Namun, seperti ancaman tak nampak lainnya, bahaya mikroplastik diabaikan masyarakat Indonesia. Kita terbuai system persampahan tradisional yang selama ini diterapkan pemerintah daerah setempat, yaitu: Kumpul, angkut dan buang.
Gak heran berbagai tragedi terkait sampah pun bermunculan. Yang paling tragis adalah longsornya TPA Leuwigajah Cimahi pada 21 Februari 2005 memakan korban 157 orang, dan hilangnya 2 permukiman.
Atas tragedi kemanusiaan tersebut, nampaknya warga Bandung belum kapok. Terbukti 19 Agustus 2023 terjadi kebakaran di TPA Sarimukti yang menyebabkan Bandung menjadi lautan sampah. Pengulangan tragedy 2005.
Tidak hanya kota Bandung yang mengalami lautan sampah. Tanggal 23 Juli 2023 silam, Pemda DIY menutup TPA Piyungan, Bantul, Yogyakarta, karena kapasitas tempat pembuangan akhir tersebut telah melebihi kapasitas sejak tahun 2010. (sumber)
Selanjutnya silakan mengetik "TPA Longsor" di mesin pencari, maka akan bermunculan beberapa TPA seperti TPA Peh Jembrana, Bali; TPA Cipayung Depok, TPA Cipeucang, Serpong dan masih banyak lagi.
TPA yang bermasalah (overload, kebakaran, longsor dan lainnya) akan berimbas pada daerah-daerah pengirim sampah. Timbulan sampah memenuhi setiap sudut kota. Menyebarkan bau busuk dan dan aliran air lindi.
Solusinya Ternyata Mudah!
Setiap masalah yang muncul akibat perilaku manusia, solusinya pasti mudah!
Dari data di atas terlihat bahwa 43 persen atau menempati posisi terbanyak adalah sisa makanan atau sampah organik. Jumlah sampah organik bervariasi di setiap daerah. Misalnya Kota Bandung, sampah organiknya mencapai sekitar 60 persen.
Semakin metropolitan suatu kota, jumlah sampah organiknya akan berkurang. Demikian pula sebaliknya. Hal ini berkorelasi dengan lahan yang dibutuhkan untuk mengompos sampah organik.