girsang yang berhasil ditulari virus menulis di Kompasiana dan tulisannya berhasil meraih HL di tulisan ketiga, para alumni rupanya masih enggan ikut bergabung menulis di Kompasiana dan melihat dinamika tulisan para kompasianer.
Atau mungkin suatu hari nanti? Karena Novypun tidak semerta menulis di Kompasiana, penulis bertemu dan berkenalan dengan gadis manis ini dalam perjalanan Jakarta – Bandung sekitar bulan Juni 2012 dan dia baru registrasi 11 September 2012. Mayoritas tulisannya bercerita tentang jalan-jalan dan sensasinya. Sangat bermanfaat dan menginspirasi karena ketika menulis kita harus menyukai kegiatan tersebut, jangan terpaksa. Jika terpaksa, apa bedanya dengan murid yang mendapat tugas menulis? Atau apa bedanya dengan karyawan yang mendapat tugas atasan untuk menulis reportase bagus tentang perusahaannya?
Menulis harus ikhlas seperti kata kompasianer Erna Suminar karena tanpa ikhlas menulis menjadi tidak asyik ^-^
**Maria Hardayanto**
[caption id="attachment_221885" align="aligncenter" width="340" caption="mendapat kenang-kenangan buku Stephen R. Covey (dok. Maria Hardayanto)"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H