[caption caption="pemulung perempuan"][/caption]
"Setiap hari masing-masing orang menghasilkan 2,5 liter sampah," kata Menteri Lingkungan Hidup 2011-2014, Balthasar Kambuaya. Dikalikan dengan jumlah penduduk Indonesia, bisa ditebak bahwa total sampah per hari pastinya banyaaaaakkkkkkkk ..... sekali. Kemana berakhirnya sampah yang banyak tersebut? Jawabannya pasti beragam, bisa ke tempat sampah atau ke sungai.
[caption caption="pemulung di TPS"]
Padahal siapapun tahu bahwa ada nilai rupiah dibalik sampah. Seperti yang dilakukan perempuan tua yang asyik bergumul dengan sampah ini. Mungkin terlontar pertanyaan, kok mau? Kok ngga jijik? Apa sih yang dicari? Tetapi siapapun akan kaget mengetahui bahwa dia tidak hanya memungut sampah plastik, kertas yang bisa dijual, tapi juga sisa-sisa makanan. Sisa makanan dibersihkan dari kotoran untuk kemudian disantap seketika itu juga atau disimpan.
Kosa kata bau, kotor, jijik sudah menjadi bias makna. Perut butuh diisi, dan perolehan makanan yang menurutnya “ah, belum 5 menit” berarti menghemat beberapa rupiah dari jumlah penghasilan hari itu.
Kejadian serupa tidak hanya dapat kita temukan di tempat penampungan sampah sementara (TPS) Jalan Puter Kota Bandung, tetapi juga TPS seluruh kota besar. TPS merupakan terminal sementara sampah kota yang menjadi incaran siapapun yang membutuhkan rupiah secara halal. Padahal jika sampah dipisah sejak hulu bukan saja menguntungkan ibu berbaju biru tapi juga tukang angkut sampah.
Tukang angkut sampah di wilayah rukun tetangga (RT) biasanya memilah sampah semampu mungkin. Hasilnya lebih dari lumayan, bisa mencapai Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per rit.
[caption caption="tukang angkut sampah"]
Sayang mereka terkendala. Mereka harus mengejar waktu yang ditentukan agar hasil kerjanya mengumpulkan sampah dari rumah ke rumah bisa segera dipindahkan di TPS. Ada ketentuan khusus yang harus ditaati. Seorang penarik sampah RT tidak bisa sembarangan menyimpan sampah di TPS, ada waktu khusus dan “petugas” khusus yang meminta bayaran. Merekalah yang akan memindahkan sampah dari gerobak ke kontainer sampah sebelum akhirnya dibawa ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
Jika demikian ritmenya, mengapa tetap ada sampah di TPS? Terbukti ibu berbaju biru bisa bergerilya mencari sampah. Oh, itu sampah diluar ketetapan. Ibu tersebut memungut sampah yang berasal dari warga yang enggan membayar iuran sampah RT. Mereka ‘berinisiatif’ membuang sampahnya sendiri ke TPS. Tidak malu, karena banyak warga lain yang melakukannya. Walau umumnya TPS Kota Bandung sudah tertutup agar nampak rapi dari luar, toh mereka tetap bisa masuk, membukanya dan membuang sampah. “Petugas” khusus tak mampu menjangkau pembuang sampah illegal.
Untuk setiap kawasan ditetapkan satu TPS tertentu, untuk pembuangan penarik sampah RT tertentu, dan dengan “petugas” kontainer tertentu juga. Apabila aturan tidak berjalan atau semua sampah masuk ke TPS, bukan ke kontainer, maka sang ibu berbaju biru bakal tertutup gunungan sampah. Jangankan mengorek-orek sampah dengan leluasa, bernapaspun mungkin sulit karena padat dan banyaknya sampah yang masuk.