Jelang bulan Ramadan bunyi pesan masuk ramai terdengar di whatsapp grup (WAG) khususnya  WAG yang  mayoritas beranggota etnis Sunda. Karena selain "ngabuburit",  ritual menghabiskan waktu menjelang Magrib, etnis Sunda memiliki tradisi "munggahan" menjelang bulan suci Ramadan. "Munggahan" dilakukan oleh sekelompok anggota masyarakat, seperti komunitas arisan/pengajian/blogger/tetangga maupun satu keluarga besar.
Diawali makan-makan dan bersendagurau,  acara "munggahan" diakhiri dengan bersalam-salaman, saling  memohon maaf atas semua kesalahan. Jika pesertanya sedikit, ritual bersalaman akan terjadi begitu saja. Sedangkan acara "munggahan" yang dihadiri banyak peserta akan membentuk barisan yang mengular. Dimulai dari yang dituakan,  peserta pertama berdiri tertib di samping senior untuk menerima dan memberi maaf , disusul peserta kedua dan seterusnya.
Istilah "munggahan" Â jika dilihat dari kamus bahasa Sunda berasal dari kata "unggah", yang artinya beranjak dari tempat yang lebih rendah menuju tempat yang lebih tinggi. "Munggahan" mendapat imbuhan untuk menyatakan aktivitas yang dilakukan banyak orang. Istilah ini diambil untuk menunjukkan momen perpindahan waktu menuju bulan suci Ramadhan, bulan yang memiliki nilai derajat lebih tinggi dibanding bulan lainnya dalam agama Islam.
Banyak bentuk tradisi "munggahan" yang dilakukan. Beberapa teman terbiasa mudik untuk mengadakan "munggahan" di kampung halaman. Khususnya untuk makan sahur pertama bersama keluarga besar. Setelah bersalaman saling meminta maaf umumnya ada jadwal ziarah makam. Tak heran menjelang puasa, jalan-jalan di sekitar pemakaman biasanya macet.
Bagaimana dengan yang tidak mudik? Banyak kisahnya. Misalnya Ummi Bindya, salah seorang kompasianer yang bertempat tinggal di Bandung , bercerita bahwa di kompleksnya "munggahan" diadakan dengan menggelar tikar kemudian makan bersama. Setiap keluarga membawa masakan/camilan kesukaannya masing-masing. Guyub pastinya karena mereka sudah bertetangga selama belasan tahun.
Beda dengan Ummi Bindya, di kompleks tempat saya tinggal, "munggahan" dilakukan dengan kerja bakti bersama. Temanya "Ramadan Bersih", ditutup dengan makan bersama  hasil sumbangan para ibu yang tinggal dalam satu Rukun Warga (RW). Ketua RW yang baru ini memang sedang bersemangat menghijaukan dan men-clean-kan lingkungan.
Hingga disini nampaknya tradisi  "munggahan"  baik-baik saja. Bukankah  menjelang bulan Ramadan, setiap umat Islam wajib berusaha meningkatkan hubungan dengan Allah (Hablumminallah), juga hubungan dengan sesama makhluk Allah (Hablumminannas)?
Yang tidak baik atau bikin "nyesek" adalah ulah pedagang yang menjadikan alasan "munggahan" untuk menaikkan harga jual. Aji mumpung kali ya? Permintaan barang bertambah, harga jualpun naik. Karena "munggahan" biasanya disertai juga menu khusus. Mereka yang sehari-hari menganggap daging ayam dan daging sapi sebagai makanan mewah, akan berusaha menyajikannya di acara "munggahan"
Yang menarik, dulu "munggahan  disertai juga dengan "padusan" atau mandi bareng. Tentunya jangan dilihat dengan menggunakan kacamata negatif.  Masyarakat zaman dulu biasa mandi di sungai dan mata air. Tercatat  kawasan cekungan Bandung  pernah memiliki ribuan mata air, tempat penduduknya mandi,cuci, kakus.  Tersisa sekitar 40 buah dan masih berfungsi dalam memenuhi kebutuhan penduduk Bandung akan air bersih.
Seiring dengan kemampuan penduduk membangun kebutuhan MCK sendiri disusul hilangnya mata air dan tercemarnya  air sungai, maka hilang juga  ritual padusan menjelang bulan Ramadan yang melengkapi tradisi "munggahan".
Sedangkan "munggahan" seperti halnya ngabuburit, nampaknya akan tetap lestari. Selama manusia membutuhkan manusia lainnya, senantiasa berinteraksi dan berbuat salah, maka tradisi "munggahan" tetap diperlukan.  Rasanya "plong" sesudah memohon maaf pada kerabat/teman dan keluarga  saat memasuki bulan Ramadan. Terlepas si pemberi maaf tulus atau tidak. Karena bersih/tidaknya hati, merupakan hak prerogartif Allah SWT.  Kita hanya berusaha.