Penyandang disabilitas kerap mendapat stigma buruk. Dianggap aib yang membuat malu keluarga. Bahkan dengan keji sering disebut sebagai produk gagal dari Tuhan. Â Dianggap benalu keluarga karena tidak bisa mandiri secara finansial.
Padahal, Siapa Bilang Gak Bisa?
Angkie Yudistia, seorang tuna rungu, membuktikan bahwa stigma tersebut salah. Seorang insan disabilitas hanya berbeda kemampuan dengan insan lainnya. Mereka mampu mencari nafkah.  Bahkan membantu sesama  seperti yang dilakukan Angkie Yudistia. Dia mendirikan  Thisable Enterprise, perusahaan yang didedikasikan  untuk membantu penyandang disabilitas memperoleh pekerjaan.
Sebetulnya pemerintah Indonesia sudah membuat regulasi yang mewajibkan perusahaan swasta merekrut 1 % penyandang disabilitas dan 2 % untuk pegawai negeri sipil. Namun menjadi sia-sia jika penyandang disabilitas kesulitan mengakses. Thisable Enterprise hadir untuk menjembatani masalah ini.
Thisable Enterprise, plesetan dari This dan able, memiliki beberapa program yaitu  CSR Program;  CSR Funding; Social Enterprise; Social Marketing Communication; Learning Center; dan Micro Entreprise. Sehingga penyandang disabilitas tidak hanya bisa mengakses pekerjaan, namun juga menambah ketrampilan agar sesuai dengan kebutuhan pasar.
 Bagi penyandang disabilitas yang bergerak mandiri sebagai wirausaha, Thisable Enterprise siap membantu memasarkan produk/jasanya.
Langkah Angkie sangat selaras dengan kampanye Pantene, yaitu: #SiapaBilangGakBisa. Dalam kampanye ini, Pantene percaya bahwa wanita Indonesia ingin mengejar lebih dari sekedar jalan diharapkan, mereka dapat menjadi wanita di luar ekspektasi, dan melalui pribadinya, Â mampu membawa kebaikan yang lebih besar untuk dirinya sendiri dan juga orang lain.
Seperti itulah langkah yang diambil Angkie. Â Alih-alih merepotkan, Angkie justru membantu anggota masyarakat lain dengan meningkatkan taraf hidup mereka. Keterbatasan bukan penghalang.Â
Cantik, berperawakan tinggi  semampai layaknya model,  dan memiliki  rambut ikal mayang, Angkie terlahir normal pada tanggal  5 Juni 1987.  Anak  pasangan Hadi Sanjoto dan Indiarty Kaharman ini  harus kehilangan pendengaran pada usia 10 tahun.  Telinga kanan Angkie hanya mampu mendengar suara 70 desibel sedangkan yang kiri 98 desibel. Sementara, rata-rata percakapan pada manusia normal berada di 40 desibel.
Beruntung Angkie memiliki orang tua yang memahami bahwa dengan alat bantu dengar dan membaca gerak bibir, Angkie bisa belajar di sekolah umum. Banyak mengalami hambatan pastinya. Angkie harus beradaptasi, mulai dari ledekan teman-temannya hingga  amarah guru karena dia kesulitan mendengar. Bahkan dokter tidak merekomendasikan Angkie meneruskan kuliah di perguruan tinggi.  Alasannya,  khawatir Angkie mengalami stres dan memperparah kondisi pendengarannya.