Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Di Sini Banjir, di Sana Krisis Air

12 Januari 2012   13:31 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:58 595
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_163153" align="aligncenter" width="691" caption="Banjir di jl Dr Junjunan, Bandung (dok. Gin Gin Ginanjar Noor)"][/caption] "Salah urus!" umpat beberapa akun facebook ketika mendapat kiriman gambar banjir  diatas. Mengumpat, menjadi kebiasaan kronis yang sering dilakukan. Apalagi melihat banjir di pintu gerbang Bandung, jalan Dr Junjunan (Terusan Pasteur) pada tanggal 14 Desember 2011 silam yang mengakibatkan beberapa kendaraan harus "berenang" dan menyisakan "malu!" Tetapi apakah banjir setinggi 3 meter bisa terselesaikan dengan kata malu? Sementara DPRD kota Bandung dan pemkot saling berdebat. Ketua Komisi C DPRD kota Bandung Entang Suryawaman mengatakan bahwa pemkot Bandung harus membangun saluran air lebih lebar selain mengeruk sedimentasi bercampur sampah pada sungai yang mengalir melintasi jalan Dr Junjunan. Sementara Wakil Wali Kota Bandung Ayi Vivananda menyindir jumlah anggaran yang minim dan lebih mementingkan  belanja hibah, bantuan sosial dan perjalanan dinas. Pernyataan kedua pejabat tersebut tidak sepenuhnya salah. Menurut pengamat lingkungan, Supardiyono Sobirin sejak tahun 2000-an hanya 10 % air hujan yang berhasil kembali ke tanah, sisanya 90 % mengalir ke drainase yang tidak pernah bertambah jumlahnya semenjak tahun 1960-an sehingga melimpas kemana-mana mengakibatkan banjir perkotaan. Koefisien perbandingan luas dasar bangunan terhadap luas lahan kota Bandung telah melampaui zonasi penataan ruang maksimal 75 %. Masalah pembangunan drainase memang bukan ranah masyarakat. Tetapi setiap anggota masyarakat bisa berkontribusi meminimalisir banjir suatu daerah atau sebaliknya malah memperparah. Dibawah ini denah jalan Dr Junjunan, khususnya daerah Bandung Trade Centre (BTC) daerah yang paling parah dilanda banjir.

13263014011620581745
13263014011620581745
Bersebelahan dengan jalan Sukamulya mengalir anak sungai yang menimbulkan segudang masalah diantaranya bangunan penduduk yang membelakangi sungai sehingga mereka merasa sah-sah saja dengan anggapan bahwa sungai adalah tempat sampah massal. [caption id="attachment_163161" align="aligncenter" width="338" caption="aliran air sungai,  air melimpah dari sini membawa sampah  "]
1326301837832993973
1326301837832993973
[/caption] Kebetulan lokasi tersebut tidak jauh dari lokasi Bandung Berkebun dan lokasi komunitas @sukamulyaindah, suatu komunitas yang penulis dampingi setahun terakhir. Tapi berbeda jauh dengan daerah diseberangnya yang selalu bergemuruh dengan air sungai ketika hujan turun.  Daerah domisili komunitas @sukamulyaindah mengalami krisis air. Air hujan yang melimpah ke dalam sungai yang kotor memang berbeda dengan air bersih yang diperlukan komunitas @sukamulyaindah tetapi apabila daerah di sepanjang sukamulya mau membuat sumur resapan atau minimal lubang resapan biopori (LRB) maka air hujan yang mengalir ke sungai dan drainase tidak akan mengakibatkan banjir di jalan Dr Junjunan  separah itu. Apabila dipilah kasus perkasus, maka penyelesaiannya sebagai berikut:
  • Sampah. Sampah merupakan masalah kompleks yang membutuhkan sinergi banyak pihak. Mulai dari si pembuang sampah yang "semau gue". Tukang sampah yang mengumpulkan sampah tapi kemudian "tega" membuang sampah ke sungai. Hati kecil si tukang sampah pasti tahu bahwa tindakannya akan menyebabkan banjir. Tetapi apa boleh buat, PD Kebersihan hanya sigap menarik uang iuran tapi ogah-ogahan mengosongkan container sampah padahal tukang sampah sebagai ujung tombak dikejar deadline karena hari berikutnya harus mengangkut sampah dari rumah ke rumah. Pemberlakuan sanksi bagi pembuang sampah harusnya bisa dilakukan Satpol PP, minimal sebagai shock therapy karena ada rambu hukum yaitu Perda K3 Kota Bandung. Selain itu mulai menerapkan tarif retribusi baru apabila PD Kebersihan "merasa" pemasukan retribusi tarif lama terlalu rendah. Karena penggodokan tarif baru sudah dikerjakan LPM Universitas Pajajaran lebih dari setahun yang lalu.
  • Posisi rumah yang membelakangi aliran sungai juga berpotensi menggampangkan masalah sampah. Hanya dengan membuang sampah lewat pintu belakang:"plung!" ........selesailah masalah sampah! Tidak terlihat mata! Umumnya bangunan dihuni penduduk urban/pendatang. Karena penduduk asli memiliki lahan cukup sehingga enggan membangun rumah di tepi sungai. Kalaupun dia membangun rumah di tepi sungai biasanya dibangun untuk disewakan bagi kaum pendatang. Solusinya hanya satu. Tindakan tegas. Memindahkan penduduk yang umumnya tidak mengantongi Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ini ke rumah susun sederhana sewa (rusunawa) yang tidak terletak di tepi sungai. Karena Daerah Aliran Sungai (DAS) sebetulnya merupakan daerah terlarang untuk bangunan permanen.
  • Pembangunan sumur resapan dan LRB. Ironisnya berseberangan dengan daerah aliran sungai tersebut, daerahnya mengalami krisis air. Sehingga sudah menjadi pemandangan umum apabila antar rumah meminta air sumur dengan menggunakan slang atau ember. Salah satu RW dari area tersebut membentuk suatu perkumpulan ibu-ibu rumah tangga bernama komunitas @sukamulyaindah. Berbekal keinginan ingin keluar dari masalah krisis air dan ingin berkegiatan positif, mereka berkumpul setiap minggu untuk belajar memisah sampah, menggunakan kotak takakura, membuat lubang resapan biopori (LRB) dan meminimalisir sampah plastik dengan mengumpulkannya dan membuat kerajinan.

Banyak pertanyaan terlontar, mengapa perilaku masyarakat Indonesia berubah? Kemana perginya kearifan local, gotong royong dan kepedulian social? Ada banyak jawaban. Tetapi yang terutama adalah adanya kesenjangan. Kesenjangan antara anggota masyarakat yang dengan mudahnya menumpuk gelar kesarjanaan ketika anggota masyarakat lainnya tidak sanggup menyelesaikan sekolah dasarnya. Antara si kaya dan si miskin. Masing-masing asyik dengan dunianya. Ditengah itu ada para birokrat yang asyik juga merumuskan perundang-undangan dan penggunaan uang APBD. Hal mana sering menyebabkan masyarakat grass root bersikap skeptis karena merasa tidak diperlakukan dengan adil. Mereka merasa memiliki tanah air Indonesia ini tetapi sekaligus merasa tidak memiliki. Merasa bangga sekaligus tidak peduli. Semuanya berakhir pada satu rasa: Merasa asing di rumah sendiri!

Dan apakah yang terjadi pada rumah yang tidak dipedulikan pemiliknya?

**Maria Hardayanto**

tulisan terkait :

1326303634276252351
1326303634276252351
13263037091921675572
13263037091921675572
13263037522080324485
13263037522080324485

1326304361818330661
1326304361818330661

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun