[caption id="attachment_199938" align="alignleft" width="300" caption="Launching Program Lingkungan Hidup selalu dihadiri pejabat"][/caption]
ABS atau Asal Bapak Senang, lazim berlaku pada masa Orde Baru. Pada masa itu dengan tangan dingin dan berbekal feodalisme, pak Harto mencanangkan program “Keluarga Berencana”. Berhasilkah ? Menurut laporan, ya sangat berhasil !! Tapi tahukah pak Hartodan pemirsa yang menonton tayangan keberhasilan program Keluarga Berencana bahwa terjadi keanehan-keanehan yangdidisain untuk menunjukkan bahwa program tersebut sukses dan pak Harto tersenyum ?
Pada suatu acara yang disiarkan televisi nasional, seorangtetangga yang kebetulan bertubuh subur dan mempunyai9 orang anak, diinstruksikan pak Camatsetempat untukmengutarakan betapa bahagianyadia karena hanya mempunyai 2 orang anak.
Dilain waktu, sebagai pengantin muda yang belum berencana mengikuti program Keluarga Berencana, petugasKB mencatat saya sebagai pemakai spiral (alat kontrasepsi KB), hanyasekedar untuk menunjukkan bahwa program KB di daerah kami berhasil.
Tetapi di zaman reformasi (katanya), bukankahcara-cara tidak lazim dan cenderungpolesan harusnya sudah tidak terjadi ? Slogannya adalah : Rakyat Butuh Bukti Bukan Janji !!
Sayang , kebiasaan yang mengakar disegala sendi kehidupan dan sesungguhnya tidak menguntungkan siapapun tersebutmasih terjadi.
Programnya saja yang berubah, karena sekarangsedang trend issue lingkungan hidup, program mengenai lingkungan hiduplah yang digulirkan, tanpa melakukan kajian pendekatanyang jitu terhadap masyarakat.
Padahal pembenahan lingkungan hidup diperlukan oleh masyarakat bukan pejabat. Di setiap pembicaraan mengenai lomba lingkungan hidup, pejabat setingkat RW (Rukun Warga) dan RT (Rukun Tetangga) sepakat bahwa yang terpenting adalah pembenahan lingkungan hidupnya bukan hadiah perlombaannya,…………. nah ?!
Anehnya pejabat diatas RT dan RW tidak sepakat bahwa program lingkungan hidup yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup warga tidak memerlukan gebyar pembukaan yang menghabiskan uang ratusan juta.
Kok bisa menghabiskan uang sebanyak itu ? Ya,bisa karena asyiknya pihak terkait (baca: bukan masyarakat) merancang dan menggelar acara pembukaan Pelatihan Lingkungan Hidup penuh gebyar gemebyar.
Gebyar dimulai dari pembukaan di tingkat kota, dimana seluruhpejabatdaerah maupun pejabatterkait hadir. Tidak lupa kegiatan standar seperti penanaman pohon dan melepasratusan burung yang semula diternakkan untuk terbang ke habitatnya.
Gebyarserupa diteruskan ditingkat kecamatan dan diteruskan lagi ke tingkat kelurahan.Prakteknya? Yah terserah masyarakatnya, mau Jumsih(JumatBersih) saja yang berarti hanya sekedar menyapu halaman serta membersihkan jalan-jalan setapak di depan rumahnya, atau memisah sampah dan hasilnya disalurkan ke bank sampah, atau sekedar ikut Gebyar kemudian pulang tanpa kesan kecuali tadi saya bertemu pejabat tinggi !!
Tapi yang paling miris adalah suatu kejadiangebyar pembukaan pelatihan lingkungan hidup di suatukecamatan yang dihadiri bapak Wakil Walikota. Karena ingin menampilkan sesuatu yang berbeda, panitia pontang panting mencari tanaman padi dalam pot. Biasanya saya menanam, pak SobirinSupardiyono juga dan DPKLTS (Dewan PemerhatiKehutanan dan Lingkungan Tatar Sunda) wadah tempat kami menginduk dan berbagi pengalaman tentang tanaman padi dalam pot yang berbasis SRI hampir selalu menyiapkan tanaman padi tersebut.
Sayang, saya tidak bisa memberikan sumbangan tanaman padi dalam pot karena baru saja dicabuti dan dijadikan kompos karena padinya sudah habis dimakan burung yang berterbangan diatas rumah dan masuk ke pekarangan yang dipenuhi pohon.
Untuk meminjam kepada pak Sobirin Supardiyono, mungkin panitia segan.
Satu – satunya harapan hanyalah tanaman padi DPKLTS yang kebetulan hanya tersisa 2 pot. Itupun masih kecil-kecil, tetapi dari satu bulir benih padi akan muncul banyak tunas tanaman.
Panitiapun mendapat akal, dari 2 rumpun padi dalam 2 pot dipisah-pisah menjadi beberapa polybag. Wah keren kan. Kecamatan tersebut seolah-olah sudah sadar lingkungan dengan membuat kompos sendiri bahkan menanam padi polybag.
Benar saja, di sebuah harian tertanggal 15 Juli 2010 tertulis bahwa kecamatan tersebut membuatterobosan menarik dengan menanam padi dalam polybag. Kemudian apa kata bapak Wakil Walikota ?“ Sebelumnya sudah ada lembaga yang menanam padi pada polybag. Tetapi masyarakatsecara masif menanam padi pada polybag dan diberi pupuk hasil pengomposan, ini merupakan hal yang baru.”
Oho, andaikan bapak Wakil Walikota mengetahuibahwa masyarakat yang dipuji-puji ternyata meminjam padi polybagdari lembaga dimaksud. Jangankanmembuatkompos dan menanam padi, mengajakmasyarakatmemisah sampah sulitnya bukan main. Padahal pemisahansampah dari awal adalah ujung tombak pembuatan kompos. Setelah mempunyai kompos, barulah masyarakat diajakmenanam tanaman yang lebih mudah dan manfaatnya langsungterasa seperti cabai (yang sekarang harganya mencekik leher), kangkung, bayem, tomat atau tanaman obat.
Salahkah bapak Wakil Walikota dan media yang memublikasikannya ?Jawabannya iya dan tidak, iya karena harusnya bapak Wakil Walikota menyisihkan waktu untuk wawancara dengan masyarakat tentang tanaman padi polybagsehingga acara ABS ini tidak membudaya. Tidak , karena saya tahu bapak Wakil Walikota mempunyai kesibukan yang padatmengingat semua pembukaan pelatihan tingkat kecamatan harus beliau hadiri.
Danmengapa saya usil ? Apa urusannya apabila acara ABS ini membudaya ?
Karena tanaman-tanaman yang diakui sebagai tanaman masyarakat itu sebetulnya hasil kerja sukarelawan (yang artinya tidak dibayar) DPKLTS untuk dibawa ke daerah Priangan Selatan dalam rangka kampanye SRI (System Rice Intensification). Bisa dibayangkan sedihnya , tanaman yang dipelihara dengan tujuan mulia tersebut digunakan untuk tujuan ABS.
Beberapa waktu kemudian kesedihan saya bertambah ketika salah seorang anggota panitia menghubungi saya : “ Bu, bisa pinjam tanaman padinya ?”
“ Untuk apa ? Berapa banyak ? “ Jawab dan tanya saya kembali.
“ Untuk pembukaan pelatihan dikecamatan XXX”.Dua ratus polybag bu, eh kalau bisa 500 polybag .”
Hah ???!!!!Maksudnya ???!!!
Salam ABS
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H