Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Bakarlah Hutan, Toh Bisa Ditanami Lagi

6 Januari 2016   08:29 Diperbarui: 21 Desember 2016   19:36 1551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="sumber: Kompas.com"][/caption]

Masih segar dalam ingatan ketika netizen serempak bersuara melawan asap yang disebabkan kebakaran hutan. Solidaritas bangkit karena asap menyebabkan puluhan ribu warga masyarakat terjangkit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) bahkan belasan diantaranya meninggal dunia. Asap mengganggu kegiatan belajar mengajar sehingga sekolah-sekolah meliburkan anak didiknya. Jarak pandang hanya 50 meter mengakibatkan gangguan pada transportasi udara.

Tidak heran, banyak netizen tergugah rasa keadilannya ketika tanggal 30 Desember 2015 silam, hakim PN Palembang, Parlas Nababan menolak gugatan kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) terhadap PT Bumi Mekar Hijau yang dianggap telah membakar hutan.

Kebakaran hutan memang bukan sekadar hilangnya harta yang bisa diganti uang sebanyak Rp 7,8 triliun sesuai tuntutan KLHK, karena binasanya hutan serta isinya berarti mengancam kesehatan dan keberlangsungan hidup manusia. Abah Iwan, pengarang lagu “Melati dari Jayagiri” memiliki kebiasaan unik setiap menjelaskan pentingnya oksigen bagi manusia. Dia akan menyuruh kita menyarungkan kantong plastik ke kepala hingga tidak bisa bernapas. Tujuannya agar manusia memahami dan menghargai pohon. Apalah daya manusia tanpa pepohonan.

Dalam satu jam, daun menghasilkan oksigen 5 ml/jam. Jika pohon memiliki sekitar 3.000 daun, maka satu buah pohon akan menghasilkan oksigen 3.000 x 5 ml = 15.000 ml/pohon/jam
Udara mengandung 21 % oksigen dan setiap manusia membutuhkan 252 liter udara per jam. Sehingga kebutuhan manusia akan oksigen 21 % dari 252 liter udara atau sama dengan 53 liter = 53.000 ml oksigen per jam.
Jadi untuk bernafas setiap jamnya, manusia membutuhkan 53.000/15.000 x 1 pohon = 3,5 pohon. (Andrew Skipor,Ph.D,2001)

Dari hitungan di atas jelaslah bahwa kecil banget artinya jika kita hanya berteriak memprotes asap sebagai dampak kebakaran. Analogi sederhananya:

Akibat ulah B, rumah si A terbakar. Bagaimana reaksi A dan keluarga? Berteriak soal asap? Meminta maaf pada tetangga yang terkena asap? Bukankah lebih masuk akal jika A dan keluarga lebih merisaukan rumah dan harta benda yang hancur. Harta yang dikumpulkan dengan menyicil dan penuh perjuangan. Tapi yang paling menyedihkan tentunya petaka yang menyangkut hidup matinya keluarga A. Lenyap menguap hanya menyisakan debu dan arang.
Sudah seharusnya A menuntut B yang diduga menjadi penyebab kebakaran. Sayang, hakim tidak mengabulkan permohonan A, dengan alasan toh rumah bisa dibangun lagi.

Kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) sebagai perwakilan rakyat Indonesia, bernasib seapes A. Tuntutannya ditolak. Padahal yang diperjuangkan adalah hutan sebagai paru-paru planet bumi. Kebakaran hutan akan mengakibatkan:

  • Iklim bumi akan terganggu. Pohon tumbuh menyerap CO2 dari atmosfer dan menyimpannya dalam akar, daun, dan tanah hutan. Ketika hutan terbakar, fungsinya sebagai penyerap karbon akan berubah karena sejumlah besar karbondioksida dilepaskan ke atmosfer. Sementara itu kita ketahui di COP 21 Paris, Indonesia menyepakati menjaga pemanasan global di bawah ambang 2 derajat celcius. Untuk mengamankan kehidupan ratusan juta penduduk pesisir di seluruh dunia. Juga menjaga cadangan air dan pasokan makanan agar tidak terganggu.
  • Hutan menunjang 80% keanekaragaman hayati terrestrial. Kepunahan hutan akan mengakibatkan terganggunya ekosistem dan berimbas pada keamanan pangan, perlindungan daerah aliran sungai dan tanah yang subur.
  • Pohon di hutan merupakan bagian penting dari siklus air. Dengan memperlambat arus, memberi kesempatan air meresap ke dalam tanah. Hutan menabung air bagi manusia dan fauna di dalam air maupun yang hidup di sekitarnya. Adanya pepohonan juga membantu mengurangi erosi oleh air dan angin.
  • 1,6 miliar orang di seluruh dunia bergantung pada hutan untuk sumber makanan, obat-obatan, bahan bakar, dan mata pencaharian mereka. Termasuk juga 60 juta masyarakat adat, yang hampir seluruhnya bergantung pada hutan untuk menghidupi keluarga dan budaya mereka yang unik.

Begitu banyak manfaat hutan, begitu besar manusia bergantung pada keberadaan hutan, kok ya hakim Parlas Nababan tega nian menolak tuntutan KLHK? KLHK menuntut kerugian atas kebakaran lahan seluas 20 ribu hektare di Distrik Simpang Tiga Sakti dan Distrik Sungai Byuku Kabupaten Ogan Komering Ilir. Tapi benarkah terjadi kebakaran di kawasan tersebut? Betulkah PT Bumi Mekar Hijau (BMH).yang membakar? Adakah bukti akurat yang menunjukkan BMH pelakunya? Disini nampak kelemahan tuntutan yang diajukan KLHK yaitu:

  • Tidak ada laporan kerusakan lahan di Dinas Kehutanan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI).
  • Gugatan dinilai prematur, eksepsi gugatan kabur, waktu terjadinya kebakaran tidak jelas, dalil tidak jelas.
  • Pihak KLHK tidak dapat membuktikan perhitungan kerugian seperti yang digugatkan melalui hasil laboratorium terakreditasi sesuai peraturan UU. KLHK tidak dapat membuktikan adanya kerugian ekologi, seperti adanya perhitungan kehilangan unsur hara, kehilangan keanekaragaman hayati, sehingga tidak dapat dibuktikan perbuatan melawan hukumnya.
  • KLHK belum memiliki peraturan baku mengenai peralatan pengendalian kebakaran.
  • Hakim melihat tidak ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian. Dari hasil laboratorium diketahui tidak ada indikasi tanaman rusak bahkan setelah terbakar tanaman akasia masih dapat tumbuh dengan baik.

Ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. kita pantas marah akan ketidak adilan. Mengeluh majelis hakim tidak paham lingkungan. Walaupun seperti yang dikatakan Ketua Pengadilan Negeri Palembang, Sugeng Hiyanto, mereka memang kekurangan hakim lingkungan karena kasus lingkungan jarang terjadi, sehingga dipilih Parlas Nababan (ketua) yang merupakan hakim ex officio (semua perkara), Kartijono (anggota) yang telah mendapat sertifikat hakim lingkungan sejak tahun 2011 dan Eli Warti (anggota) yang belum bersertifikat lingkungan.

Itulah potret sesungguhnya lingkungan hidup kita dan bagaimana masyarakat memaknai. Berteriak soal asap sementara petaka yang menyangkut keberlangsungan hidup sesungguhnya yaitu hilangnya ratusan juta ton oksigen malah diabaikan. Demikian juga yang terjadi dengan KLHK yang kedodoran dalam menyiapkan regulasi dan memperjuangkan penerapannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun