Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Karena Petaka Sakit Tak Bisa Ditunda ...

19 September 2016   20:33 Diperbarui: 19 September 2016   20:46 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: winkars.com

Gerimis pagi membasahi Kota Bandung, namun tak menyurutkan langkah beberapa orang untuk mendatangi sebuah toko kue dan roti di belahan barat kota Bandung. Mereka terdiri dari pembuat kue buatan rumah tangga dan pedagang kue keliling. Mereka bergegas. Berjalan cepat. Disini waktu adalah uang. Terlambat menyetor kue berarti ditinggal pemesan yang akan mengganti dengan kue lainnya untuk mengejar waktu. Sebaliknya bagi pedagang kue, terlambat datang alamat kehabisan barang jualan.

Meski begitu suara obrolan kerap terdengar. “Ulah diengkekeun, bisi kaduhung geura”, kata pak Asep yang bertubuh subur dan kesehariannya tak pernah melepas baju rompi berwarna krem. Tangannya bergerak cepat menyusun beragam kue dalam baki-baki yang tersusun rapi dalam rak gerobak dorong. Rupanya dia sedang menasehati Budi, rekan seprofesi mengenai BPJS Kesehatan. Kurang lebih apa yang dikatakannya adalah: “Jangan ditunda, nanti menyesal”.

Musibah sakit bisa datang menimpa siapa saja dan kapan saja, sementara pak Asep dan jutaan anggota masyarakat lain tidak termasuk kategori yang mendapat santunan kesehatan. Penghasilan mereka sekitar100 ribu – 200 ribu rupiah per hari, jelas bukan golongan penerima jamkesmas bagi masyarakat miskin, juga bukan penerima upah yang dijamin PT Askes. Di pihak lain kemampuan finansial mereka belum cukup besar untuk membayar premi asuransi secara berkala.

Sehingga kehadiran BPJS Kesehatan dengan pilihan iuran yang terjangkau bak hujan setelah kemarau panjang. Karena seperti kata pak Asep selanjutnya: “Susah nyimpen uang cadangan untuk sakit di rumah. Baru satu - dua juta udah diambil. Ada aja godaannya. Ada untuk kawinan, munggahan, belum lagi istri minta nyicil paket lebaran” Sungguh khas kultur di Indonesia, kebutuhan sekunder sering mendominasi dan mengalahkan anggaran primer keluarga.

“Setiap bulan saya setor Rp 102.000 untuk 4 orang. Anggap aja nabung. Hati tenang berangkat kerja”, pungkas pak Asep seraya menuju ruang tengah dimana terletak berbagai macam baki berisi kudapan yang dibuat puluhan industri rumah tangga.

Disini, di toko Erlanda, seperti usaha mikro lainnya yang menggeliat menjelang subuh, salah satu roda penggerak perekonomian Indonesia berputar. Puluhan hingga ratusan juta rupiah bergulir. Jika dikalikan dengan sejumlah toko yang bergerak untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Bandung akan kudapan/cemilan/snack maka akan didapat milyaran rupiah. Kalikan lagi dengan toko-toko serupa di kota-kota besar lainnya, akan muncul angka yang fantastis. Para pelakunya bergerak aktif dan penuh kreatif. Sayang, tanpa perlindungan kesehatan. Kehadiran BPJS Kesehatan yang menjamin kesehatan dalam bentuk tindakan promotif, preventif, kuratif serta rehabilitatif sangat dibutuhkan. Tak heran hanya dalam rentang waktu yang singkat yaitu tahun 2014 - 2016, BPJS Kesehatan mencatat jumlah peserta sebanyak 168.807.302 jiwa (catatan akhir situs BPJS Kesehatan tanggal 19 September 2016)

Ternyata BPJS Kesehatan tidak hanya hadir untuk peserta mandiri seperti pak Asep. Suatu sore saya mendapat kunjungan seorang saudara sepupu yang bekerja di sebuah rumah sakit terkenal dan tertua di Kota Bandung. Dia berkisah bahwa kini seluruh karyawan tempatnya bekerja resmi menjadi peserta BPJS Kesehatan. Jika sakit harus mengikuti prosedur yang diterapkan BPJS Kesehatan, tidak lagi memiliki privilese pengobatan gratis dari rumah sakit tempatnya bekerja.

Hmm… masuk diakal karena dengan mengikut sertakan karyawannya sebagai peserta BPJS Kesehatan, berarti setiap lembaga swasta dan instansi pemerintah:

1. Turut menyukseskan implementasi UU 24 tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial sebagai badan penyelenggara yang dapat menjangkau kepesertaan lebih luas dan memberi manfaat lebih banyak.

2. Turut melancarkan proses subsidi silang pembiayaan bagi peserta yang sakit. Sebagai ilustrasi BPJS memberikan gambaran:

1 pasien DBD dibiayai oleh 80 peserta sehat

1 pasien Sectio Caesaria dibiayai oleh 135 peserta sehat

1 pasien kanker dibiayai oleh 1,253 peserta sehat

Semakin banyak iuran yang terkumpul maka akan semakin besar peluang pasien yang tertangani bukan?

3. Mendorong BPJS Kesehatan agar mengelola program-programnya secara transparan dan akuntabel.

Dalam rentang waktu sangat singkat yaitu tahun 2014 – 2016, telah banyak terobosan yang dilakukan BPJS Kesehatan dan telah banyak manfaat yang diterima masyarakat. Laporan akhir tahun 2015 (audited) tercatat Rp 57, 08 triliun yang digelontorkan untuk biaya pelayanan kesehatan. BPJS Kesehatan juga mencatat jumlah kunjungan rawat jalan tingkat pertama (FKTP) yang selalu naik setiap periodenya, total 100.617.378 kunjungan pada tahun 2015 (audited)

Sedangkan jumlah kunjungan rawat jalan tingkat lanjutan (FKRTL) tercatat 39.813.424 kunjungan pada tahun 2015 (audited) dan jumlah kasus rawat inap tingkat lanjutan mencapai 6.311.146 kasus di tahun 2015 (audited).

Ternyata program jaminan kesehatan nasional (JKN) juga berkontribusi positif pada perekonomian nasional. Menurut Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI), selama 2014 JKN menyumbang Rp 18,6 triliun bagi ekonomi Indonesia. Jumlah tersebut berasal dari peningkatan layanan kesehatan Rp 4,4 triliun, kenaikan pendapatan industri farmasi Rp 1,7 triliun, penambahan lapangan pekerjaan sektor farmasi Rp 4,2 triliun dan pembangunan rumah sakit Rp 8,36 triliun.

Setiap mahluk hidup pasti mengalami sakit, termasuk manusia. Kehadiran BPJS Kesehatan sebagai perpanjangan tangan pemerintah yang memberikan jaminan kesehatan seharusnya dimaknai positif. Termasuk ketika menerapkan peraturan pembayaran kolektif satu keluarga karena sebelumnya peserta telah diberi keleluasaan untuk memilih iuran sesuai kemampuan. Setelah itu diharapkan membayar iuran tepat waktu karena sakit tak bisa ditunda, jika kali ini belum menimpa maka uangnya digunakan untuk membiayai peserta lain.

Sungguh tepat apa yang dilakukan pak Asep yaitu disiplin menyisihkan anggaran untuk kesehatan keluarga dan menyetornya. Selebihnya serahkan pada BPJS Kesehatan sebagai operator yang menjalankan amanah undang-undang untuk menuju Indonesia yang lebih sehat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun