Sekitar tahun 1988, saya berencana mengundurkan diri sebagai kepala akuntansi sebuah perusahaan ekspor garmen. Untuk menyiapkan pengganti, saya meminta bagian personalia membuka iklan lowongan kerja. Singkat cerita, hasil penyortiran terakhir diperoleh 10 pendaftar yang masuk kualifikasi dan harus dipanggil untuk sesi wawancara. Proses wawancaranya standar saja hanya ada satu pertanyaan sama yang saya ajukan pada setiap pelamar. “ “Bisa sebutkan definisi biaya ?”
Ada sebab saya memilih pertanyaan tersebut. Seorang dosen penguji pernah mengatakan bahwa banyak mahasiswa tidak memahami materi yang diujikan. Mereka hanya menghafal. Usai ujian mereka melupakannya. Karena itu saya mengajukan satu pertanyaan penting yang sangat berkaitan dengan pekerjaan. Jika definisi biaya saja mereka tak tahu bagaimana bisa menyiapkan laporan keuangan perusahaan, membuat master budget dan menyarankan efiesiensi biaya perusahaan? Sungguh celaka jika setiap pengeluaran dianggap biaya.
Ternyata hanya satu orang yang bisa menjawab lengkap. Lainnya tidak menjawab dengan lengkap, ada yang hanya mmm mmmm ……. Bahkan ada yang komplain: “Kok ngga dikasi tau mau diuji? Jadinya saya ngga siap”. Ampun.
Rhenald Kasali dalam bukunya, Self Driving; Menjadi Driver Atau Passenger? , mengemukakan bahwa hanya 2 % dari seluruh mahasiswa yang menikmati kuliah di perguruan tinggi yang menjadi pemimpin (driver), selebihnya menjadi penumpang (passenger).
Banyak penyebabnya. Diantaranya adalah pola asuh keluarga, lingkungan dan bobot kurikulum. Mereka dijejali mata pelajaran melimpah dengan waktu terbatas. Dulu untuk menyelesaikan S1, rata-rata harus mengambil 180 Satuan Kredit Semester (SKS) dengan bobot terbesar adalah teori. Walau kini sudah agak ramping yaitu 140 – 160 SKS, tetap lebih banyak dibanding pendidikan strata satu di luar negeri yaitu 124 SKS tanpa keharusan menulis skripsi.
Proses pendidikan yang berlebihan muatan membuat lulusan sulit untuk bergerak cepat, efiesien, simpel, dan fokus. Syarat-syarat seorang driver . Seorang yang bermental driverdengan cepat akan menjawab pertanyaan yang saya ajukan karena dia penuh inisiatif, memiliki ketrampilan navigasi dan bertanggung jawab. Dia memahami posisi yang dilamarnya, tugas-tugasnya bahkan target karirnya. Beda halnya dengan penumpang, karena terbiasa dalam zona nyaman mereka hanya menghafal pelajaran. Mereka tidak hanya tidak mampu menjawab pertanyaan, tapi juga menyalahkan pemberi pertanyaan.
Dalam menyongsong bonus demografi 2020 – 2030, bagaimana mungkin menumpukan harapan pada mereka yang bermental penumpang?
Bonus demografi yaitu jumlah usia angkatan kerja (15-64 tahun) mencapai sekitar 70 %, sedangkan 30 persen berusia diatas 65 tahun dan 14 tahun kebawah. Terjadi karena penurunan kelahiran yang dalam jangka panjang menurunkan proporsi penduduk muda sehingga investasi kebutuhannya berkurang dan sumber daya dapat dialihkan kegunaannya untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan keluarga.
Indonesia harus memiliki warganegara yang bermental driver sebanyak mungkin. Sayangnya dari data Badan Pusat Statistik bisa disimpulkan bahwa tingginya pendidikan tidak menjamin seseorang memperoleh pekerjaan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Februari 2016 terdiri dari : pendidikan SD kebawah sebesar 3, 44 % (terendah dibanding lulusan lain), TPT tertinggi ditempati lulusan SMK dengan 9,84 % , disusul lulusan diploma I/II/III 7,22 % . Lulusan SMA menempati peringkat ketiga dengan 6,95 % sedangkan lulusan universitas 6,22 %.
Penyebabnya karena mereka yang berpendidikan rendah cenderung mau menerima pekerjaan apapun. Beda halnya dengan mereka yang berpendidikan lebih tinggi yang lebih selektif. Selektif dan enggan keluar dari zona nyaman merupakan perpaduan buruk seseorang yang bermental penumpang. Karena itu semua pihak harus mengisi perannya dengan maksimal agar bonus demografi bisa mendatangkan berkah. Jangan musibah.
Peran keluarga
Semua pasti sepakat, keluarga memegang peranan terpenting. Tempat anak digembleng agar percaya diri dan bermental driver. Tapi bukan dengan cara menghukum yang membuatnya tertekan. Sungguh tepat salah satu prinsip yang dikatakan mantan menteri Pendidikan Anies Baswedan: “Jangan terpaku ke sebuah angka untuk dicapai. Fokus pada angka itu hingga melupakan hal-hal lain disekitarnya. Hal-hal penting yang harusnya diperhatikan dalam proses itu. Nomer 1 itu bisa jadi nomor juara. Tapi bukan berarti nomor 10 itu bukan.
Peran sekolah
Harus diakui peran sekolah sangat vital sekaligus sulit. Karena menyangkut waktu yang terbatas, kurikulum yang harus ditaati dan jumlah murid yang sering diatas standar jumlah. Tapi bukan berarti harus kehilangan kreativitas dalam mengeksplorasi bakat peserta didik serta meningkatkan kepercayaan dirinya.
Suatu sekolah swasta di Bandung setiap tahunnya menyelenggarkan turnamen kreatif yang mengasah bakat peserta didik. Ajangnya bernama Problem Solving Contest. Murid dipersilakan memilih beragam lomba sesuai minatnya seperti lomba pidato dalam bahasa Inggris, lomba fotografi, lomba membuat komik, lomba membuat patung. Anak saya berhasil menemukan bakatnya disini yaitu memahat dengan media tanah liat. Sungguh tak terduga.
Peran pemerintah
Setiap daerah nampaknya telah memulai berperan aktif mencetak wirausaha baru. Cara paling cepat untuk mengurangi pengangguran. Sebagai contoh, telah 2 tahun provinsi Jabar meluncurkan program pencetakan seratus ribu wirausaha baru. Sayangnya bidang usaha yang disiapkan hanya jasa konveksi/jahit; jasa salon kecantikan ; dan jasa makanan & minuman (mamin). Padahal pemerintah pusat mendorong munculnya ekonomi kreatif dengan meresmikan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf). Mengapa tidak bekerja sama sehingga dapat dihasilkan wirausaha kreatif yang mampu bersaing, baik disebabkan peningkatan kreativitas bidang usaha konvensional maupun inisiasi bidang usaha kreatif yang baru?
Pemerintah juga seharusnya mengoptimalkan balai latihan kerja dengan merevisi cara kerja. Jangan sampai balai latihan kerja hanya sekedar tempelan tanpa upaya sungguh-sungguh mengentaskan pengangguran.
Peran masyarakat awam
Tidak ada yang tidak bisa dilakukan oleh masyarakat awam. Terlalu banyak lubang yang harus ditambal. Dalam hal pendidikan, gerakan membaca sangat diperlukan dengan cara menyumbang buku atau membangun sendiri taman baca mandiri.
Minat baca kita masih sangat rendah. Menurut survey UNESCO, dari 1000 orang hanya 1 orang yang suka membaca. Survei BPS di Indonesia di tahun 2013 menunjukkan bahwa orang Indonesia lebih gemar nonton televisi, yakni sebanyak 91,68 persen. Orang Indonesia yang membaca surat kabar hanya 17,6 persen.Bandingkan dengan yang terjadi di Malaysia. Setiap orang di Malaysia bisa menghabiskan tiga judul buku bacaaan per tahunnya. Negara maju seperti Jepang, bisa di atas lima sampai 10 buku per tahun per orangnya.
Sedangkan dalam hal kesehatan, siapapun bisa berkontribusi dalam pemberian makanan tambahan di posyandu.
Saya menulis topik bonus demografi ini ketika tengah terjadi kontestasi politik di provinsi DKI Jakarta. Calon petahana Basuki Tjahaya Purnama seolah tak mempunyai lawan untuk melaju dan menjadi Gubernur DKI Jakarta kembali. Kemana tokoh-tokoh potensial lainnya yang memiliki kemampuan men-driver DKI Jakarta, memiliki segudang bekal untuk bersaing? Dua tahun sebelumnya juga hanya 2 kandidat yang melaju ke pemilihan presiden.
Indonesia kekurangan kandidat bermental driver agar menjadi pemenang, yaitu mereka yang penuh inisiatif karena sering harus mengambil langkah berisiko. Mampu melayani, karena harus mampu mendengar, mau memahami dan berempati. Memiliki kemampuan navigasi, karena membawa gerbong ke tujuan sehingga harus tahu arah dan mampu mengarahkan. Dan memiliki tanggung jawab, tidak menyalahkan orang lain dengan menutupi kesalahan diri sendiri.
Lupakan kedatangan satria piningit. Itu hanya dongeng menjelang tidur. Bonus demografi di depan mata adalah nyata. Kita harus bergandeng tangan mengkondisikan generasi bermental driver agar bonus demografi tidak menjadi bencana, hingga akhirnya memunculkan calon-calon kepala daerah yang potensial yang setara dengan presiden Jokowi, Basuki Tjahaya Purnama, Ridwan Kamil dan Risma.
Sumber:
Tribunnews.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H