Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

#BdgBgt, Solusi Sampah yang Menarik Tapi .............

27 Desember 2011   11:04 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:41 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kamir R. Brata di halaman belakang gedung Kompas Gramedia

[caption id="attachment_159439" align="aligncenter" width="350" caption="RVM, solusi atau tanggungjawab?"][/caption] Hari Senin, 26 Desember 2011 sekitar pukul 23.00 WIB, salah satu radio anak muda di Bandung mengangkat topik sampah. Wah bagus banget! Dengan hastag #BdgBgt dan narasumber Ridwan Kamil, mereka pastinya punya tekad ngga mau peristiwa Bandung Lautan Sampah, 21 Februari 2005 terulang. Sayang sekali kali ini penulis harus kecewa. Bahkan gambar-gambar yang diposting pada twitter mereka sebagai berikut :

Mengapa? Karena gambar-gambar dan solusi keren  tersebut kurang tepat sasaran. Sebanyak 60-70 % sampah di Indonesia bukanlah sampah kaleng dan plastik melainkan  sampah mudah membusuk alias sampah organik. Hal itu pulalah yang menyebabkan pembangkit listrik tenaga sampah (PLTSa) di Bandung mendapat penolakan. Idealnya mayoritas sampah yang masuk PLTSa adalah sampah kering/setengah kering seperti di negara maju sehingga tidak dibutuhkan energy ekstra untuk mengeringkannya. PLTSa Bantargebang yang digadang-gadang akan mampu menghasilkan listrik dari pengolahan gas methanpun hingga kini tidak terdengar kabarnya. Bahkan tahun ini Pemerintah Kota Bekasi menuntut kompensasi pembayaran Rp 19 milyar untuk perluasan lahan pembuangan sampah. Padahal apabila proyek waste to energy di Bantargebang berjalan lancar harusnya TPA tersebut tidak memerlukan perluasan lahan bukan? Masalah utama sampah memang bukan teknologi pemrosesan sampah yang terkumpul di TPA. Karena untuk urusan teknologi sih ilmuwan Indonesia bejibun banyaknya. Tetapi lebih ke masalah kultur. Masalah cara pandang masyarakat terhadap sampah. Dan masalah tersebut tidak akan terpecahkan apabila menafikan jenis sampah yang dibuang penduduk Indonesia. Atau bahkan menyamakan jenis sampah Indonesia dengan jenis sampah Singapura dan Denmark sebagai bahan study banding. Jadi gimana dong? Sederhana saja, sesederhana yang dilakukan orang tua jaman dulu yaitu memisahkan sampah basah dan mudah membusuk terlebih dulu. Karena sampah anorganik menggunung di depan rumah selama sebulanpun tak apa-apa. Sampah organik yang mudah membusuk dimasukkan ke lubang resapan biopori (LRB). LRB sangat mudah dibuat. Diperkenalkan pertamakali oleh kompasianer Kamir R. Brata , ilmuwan IPB yang telah bereksperimen puluhan tahun. Kamir R. Brata juga pernah menunjukkan cara pembuatan LRB di halaman belakang Gedung Kompas Gramedia, Jakarta. LRB mempunyai multi fungsi, selain menyimpan sampah organik yang menjadikan tanah tersebut subur juga sebagai penyimpan air hujan di perkotaan. Air hujan yang menimbulkan banjir, kemacetan dan rusaknya jalan-jalan umum. [caption id="" align="aligncenter" width="298" caption="Kamir R. Brata di halaman belakang gedung Kompas Gramedia"][/caption] LRB juga cara termudah untuk anak-anak muda yang mulai peduli sampah. Mereka bisa bikin acara ngumpul bareng untuk membuat LRB di taman-taman kota yang bisa diisi daun-daun kering dan rumput. Selain itu juga membuat LRB di rumah-rumah secara bergantian. Bagaimana dengan pekarangan rumah yang terlanjur tertutup semen tanpa meninggalkan celah untuk membuat LRB? Tetap ada solusi, yaitu membuat/membeli kotak takakura untuk membuang sampah organik kesitu. Dalam kurun waktu 2 bulan kotak takakura yang terisi penuh karena diisi sampah setiap hari dapat disaring. Hasil saringannya berupa kompos, sangat berguna untuk tanaman sedangkan sisanya masukkan saja kembali ke kotak untuk diisi sampah organik kembali. Bagaimana dengan sampah anorganik? Berikan saja pada pemulung, atau bisa juga dijual, nilainya sekitar  Rp 100.000/keluarga/bulan. Mudah bukan? Memang mudah, masalahnya menjadi njlimet karena sikap feodal masyarakat Indonesia yang memandang rendah urusan sampah. Sehingga pemulung yang sudi mengais-ngais sampah ditahbiskan sebagai pahlawan lingkungan. Wah pemulung bukan pahlawan lingkungan. Perilaku pemulung umumnya tidak ramah lingkungan. Dia memulung karena terpaksa. Apabila ada alternatif pekerjaan yang tidak berurusan dengan sampah dan penghasilannya lebih besar, pastilah dia akan lebih memilih meninggalkan profesi pemulungnya. Bagaimana dengan alternatif-alternatif pengelolaan (recycle) sampah seperti gambar diatas? Nggak terlalu jelek sih. Sekedar untuk asyik-asyikan boleh juga. Tapi tidak mengedukasi. Karena edukasi lingkungan haruslah dimulai dengan mengurangi sampah atau reduce. Baru kemudian  reuse. Recycle adalah pintu gerbang terakhir sesudah 2 tahap awal berusaha dilakukan. Recyclepun sebetulnya bukan kewajiban kita sebagai konsumen karena menurut undang-undang nomor 18 tahun 2008 ayat 15, produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam. Jadi sudah seharusnya produsen softdrink dan semua produsen yang menggunakan kemasan kaleng menyediakan mesin diatas. Bahkan produsen juga wajib menyediakan mesin  tersebut di supermarket-supermarket seperti reportase Della Anna dari Belanda. Juga bukanlah sesuatu yang aneh ketika pihak Danone Aqua menyediakan Reserve Vending Machine (RVM) di Monas. Dimana pengunjung yang membawa 10 botol bekas Aqua bisa menukarkannya sebagai tiket masuk. PT Tirta Investama selaku produsen Aqua seharusnya menyediakan berjuta-juta mesin serupa sebagai bentuk tanggung jawab terhadap limbah hasil produksinya. Mesin-mesin tersebut wajib disebarkan ke seluruh penjuru Indonesia untuk diproses hasil cacahan plastiknya oleh UMKM yang menjadi rekanan PT Tirta Investama. Bahkan PT Tirta Investama seharusnya segera menyediakan mesin-mesin tersebut karena sudah terlalu lama kewajibannya diambil alih oleh para pemulung dan tukang rongsok yang bersedia keliling penjuru kota untuk mengumpulkan bekas kemasan mereka, menyetorkannya pada pengepul hingga akhirnya diolah oleh para pelaku usaha mikro menjadi biji plastik. Dan tentu saja, produsen air mineral dalam kemasan juga tidak boleh melupakan dosa lainnya yaitu  privatisasi dan monopoli terhadap sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak. Entah sudah berapa ratus triliun rupiah sumber daya alam berupa air yang telah dikeruk dari bumi Indonesia ini. Hingga waktu itu tiba. Waktu dimana penduduk Indonesia harus berperang untuk memperebutkan air bersih. Waktu dimana penduduk Indonesia dipenuhi ledakan sampah anorganik karena ulah produsen yang tidak bertanggungjawab dan pejabat lemah yang kekenyangan uang korupsi. **Maria Hardayanto** sumber gambar :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun