[caption id="attachment_226234" align="aligncenter" width="576" caption="dok. Ajie Nugroho"][/caption]
“Bu, minta air yaaaa………… Tangan saya kotor, nih “, pinta seorang ibu seraya mengambil air minum dalam kemasan (AMDK), menyobek tutupnya dan menggunakan AMDK gelas tersebut untuk menyuci tangannya yang kotor.
Walau kerap terjadi, penulis tetap mengernyitkan kening melihat pergeseran perilaku tersebut. Hanya karena satu gelas AMDK dapat dibeli dengan uang senilai Rp 500,00 maka manusia menjadi malas beranjak mencari air bersih untuk mencuci tangan. Tidak si kaya atau si miskin, semua berperilaku sama.
Bahkan beberapa kawan bercerita bahwa mereka menggunakan air dalam kemasan galon untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Penyebabnya? Air PDAM berwarna kekuningan atau air sumur berwarna tidak sekinclong AMDK.
Harga AMDK menjadi bukan sekedar wacana perdebatan. Karena produsen  berusaha memenuhi permintaan konsumen dengan menetapkan harga semurah mungkin. Tentunya dengan mengenyampingkan biaya lingkungan berupa  jejak ekologis yang tergambar dalam kabut peradaban sebagai berikut:
[caption id="attachment_226227" align="aligncenter" width="470" caption="kabut peradaban (dok. http://agungsmail.wordpress.com/2010/01/22/kabut-peradaban-manusia-dan-alam/)"]
Proses awal  terjadinya suatu produk hingga sampai ke tangan konsumen dan berakhir menjadi barang tidak berguna dinamakan kabut peradaban. Banyak pengorbanan yang luput/tidak dikalkulasi.  Sedangkan dalam industri AMDK , pelanggaran sering terjadi ketika proses berlangsung diantaranya eksploitasi melebihi kemampuan alam menyediakan pasokan air bagi manusia. Sehingga siklus hidrologi terganggu. Ancaman krisis air bersih adalah keniscayaan bukan gertakan.
Berdasarkan alasan-alasan itulah, penulis menghitung virtual water yang terkandung dalam sepotong hamburger berdasarkan harga AMDK di tulisan : Benarkah Harga Hamburger Lima Juta Rupiah? Untuk memberi ilustrasi betapa mahalnya air sehingga apabila dikonversi  maka sepotong hamburger akan senilai lima juta rupiah. Itupun "beruntung" karena masih ada supply air walau berharga mahal. Di beberapa tempat penduduk harus menyiapkan golok untuk mendapat jatah air selokan  bagi keperluan sehari-hari.
Sungguh ironi. Ketika masyarakat  desa Sindangjaya Kota Bandung memperebutkan air selokan tetapi  kelompok masyarakat Bandung lainnya memilih  AMDK dibanding harus memasak  dan menyiapkan air minum dalam teko. Bahkan  "tega"  menggunakan AMDK untuk menyuci tangan.
Judul tulisan tidak sekedar bombastis, tapi  berdasarkan pertimbangan adanya masalah esensial yang disepelekan. Adanya pengabaian situasi riil ketika manusia perkotaan terkukung dalam banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Muaranya  akibat ulah manusia juga. Mengapa tidak mau menghargai air? Mengapa enggan menanam pohon yang mampu membantu penyerapan air? Mengapa enggan membuat sumur resapan, bahkan bentuk sumur resapan yang paling sederhana dan lebih memilih menutup semua lahan pemukiman hingga air hujan tidak berkesempatan singgah .
Selain bersikap arif pada alam, ada baiknya kita cermati  data berikut:
- Rata-rata pemakaian air bersih harian per orang Indonesia adalah 144 L atau setara dengan sekitar 8 botol galon air kemasan(Survey Direktorat Pengembangan Air Minum, Ditjen Cipta Karya pada tahun 2006 )
- Tapi rata-rata pemakaian air harian per orang Indonesia yang tinggal di kota besar bisa sampai 250 L atau setara dengan sekitar 13 botol galon air kemasan. (Sulistyoweni Widanarko, Guru Besar Ilmu Teknik Penyehatan Lingkungan UI, 2004).
Perbedaan terjadi karena di kota besar, air tidak hanya digunakan untuk minum, masak, mandi dan sanitasi tetapi juga untuk menyuci kendaraan, mengisi air kolam renang, akuarium, membersihkan kandang binatang peliharaan dan lain-lain. System perpipaannyapun berbeda mengakibatkan pemborosan air ketika kran air terlupa ditutup atau ada kran bocor yang tidak segera diperbaiki. Kran/WC yang bocor akan membuang air secara sia-sia sekitar 100 liter per hari.
Beberapa langkah kecil yang berdampak besar dalam menghemat air:
- Sikat gigi dengan kran mengalir selama 1 menit menghabiskan air sebanyak 6 liter sedangkan dengan gelas hanya 0,5 liter.
- WC single flush menghabiskan air sebanyak 6 liter sedangkan dual flush 3 liter. Cukup tekan flushing kecil ketika buang air kecil.
- Menyuci mobil dengan ember ternyata lebih irit karena hanya menghabiskan 75 liter air, sedangkan apabila menggunakan slang air akan menghabiskan 300 liter air.
- Menyuci baju dengan top loading lebih boros karena menghabiskan 150 liter air sedangkan front loading hanya 100 liter air.
- Menyuci piring dengan baskom juga lebih irit karena hanya menghabiskan 45 liter air sedangkan dengan kran air selama 15 menit menghamburkan air sebanyak 90 liter.
Ada banyak pilihan menghemat air yang bertujuan menjaga keberlanjutan tersedianya air, sumber kehidupan bagi semua mahluk. Mulai dari menabung air dengan membuat sumur resapan/biopori dan menanam sebanyak mungkin pohon agar air tidak mengalir sia-sia ke selokan. Serta menghargai setiap tetes air yang tercermin dalam perilaku. Â Semua pilihan bergantung pada manusia, mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna, yang justru sering tidak menyadarinya.
**Maria Hardayanto**
Masalah air tidak bisa tertuang dalam satu tulisan (sekitar 700 kata) , karena itu tulisan ini merupakan rangkaian dari :
1. Mengapa (Harus) Banjir di Musim Hujan
2. Benarkah Harga Hamburger Lima Juta Rupiah?
dan
b. Peluncuran Buku Tentang Air di Hari Air
Sumber :
- GreenFest08
- Kehausan di Ladang Air - Zaki Yamani
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H