Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature

Jungkir Balik Urban Farming

6 Oktober 2012   03:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:12 727
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_216528" align="aligncenter" width="500" caption="merubah area sampah menjadi area urban farming (dok. Maria Hardayanto)"][/caption] Keluhan apa yang aneh tapi nyata? Jawabnya : Sampah! Mengapa aneh? Karena sampah atau timbunan sampah terjadi akibat ulah manusia. Bukan bencana alam. Sehingga harusnya bisa diatasi. Harusnya sampah tidak berserakan dimana-mana, ditempat yang sungguh ajaib seperti di bawah pohon, di setiap tanah kosong dan di aliran sungai. [caption id="attachment_216520" align="aligncenter" width="500" caption="sampah di aliran dan bantaran sungai Cidurian (dok. Maria Hardayanto)"]

1349462650137209266
1349462650137209266
[/caption] Kebetulan penulis bertemu dua komunitas yang mempunyai masalah persampahan. Salah satu komunitas terletak di bantaran sungai Cidurian Bandung yaitu komunitas Engkang-engkang. Engkang-engkang (bahasa Sunda) atau anggang-anggang (bahasa Indonesia) adalah nama binatang yang hanya bisa hidup di air jernih. Pemilihan nama Engkang-engkang jelas menunjukkan tujuan komunitas untuk mengembalikan lingkungannya kembali asri hingga binatang anggang-anggang bersedia hidup kembali di aliran sungai Cidurian. Angan yang mungkin terlalu muluk, tetapi bukan tidak mungkin tercapai. Karena manusialah yang merusak sungai maka manusia juga yang harus memperbaiki kerusakan. [caption id="attachment_216530" align="aligncenter" width="500" caption="gotong royongg menyulap area sungai walau tanahnya tidak subur (dok. Maria Hardayanto)"]
1349466189178115534
1349466189178115534
[/caption] Langkah pertama yang dilakukan adalah memagari lahan antara sungai dan jalan umum agar warga tidak leluasa membuang sampah ke sungai. Dilanjutkan dengan kesepakatan untuk meletakkan sampah di pinggir sungai karena secara periodik petugas PD Kebersihan akan datang untuk mengangkut.  Tentu saja dengan biaya tambahan karena lokasi bantaran sungai umumnya curam. Setelah langkah awal untuk tidak membuang sampah ke sungai, seharusnya dilanjutkan dengan pengomposan agar 60 – 70 persen sampah tidak dibuang ke TPS. Sayangnya program pengomposan tidak semudah diucapkan, karena itu program pengomposan berbarengan dengan urban farming. Agar warga bisa mendapat  dua keuntungan sekaligus : menipisnya sampah dan hasil pengomposan yaitu kompos sebagai media tanam yang menyuburkan tanaman. Sayangnya tanah dipinggir sungai rupanya telah bercampur brangkal sisa bangunan yang dibongkar. Cara termudah membuang brangkal memang di tanah kosong atau di pinggir kali. Persis seperti kebiasaan membuang sampah. Keberadaan brangkal di dalam komposisi tanah menyebabkan tanaman cabai berbuah sebelum waktunya , cebol enggan meninggi dan tidak berbuah lebat. Karena itu penulis membantu mengirim tanah Lembang yang konon subur. [caption id="attachment_216521" align="aligncenter" width="500" caption="urban farming di bantaran sungai Cidurian"]
1349462834210687736
1349462834210687736
[/caption] Selain itu penulis juga menyanggupi undangan bapak Wakil Walikota Bandung, Ayi Vivananda untuk mengajak komunitas bertandang  ke rumahnya dan mempelajari kiat-kiat urban farming. Sebetulnya tidak banyak ilmu yang didapat karena ilmu sesungguhnya diperoleh ketika urban farming dilaksanakan. Kedatangan mereka kesana hanya sebagai trigger agar semangat urban farming terus terjaga, selain tentu saja karena mereka sangat senang mendapat berbagai tanaman sayuran hasil urban farming pak Ayi. [caption id="attachment_216522" align="aligncenter" width="500" caption="di rumah dinas wakil walikota Bandung"]
1349462897536547313
1349462897536547313
[/caption] Salah satu  yang diajarkan pak Ayi adalah mengambil sedimen sungai sebagai media urban farming dengan alasan tanah tersebut sangat subur walau bercampur kerikil. Selintas mungkin benar , mengingat mayoritas warga menggunakan aliran sungai sebagai septitank raksasa. Sehingga semua sampah organik mengendap disitu.Tetapi jangan dilupakan juga sampah anorganik khususnya limbah B3. Mulai limbah detergen hingga bekas batu baterai dibuang ke aliran sungai. Anehnya warga tidak mempedulikan dan tetap mengambil tanah sedimen dari aliran sungai ke bantaran. Cukup tinggi dan curam untuk ukuran ibu-ibu. Tidak saya foto karena saya sungguh-sungguh tidak tega  :P  Semangat apa yang memotivasi mereka? Sekedar eksperimen untuk membuktikan kesuburan tanah hasil sedimen sungai atau ……… entahlah. Yang jelas tanaman bermedia tanah sedimen sungai banyak yang mati. Mungkin juga karena pada bulan Desember 2011, curah hujan masih cukup tinggi. [caption id="attachment_216563" align="aligncenter" width="470" caption="curamnya sungai, dan warga yang bergiliran membersihkan sungai (dok. Maria Hardayanto)"]
13494952301394476709
13494952301394476709
[/caption] Walaupun demikian banyak juga tanaman yang berhasil tumbuh, mulai dari labu siam, pare, bloomkol, mentimun, selada keriting, bawang daun, cabe merah dan cabe rawit. Beberapa warga ternyata mengidamkan suasana berkebun seperti di kampungnya. Karena mayoritas penduduk Bandung adalah kaum urban. Mulai dari perumahan mewah hingga perumahan kumuh. Jangan heran apabila banyak warga berbincang asyik dengan bahasa daerahnya yang notabene bukan bahasa Sunda. [caption id="attachment_216526" align="aligncenter" width="478" caption="urban farming di area terlantar dan bantaran sungai Cidurian (dok. Maria Hardayanto)"]
1349463363352164433
1349463363352164433
[/caption] Mungkin itu pulalah yang menyebabkan masalah sampah berserakan tak kunjung terselesaikan. Gegar budaya. Bingung ketika mendapati kenyataan bahwa uang begitu mudah dicari sekaligus mudah pula dihabiskan. Perubahan terjadi mulai mereka bangun hingga kembali ke peraduan. Rumah yang sumpek, panas, berdebu, terpapar polutan tinggi bukanlah suasana yang kondusif untuk hidup sehat.  Sehingga adanya sepetak tanaman urban farming ini disambut gembira oleh  pak  Ade dan istrinya, keluarga yang tinggal di bantaran dan bekerja  serabutan sebagai buruh bangunan. [caption id="attachment_216527" align="aligncenter" width="480" caption="dulu area tempat membuang sampah (dok. Maria Hardayanto)"]
13494635181063207298
13494635181063207298
[/caption] Tidak ada yang menyangka bahwa semula tanah sepetak ini adalah area favorit membuang sampah. Tetapi begitu menjadi lahan urban farming yang terpelihara dengan sungguh-sungguh maka warga yang lain menahan diri untuk tidak membuang sampah disitu. Bahkan terjadi efek domino berkelanjutan walau prosesnya terasa lambat. Mulai dari menahan membuang sampah, mengompos untuk tanaman, menyirami tanaman walau harus mengambil air dari tempat yang cukup jauh hingga mengonsumsi hasil urban farming berupa sayuran sehat karena tidak menggunakan pupuk kimia. Selain panganan sehat dan bergizi, ibu rumah tanggapun dapat menghemat anggaran dapur. Uang Rp 2.000 yang sedianya digunakan untuk membeli kangkung, bayam atau pakchoy kini dapat disimpan untuk keperluan lain. Hasil urban farming memang tidak harus langsung berbentuk rupiah tetapi  penghematan uang sayur dan kesehatan yang terjaga bukankah terkadang lebih besar nilai nominalnya? Sayangnya sekitar 3 bulan yang lalu, kesenangan komunitas terusik. Pemerintah kota datang membawa program “Green City”, semua tanaman urban farming dibongkar, pagar diperbaharui dan dicat. Paranet dipasang untuk menutupi sekitar 1.000 meter persegi lahan.  Dannnnnnn…………………………menanami area tersebut dengan tanaman hias!! [caption id="attachment_216524" align="aligncenter" width="500" caption="disulap menjadi green city (dok. Maria Hardayanto)"]
13494630831649693288
13494630831649693288
[/caption] Oh ya ampun pemkot Bandung, tahukah kalian apa artinya Green City? Mengertikah kalian tentang konsep Green Economy yang menjadi tema hari lingkungan hidup tahun ini. Mengertikah kalian bahwa ibu Ani Yudoyono memasang plang melintasi jalan-jalan besar tentang konsep ketahanan pangan dalam pemanfaatan ruang terbuka hijau. Sakit rasanya. Lebih sakit lagi ketika mengetahui  dari dana sekitar Rp 50 juta tersebut enggan dianggarkan untuk pembelian/pembuatan komposter seharga Rp 150 ribu saja. Komposter diperlukan untuk mengolah sisa tanaman, sehingga penggiat urban farming tidak harus membeli kompos lagi. Dengan berlinang mata, penulis merangkul anggota komunitas lain yang merasa keberatan dengan keberadaan tanaman hias. “Tidak bisa dimakan”, katanya.  “Tanamannya jelek-jelek, tanaman hias pinggir jalan” sahut lainnya. Penulis sependapat dengan mereka, tetapi apa mau dikata, rupanya pemerintah kota Bandung mempunyai cara yang dianggap lebih "cerdas"  untuk membelanjakan uang rakyat. **Maria Hardayanto** Tulisan ini dirangkum untuk menyemarakkan Weekly Photo Challenge 23: Photo Essay, silakan klik hasil karya teman teman Kampretos disini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun