Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksi Islami Pilihan

Sebuah Pengakuan

30 Mei 2018   19:46 Diperbarui: 31 Mei 2018   16:12 593
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibunda tersenyum.

Guratan usia terlukis di ujung mata dan bibirnya. Mematahkan usaha berpuluh tahun, menentang datangnya waktu,  melawan kehadiran senja.  Tak ada yang mampu. Tidak   krem  wajah,  tidak juga totok dan akupuntur. Keriput datang mengukir hari. Rambut memutih,  penunjuk raga akan menyelesaikan tugasnya.

"Bu, maaf aku datang sendiri. Ardini diare menjelang keberangkatan. Cucumu itu lemah pencernaannya. Mungkin  aku sudah terlalu tua saat mengandungnya. Dik Tita sekeluarga baru akan kesini hari Lebaran kedua. Pastinya engkau belum lupa, Lebaran pertama mereka selalu ke ibu mertua. Sedangkan Budi ....".

Penjelasanku mengawang.

Ibunda tersenyum.

Suara tokek menembus kesunyian malam. Mengganti lantunan ayat-ayat suci dari lousdpeaker masjid, nun di belakang rumah kami, tempat perkampungan berada.  Kota kecil ini masih sama seperti ketika kutinggalkan puluhan tahun silam. Nyaris sepi usai waktu tarawih berakhir.

"Bu, maaf. Aku menyesal tak mendengar ujaranmu. Alu menyesal tak menaati laranganmu. Aku takut nyinyiran orang jika dilangkahi dik  Tita.  Aku terlalu takut menjadi perawan tua.  Aku menyesal terlambat sadar. Tak ada sosok suami sempurna. Tapi .......".

Penjelasanku kembali mengawang.

Ibunda tersenyum.

Teko di atas kompor berbunyi. Pertanda airnya mendidih. Perlahan kuseduh kopi. Kukeluarkan sekotak bolu susu dari plastik pembungkus. Ibunda sangat menyukai topping parutan keju. Terlebih yang berserabut panjang.

"Bu, aku .....".

Suaraku tercekat. Kubuka kotak bolu susu dan kuiris memanjang. Ibunda tak menyukai potongan segi empat. Walau lebih rapih.

"Bu, aku sudah berpisah dari Budi".

Akhirnya kalimat itu terucap.  Nanar kupandang wajah ibunda.  Perlahan decak suara cecak mengganti nyanyian tokek. Aku menunggu bunyi-bunyian penanda ajakan sahur yang biasa dilakukan anak-anak kampung. Masih sepi.

Kubuka kerudung biru yang selalu menutupi gelung rambut. Kulepas cardigan yang membungkus rapat kedua lengan. Kemudian  perlahan kutarik kebawah retsleting gamis berwarna hitam. Kubiarkan ibunda melihat bilur-bilur biru bekas pukulan Budi. Sundutan rokoknya. Dan cengkraman kuku-kuku jarinya.

Sudut senyum ibunda memudar.

Hilang.

Kedua mataku tiba-tiba terasa basah. Ngilu datang menghujam. Menjalar ke sekujur tubuh. Merayapi setiap persendian. Pertama kali berkenalan dengan rasa ini di malam pertamaku dengan Budi. Rasa ngilu yang  terasa samar. Kemudian semakin sakit. Sesudah itu berkawan bertahun lamanya.  Rasa ngilu yang  enggan pergi. Bahkan semakin sering. Semakin tak tertahankan. Ngilu yang mengoyak tubuh.

Perlahan kusentuh pigura foto ibunda. Kuhapus lapisan tipis debu yang menyelimuti kacanya. Foto ini diambil disaat senyum terakhir menghiasi raganya. Lima tahun silam. Di penghujung Ramadan.  Tepat seminggu sesudah hari pernikahanku dengan Budi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Fiksi Islami Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun