Gerimis pagi membasahi Kota Bandung, namun tak menyurutkan langkah beberapa orang untuk mendatangi sebuah toko kue dan roti di belahan barat kota Bandung. Mereka terdiri dari pembuat kue buatan rumah tangga dan pedagang kue keliling. Mereka bergegas. Berjalan cepat. Disini waktu adalah uang. Terlambat menyetor kue berarti ditinggal pemesan yang akan mengganti dengan kue lainnya untuk mengejar waktu. Sebaliknya bagi pedagang kue, terlambat datang alamat kehabisan barang jualan.
Meski begitu suara obrolan kerap terdengar. “Ulah diengkekeun, bisi kaduhung geura”, kata pak Asep yang bertubuh subur dan kesehariannya tak pernah melepas baju rompi berwarna krem. Tangannya bergerak cepat menyusun beragam kue dalam baki-baki yang tersusun rapi dalam rak gerobak dorong. Rupanya dia sedang menasehati Budi, rekan seprofesi mengenai BPJS Kesehatan. Kurang lebih apa yang dikatakannya adalah: “Jangan ditunda, nanti menyesal”.
Musibah sakit bisa datang menimpa siapa saja dan kapan saja, sementara pak Asep dan jutaan anggota masyarakat lain tidak termasuk kategori yang mendapat santunan kesehatan. Penghasilan mereka sekitar100 ribu – 200 ribu rupiah per hari, jelas bukan golongan penerima jamkesmas bagi masyarakat miskin, juga bukan penerima upah yang dijamin PT Askes. Di pihak lain kemampuan finansial mereka belum cukup besar untuk membayar premi asuransi secara berkala.
Sehingga kehadiran BPJS Kesehatan dengan pilihan iuran yang terjangkau bak hujan setelah kemarau panjang. Karena seperti kata pak Asep selanjutnya: “Susah nyimpen uang cadangan untuk sakit di rumah. Baru satu - dua juta udah diambil. Ada aja godaannya. Ada untuk kawinan, munggahan, belum lagi istri minta nyicil paket lebaran” Sungguh khas kultur di Indonesia, kebutuhan sekunder sering mendominasi dan mengalahkan anggaran primer keluarga.
“Setiap bulan saya setor Rp 102.000 untuk 4 orang. Anggap aja nabung. Hati tenang berangkat kerja”, pungkas pak Asep seraya menuju ruang tengah dimana terletak berbagai macam baki berisi kudapan yang dibuat puluhan industri rumah tangga.
Disini, di toko Erlanda, seperti usaha mikro lainnya yang menggeliat menjelang subuh, salah satu roda penggerak perekonomian Indonesia berputar. Puluhan hingga ratusan juta rupiah bergulir. Jika dikalikan dengan sejumlah toko yang bergerak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Bandung akan kudapan/cemilan/snack maka akan didapat milyaran rupiah. Kalikan lagi dengan toko-toko serupa di kota-kota besar lainnya, akan muncul angka yang fantastis. Para pelakunya bergerak aktif dan penuh kreatif. Sayang, tanpa perlindungan kesehatan. Kehadiran BPJS Kesehatan yang menjamin kesehatan dalam bentuk tindakan promotif, preventif, kuratif serta rehabilitatif sangat dibutuhkan. Tak heran hanya dalam rentang waktu yang singkat yaitu tahun 2014 - 2016, BPJS Kesehatan mencatat jumlah peserta sebanyak 168.807.302 jiwa (catatan akhir situs BPJS Kesehatan tanggal 19 September 2016)
Ternyata BPJS Kesehatan tidak hanya hadir untuk peserta mandiri seperti pak Asep. Suatu sore saya mendapat kunjungan seorang saudara sepupu yang bekerja di sebuah rumah sakit terkenal dan tertua di Kota Bandung. Dia berkisah bahwa kini seluruh karyawan tempatnya bekerja resmi menjadi peserta BPJS Kesehatan. Jika sakit harus mengikuti prosedur yang diterapkan BPJS Kesehatan, tidak lagi memiliki privilese pengobatan gratis dari rumah sakit tempatnya bekerja.
Hmm… masuk diakal karena dengan mengikut sertakan karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan, berarti setiap lembaga swasta dan instansi pemerintah:
1. Turut menyukseskan implementasi UU 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai badan penyelenggara yang dapat menjangkau kepesertaan lebih luas dan memberi manfaat lebih banyak.
2. Turut melancarkan proses subsidi silang pembiayaan bagi peserta yang sakit. Sebagai ilustrasi BPJS memberikan gambaran:
1 pasien DBD dibiayai oleh 80 peserta sehat