Menjelang peringatan hari air sedunia, 22 Maret 2017, Direktur Pengembangan Penyehatan Lingkungan Permukiman Ditjen Cipta Karya Kementerian PUPR Dodi Krispatmadi menyebutkan kerugian negara sebesar Rp 57 triliun per tahun, untuk pencemaran dua sungai besar yang mengalir di Pulau Jawa, yaitu Sungai Ciliwung dan Sungai Citarum.
Sebetulnya tidak heran. Citarum, sungai yang pernah mendapat penghargaan sebagai sungai terkotor di dunia, selama ini menjadi tempat dibuangnya limbah industri. Sekitar 500 pabrik berdiri di sepanjang sungai Citarum dan hanya 20 % yang mengolah limbah, sisanya membuang limbah langsung ke anak sungai/sungai Citarum secara tidak bertanggung jawab.
Sama-sama tercemar, sungai Ciliwung lebih banyak terpapar limbah rumah tangga sejak Bogor hingga Jakarta. Di kawasan Jakarta pencemaran bakteri E. coli sangat tinggi, mencapai 90 %. Penyebabnya tingkat kesadaran masyarakat untuk menjaga sanitasi dari limbah rumah tangga sangat rendah. Masih banyak masyarakat yang buang air besar dan limbah rumah tangga lain di sungai.
"Jika limbah tidak dikelola dengan baik, hitungan Bappenas itu rugi 2,3% per tahun dari PDB (produk domestik bruto) atau sekitar Rp 57 triliun”, lebih lanjut Dodi mengatakan:"Kalau dibiarkan, dampaknya bagi kita dan anak cucu kita sangat besar, ada sekian triliun (kerugian) karena penyakit seperti kolera dan disentri. Kalau ditotal, biaya kesehatan muncul angka itu (Rp 57 triliun)," ucapnya.
Setiap tahun Hari Air Sedunia diperingati, tahun ini bertemakan Water and Wastewater. Setiap tahun pula muncul angka-angka kerugian. Seperti hasil pemantauan 30 Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Propinsi Jawabarat pada tahun 2008 terhadap 35 sungai yang menunjukkan beratnya cemaran pada status mutu air. Lebih dari 100 juta warga Indonesia tidak memiliki akses atas sumber air yang aman, dan lebih dari 70% warga Indonesia mengkonsumsi air yang terkontaminasi. Penyakit yang diakibatkan konsumsi air yang tidak bersih –seperti diare, kolera, disentri, menjadi penyebab kematian balita kedua terbesar di Indonesia.Dan setiap tahunnya, 300 dari 1.000 orang Indonesia harus menderita berbagai penyakit akibat mengkonsumsi air yang tidak bersih dan aman.
Ayahnya sibuk cari uang, anaknya foya-foya membuang uang. Seperti itulah kira-kira kondisi Negara Indonesia saat ini. Pak Jokowi sibuk mengumpulkan uang dari tax amnesty dan mendatangkan investor asing, eh anak-anaknya menghabiskan dalam sekejap mata. Hasil patriasi tax amnesty yang susah payah dikumpulkan menteri keuangan Sri Mulyani hanya mencapai Rp 145 triliun, sementara kerugian akibat membuang air limbah sembarangan mencapai Rp 57 triliun. Jika dikalikan 10 tahun maka akan didapat jumlah Rp 570 triliun. Sungguh menakjubkan besarnya kekacauan yang timbul.
Siapa yang salah? Tentu saja tidak bisa sepenuhnya ditimpakan pada anak-anaknya yaitu anggota masyarakat awam dan para pemilik pabrik. Selama ini telunjuk selalu diarahkan pada warga yang tidak peduli, pemilik perusahaan nan nakal, sementara regulasi diabaikan. Padahal perundang-undangan telah dibuat susah payah sebagai payung hukum agar setiap warganegara mendapat keadilan lingkungan.
Bahkan, walau memahami bahwa manusia tidak bisa hidup tanpa air, ironinya tidak ada yang mau peduli. Tidak ada yang mau menjaga ketika masih jernih dan berlimpah terlebih sesudah berubah menjadi air limbah. Terlihat nyata dalam kontestasi pilkada baru-baru ini. Tidak ada calon kepala daerah yang menyuarakan. Mungkinkah tema air kurang sexy? Lebih asyik menyuarakan penggusuran, RTH dan banjir. Padahal semua akibat tidak berdiri sendiri, terjadi karena ada sebab. Jika kondisi air sungai dijaga maka tidak akan ada pembiaran perumahan kumuh di sepanjang aliran sungai. Demikian pula praktek pembuangan air limbah secara sewenang-wenang oleh pabrik.
Agar peringatan World Water Day 2017 tidak sekedar seremoni, seharusnya ada tindakan nyata dari pemerintah. Pak Jokowi sebagai bapak yang mengayomi anak-anaknya tidak sekedar blusukan tapi mengambil tindakan tegas, diantaranya:
- Menjewer Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tidak segera membentuk Satgas Lingkungan dan memberdayakannya sesuai amanah Undang-undang nomor 32 tahun 2009. Satgas inilah yang bertugas menegur perusahaan yang membuang limbahnya ke sungai. Mereka yang melanggar bisa dilaporkan ke Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) agar tidak diperpanjang ijin lingkungannya hingga berdampak dicabutnya SIUP perusahaan tersebut.
- Menjadi tugas kementerian PUPR untuk membangun instalasi pengolahan air limbah (IPAL) komunal. PUPR sebetulnya menganggarkan Rp 2,9 triliun setiap tahunnya untuk proyek pembangunan IPAL dan sanitasi berbasis masyarakat (sanimas). Namun nampaknya kebutuhan IPAL komunal dan sanimas tak sebanding dengan ketersediaan APBN.
- Penegakan peraturan membuat septitank, baik pribadi maupun komunal / sanitasi berbasis masyarakat (sanimas). Peraturan yang telah lama diabaikan hanya karena “tidak terlihat” dan tidak langsung terasa dampak negatifnya.
- Pengadaan aplikasi agar warga masyarakat bisa memantau kualitas air limbah. Di era teknologi komunikasi yang kian melaju kencang, sudah selayaknya pengawasan lingkungan dikerjakan bersama. Tidak ada lagi meja-meja hirarki dan kertas laporan yang ribet. Jika konon laporan jalan bolong dengan segera diperbaiki di era Ahok, maka sudah seharusnya laporan air limbah juga segera ditindak. Sudah melanggar aturan toh?
Bandung, 22 Maret 2017