Pernah membayangkan terbangun di suatu pagi dan mendapati tidak ada lagi energi siap pakai? Tidak ada BBM. Tidak ada listrik. Apa yang akan terjadi? Panik pastinya. Tidak ada air yang keluar dari kran. Berarti tidak bisa mandi, memasak dan mencuci. Kembali ke masa lampau dengan melakukannya di sungai jelas tidak mungkin, selain jaraknya jauh, air sungaipun telah tercemar limbah.
Demikian juga kegiatan lain seperti pergi ke kantor/ke sekolah serta beraktivitas dengan bantuan semua peralatan yang bergantung listrik, bahan bakar minyak serta gas. Aktivitas lumpuh. Negara kolaps.
Sayangnya situasi tersebut bukan sekadar mimpi buruk, sangat mungkin terjadi. Penyebabnya energi yang kini digunakan adalah energi fosil yang tidak bisa diperbaharui. Sementara cadangan minyak dunia hanya tersisa 70 tahun lagi (sumber). Sedangkan cadangan energi fosil Indonesia lebih minim lagi, minyak hanya 11 tahun, dan gas 100 tahun (sumber).
Jadi? Saatnya melakukan perubahan agar anak cucu tidak gusar karena kelangkaan energi. Paling tidak ada 2 solusi yaitu keluar dari zona nyaman dengan menghemat energi, Â yang kedua adalah mengaplikasikan energi terbarukan dalam kehidupan sehari-hari.
Denmark merupakan salah satu negara yang sukses mengembangkan energi terbarukan. Energi anginnya mampu memenuhi 116% kebutuhan domestik (surplus pasokan listrik). Negara yang lain adalah Jerman, berhasil memenuhi 95% kebutuhan listrik berasal dari energi matahari dan angin.
Bagaimana dengan Indonesia? Potensi Indonesia dalam mengembangkan energi terbarukan sangat besar meliputi energi surya, energi air, energi panas bumi, biofuel, biomassa, energi angin, energi laut dan energi pasang surut.
Dalam forum International renewable Energy Agency (IRENA), di Abu Dhabi, Sabtu (14/1/2017), Dirjen Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, Rida Mulyana mengemukakan bahwa porsi energi terbarukan di Indonesia saat ini baru 10% dari total penggunaan energi. Pada tahun 2019, ditargetkan menjadi 13%, dan mencapai 23% pada tahun 2025.
Selanjutnya Rida Mulyana menjelaskan rencana pengembangan energi Indonesia hingga 2050:
- Porsi energi terbarukan mencapai 23% di 2025 dan 31% di 2050
- Minyak berkurang menjadi 25% di 2025 dan di bawah 20% di 2050
- Batu bara menjadi 30% di 2025 dan 25% di 2050
- Gas menjadi 22% di 2025 dan 24% di 2050 (sumber)
Penerapan energi terbarukan terkesan lambat karena pemerintah melaksanakan secara terpusat sehingga membutuhkan anggaran tak kurang dari Rp 260 triliun hingga 2025. Yang berasal dari utang, dana hibah lembaga donor nasional dan internasional, serta lembaga bilateral yang memiliki pandangan sama dalam pengembangan energi terbarukan (sumber).
Sebetulnya pengembangan dan aplikasi energi terbarukan bisa lebih cepat terwujud, jika pemerintah mau membuka kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut:
Corporate Social Responsibility (CSR)
Lebih baik terlambat daripada tidak, mungkin tepat untuk RUU Tanggung Jawab Sosial yang baru dibahas tahun lalu dan mengharuskan setiap perusahaan menyisihkan 2 -- 3 % keuntungan untuk CSR. Sebelumnya hanya perseroan terbatas yang berkaitan sumber daya alam yang diwajibkan memberikan CSR (sumber).