[caption id="attachment_97280" align="aligncenter" width="680" caption="Ilustrasi"][/caption] "Emangnya ngaruh ?" celetuk seseorang melihat iklan imbauan mematikan 2 buah lampu (dan mematikan alat elektronik yang tidak dipergunakan termasuk dalam keadaan stand-by) selama satu jam dari pukul 20.30 WIB hingga pukul 21.30 WIB pada Sabtu tanggal 26 Maret 2011. Event bertajuk  Earth Hour 60+ yang diadakan World Wide Fund for Nature (WWF) sejatinya bukan sekedar "upacara mematikan lampu " tetapi mengajak masyarakat untuk mengubah gaya hidup dan membiasakan diri untuk hemat energy. Sebagai ilustrasi, apabila 10 % penduduk Jakarta  atau sekitar 700 ribu orang mau melakukannya maka akan berdampak penghematan sekitar 300 megawatt listrik  yang  setara dengan
- Penyelamatan 284 pohon berusia 20 tahun
- Mengurangi emisi karbon ± 284 ton CO2
- Menghemat biaya listrik sebesar ± Rp 200 juta
- Mengistirahatkan 1 pembangkit listrik
- Menyalakan 900 desa, sekedar pengingat : hingga kini baru 66 % rakyat Indonesia yang mendapat fasilitas listrik.
- Setara dengan ketersediaan oksigen untuk 534 orang
Kalkulasi diatas berdasarkan hitungan banyaknya energy fosil yang sementara ini masih dipakai Indonesia. Kegiatan yang direncanakan akan berlangsung di kota-kota :  Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Surabaya dan Denpasar ini diklaim sebagai event terbesar dalam sejarah karena melibatkan 5.000 kota dan satu milyar orang. Dimulai di kota Sidney pada tahun 2007 dengan 2,2 juta partisipan. Pada tahun 2008 , lebih dari 50 juta orang ikut berpartisipasi. Indonesia sendiri sudah 2 kali mengikuti event ini, yaitu pada tanggal 28 Maret 2009, 27 Maret 2010 dan yang berikutnya Sabtu, 26 Maret 2011. Berikut ini jumlah pendukung Earth Hour semenjak tahun 2008 hingga tahun 2010
Merubah gaya hidup memang sulit, karena itu WWF mengajak partisipan untuk menghitung setiap aktivitasnya yang dikonversikan dengan menggunakan alat ukur ecological footprint (jejak ekologis) sehingga setiap partisipan bisa mengukur berapa banyak carbon footprint (jejak karbon) yang dihasilkan. Penghitungannya bisa menggunakan "WWF Footprint Calculator" yang bisa dilihat di
http://footprint.wwf.org.uk/. Dengan alat tersebut kita menghitung emisi karbon dari kegiatan kita di rumah,  aktivitas menggunakan barang-barang elektronik, makan, serta kegiatan perjalanan kita.  Aktivitas tersebut kemudian diterjemahkan dengan  berapa pohon harus kita tanam untuk menetralkan emisi karbon yang kita lepaskan, atau berapa luas hutan yang kita "konsumsi". Terkait gaya hidup, Nazir  Foead, Director of Governance, Community, and Corporate Engagement WWF-Indonesia  mengatakan, ecological footprint Indonesia adalah lebih kecil dari 2 global hektar per capita (gh). Dari laporan WWF, ecological footprint Indonesia berturut-turut 1,48 gh pada tahun 2000, 1,13 gh (2002), 1,2 gh (2004), 1,1 gh (2006), 0,9 gh (2008-angka ini diragukan), dan 1,2 gh (2010-peringkat ke-123). Adapun yang tertinggi adalah negara Uni Emirat Arab dengan 10, 87 gh, disusul Amerika Serikat dengan 10,51 gh, sementara negara jiran Malaysia tercatat 4,86 gh (peringkat ke-34 dunia). Jejak lingkungan ini dihitung dua tahunan. "Memang pernah ada kenaikan, sejalan dengan pertumbuhan ekonomi," ujar Nazir. Nazir juga mengungkapkan : Indonesia boros dalam pemakaian air, sementara Singapura boros dalam pemakaian kertas yang mencapai 180 kilogram kertas per orang per tahun.  Penggunaan kertas di Indonesia adalah 25 kilogram per orang per tahun. Selain itu di Indonesia,  masalah listrik bukan sekadar persoalan penggunaan bahan bakar fosil, melainkan juga perkara ketidakmerataan akses listrik. Baru sekitar 66 persen penduduk Indonesia mendapat akses listrik. Oleh karena itu, dalam rangkaian kegiatan Earth Hour juga akan dilakukan pembangunan sumber energi baru terbarukan mikro hidro di daerah Kalimantan Tengah. Aktivitas lainnya adalah workshop, memberikan pendidikan ke sekolah-sekolah, serta membuka jejaring sosial melalui Facebook, YouTube, Twitter, serta flickr. Sementara puncak acara akan digelar di Pasar Seni, Taman Impian Jaya Ancol. Agak berbeda dengan event impor "Earth Hour 60 +" yang digagas WWF, komunitas di Bali mendapat inspirasi dari Hari Raya Nyepi mengadakan
World Silent Day ke-4 pada tanggal 21 Maret 2011. Masyarakat dihimbau untuk hemat energy selama 4 jam dari pukul 10.00 hingga pukul 14.00 dan mengisinya dengan kegiatan seperti berdiskusi tentang lingkungan, menanam pohon, membuat kompos sebagai pengganti menonton televisi, menyalakan komputer dan ponsel. World Silent Day memang dijiwai semangat  kearifan Nusantara. Pada hari Nyepi Bali bisa menghemat listriknya hingga hanya mencapai 150 MW di siang hari dan 237 MW di malam hari. Padahal dalam keseharian, Bali mendapat pasokan listrik 545 MW. Penurunan yang cukup besar, tapi bukan itu esensinya melainkan cara pandang bijak menyikapi pemakaian energy listrik yang sering kita sepelekan karena kita "mampu bayar" Tuntutan arus modernisasi memang menuntut masyarakat bergerak cepat dan teknologi bergerak maju untuk memenuhi sekaligus memanjakan pergerakan tersebut. Sebagai contoh :
remote control. Hampir tidak ada masyarakat urban yang dapat dipisahkan dari
remote control. Anak kecil hingga dewasa. Bahkan
remote control yang hilang dicari dengan penyesalan mengapa belum diketemukan teknologi pencari seperti ketika seseorang kehilangan ponsel. Ponsel alias HP pun di gambarkan dengan jitu oleh Benny & Mice, dimana masyarakat urban tidak dapat berpisah dari ponsel. Ketinggalan dompet boleh tapi tidak untuk ponsel. Sehingga iklan yang mempertontonkan orang berjam-jam berponsel ria bukan sekedar iklan tapi gambaran nyata kehidupan sehari-hari. Tidak ada yang peduli dan tidak ada yang keberatan selama orang tersebut "mampu membayar". Ketidak pedulian yang membentuk paradigma baru tentang value seseorang. Seseorang dinilai dari apa yang dimiliki, sekolah dimana dia dan bekerja dimana dia. Menyikapi hirukpikuk tersebut, event seperti Earth Hour Day dan World Silent Day hendaknya jangan disikapi : "Ah ngapain harus matiin lampu ? Wong listriknya byarpet gitu. Bahkan percuma juga Presiden SBY berjanji ngga akan pernah ada byarpet lagi, Â listrik tetep mati pada waktu diperlukan. Parahnya, ngga ngasih tahu!" Masalah PLN dan pemerintah , biarlah diselesaikan oleh mereka sendiri. Karena event ini mengajak kita rehat sejenak. Menggugah rasa solidaritas pada sesama penduduk Indonesia yang belum dapat menikmati listrik. Menggugah kepedulian bahwa sumberdaya penghasil energy yang kita nikmati sekarang dan sanggup kita hemat dapat menjadi warisan generasi berikutnya. Menggugah kesadaran, betapa indahnya keheningan hidup tanpa peralatan elektronik. Sekaligus menggugah kesadaraan akan kenyataan bahwa sebenarnya kita bisa hidup tanpa ketergantungan pada listrik. Ngga percaya ? Cobalah, minimal tanggal 21 Maret dan tanggal 26 Maret nanti. Sumber :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Nature Selengkapnya