Ibunda tersenyum.
Guratan usia terlukis di ujung mata dan bibirnya. Mematahkan usaha berpuluh tahun, menentang datangnya waktu,  melawan kehadiran senja.  Tak ada yang mampu. Tidak  krem  wajah,  tidak juga totok dan akupuntur. Keriput datang mengukir hari. Rambut memutih,  penunjuk raga akan menyelesaikan tugasnya.
"Bu, maaf aku datang sendiri. Ardini diare menjelang keberangkatan. Cucumu itu lemah pencernaannya. Mungkin  aku sudah terlalu tua saat mengandungnya. Dik Tita sekeluarga baru akan kesini hari Lebaran kedua. Pastinya engkau belum lupa, Lebaran pertama mereka selalu ke ibu mertua. Sedangkan Budi ....".
Penjelasanku mengawang.
Ibunda tersenyum.
Suara tokek menembus kesunyian malam. Mengganti lantunan ayat-ayat suci dari lousdpeaker masjid, nun di belakang rumah kami, tempat perkampungan berada. Â Kota kecil ini masih sama seperti ketika kutinggalkan puluhan tahun silam. Nyaris sepi usai waktu tarawih berakhir.
"Bu, maaf. Aku menyesal tak mendengar ujaranmu. Alu menyesal tak menaati laranganmu. Aku takut nyinyiran orang jika dilangkahi dik  Tita.  Aku terlalu takut menjadi perawan tua.  Aku menyesal terlambat sadar. Tak ada sosok suami sempurna. Tapi .......".
Penjelasanku kembali mengawang.
Ibunda tersenyum.
Teko di atas kompor berbunyi. Pertanda airnya mendidih. Perlahan kuseduh kopi. Kukeluarkan sekotak bolu susu dari plastik pembungkus. Ibunda sangat menyukai topping parutan keju. Terlebih yang berserabut panjang.
"Bu, aku .....".