[caption id="attachment_231130" align="aligncenter" width="587" caption="Selamat datang di Desa Wisata Ketahanan Pangan Cireundeu (dok. Maria Hardayanto)"][/caption]
Antrian warga mengular, kaum perempuan berkebaya putih sedangkan kaum lelakinya mengenakan pakaian pangsi warna hitam dan ikat kepala khas. Dengan tertib satu persatu sungkem pada sesepuh yang duduk melingkar di Balai Adat, pusat prosesi Seren Taun, 1 Sura Tahun Saka 1426 atau 8 Desember 2012 silam. Mereka adalah masyarakat adat Cireundeu, salah satu komunitas adat etnis Sunda yang tinggal di Kelurahan Leuwigajah Kecamatan Cimahi Selatan Kota Cimahi. Kurang lebih 14 km dari Kota Bandung, ibukota provinsi Jawa Barat.
Satu Syura bagi warga Cireundeu ibarat Lebaran, mereka menggunakan baju yang terbaik untuk mengikuti ritual Seren Taun yang dipimpin pimpinan Kampung Adat Cireundeu, Abah Emen Sunarya. Kemudian sungkeman dan dilanjutkan makan-makan lazimnya pesta. Sesudah itu barulah mereka bersama-sama mengunjungi kuburan leluhur.
[caption id="attachment_231129" align="aligncenter" width="470" caption="sungkeman (dok. Maria Hardayanto)"]
Sebagaimana umumnya komunitas kampung adat, masyarakat adat Cireundeu masih mengagungkan kearifan lokal dengan cara menjunjung tinggi 4 unsur penting alam yaitu tanah, air, matahari dan udara. Empat pita berbeda warna yang menjuntai diatas Balai Adat menunjukkan keempatnya. Berkat perilaku yang bersahabat dengan alam, masyarakat adat Cireundeu mampu membangun kemandirian pangan. Di embargo panganpun mereka tak kan goyah karena bahan pangan mereka sehari-hari adalah singkong.
[caption id="attachment_231131" align="aligncenter" width="428" caption="Empat unsur alam: Sinar Matahari, Air, Angin dan Tanah (dok. Maria Hardayanto)"]
Ada dua macam singkong yang ditanam masyarakat adat Cireundeu yaitu singkong karikil dan singkong “biasa” (mereka menyebutnya demikian, pen). Singkong “biasa” adalah singkong yang beredar di pasaran sebagai bahan baku tape singkong atau dimasak menjadi getuk, singkong goreng, comro dan lain-lain. Sedangkan singkong karikil diolah menjadi tepung aci (bahasa Sunda: tepung tapioka). Setiap kwintal singkong karikil menghasilkan 30 kg tepung aci dan menjadi sumber pendapatan mereka. Sedangkan sisa hasil perasan singkong dikeringkan, diolah menjadi rasi (nasi singkong) dan menjadi bahan makanan utama sehari-hari.
Selain sebagai bahan makanan pokok, rasi juga diolah menjadi tepung. Tepung rasi merupakan bahan utama pembuatan kue eggroll berbagai rasa semisal rasa coklat, pandan, caramel yang dikemas rapi dalam toples plastik. Produksi mereka tidak hanya eggroll, ada dendeng yang terbuat dari kulit singkong. Sungguh kreatif. Bagaimana rasanya? Mirip dendeng sapi asli. Eggroll dan dendeng singkong umumnya dibeli oleh para pendatang sebagai oleh-oleh khas Dewitapa Cireundeu.
[caption id="attachment_231134" align="aligncenter" width="504" caption="eggroll, rasi dan dendeng hasil UMKM Cireundeu (dok. Maria Hardayanto)"]
Desa Wisata Ketahanan Pangan (Dewi Tapa) Cireundeu memang patut dikunjungi oleh setiap warga Indonesia yang ingin mengenal kekayaan alam dan budaya Nusantara. Tidak hanya unggul dalam ketahanan pangan, Dewitapa Cireundeu memiliki beragam seni pertunjukan: kesenian angklung buncis, karinding dan wayang golek. Pertunjukan ini biasanya digelar setelah prosesi Seren Taun, sehari semalam. Masyarakat Cireundeu berpesta dan dengan tangan terbuka lebar mengajak siapapun yang datang untuk ikut bergembira dan makan bersama mereka.
Apa makanan yang disajikan? Tentu saja rasi tumpeng lengkap dengan lauk-pauknya yaitu opor ayam, sambal goreng, tumis buncis dan lain-lain. Mirip pesta umumnya, wargapun bergembira ria. Tidak ada kisah malnutrisi disini, walau kadar karbohidrat, lemak dan protein singkong dibawah beras. Tetapi karena ditunjang lauk pauk sepadan maka warga hidup sehat, terlihat dari postur tubuh dan wajah yang berseri-seri. Mengonsumsi rasi berarti juga terhindar dari bahaya obesitas.
[caption id="attachment_231133" align="aligncenter" width="504" caption="prasmanan 1 Syura di Cireundeu (dok. Maria Hardayanto)"]
Sebetulnya kemandirian Dewitapa Cireundeu tidak hanya singkong, tatkala menapaki jalan menuju kampung adat Cireundeu akan terlihat semak tanaman Ganyong di kanan –kiri jalan. Ganyong (Canna edulis Kerr) memiliki umbi yang bisa diolah dan disantap sebagai makanan pokok. Tanaman Ganyong memang layak ditanam disepanjang jalan sebagai tanaman hias karena bunganya yang cantik berwarna merah dan kuning , indah sekali. Terlebih tanaman ini tidak memerlukan perawatan khusus, persis seperti tanaman singkong. Tanam bibitnya dan panen hasilnya ketika sudah cukup umur. Bahkan cukup “tahan banting” di musim kemarau, tidak memerlukan air sebanyak tanaman padi.
Umbi ganyong mudah dimasak. Hasil penelitian Badan Bimas Ketahanan Pangan Ciamis menunjukkan bahwa tekstur ganyong mudah dibuat menjadi mi, kue-kue kering dan kue basah seperti brownies. Dikukus sebagai teman minum tehpun enak dan manis rasanya. Masyarakat di beberapa daerah di Indonesia memasak ganyong menjadi bubur tatkala musim kemarau panjang yang menyebabkan gagal panen.
Selain ganyong, warga Cireundeu menanam talas , ubi dan umbi-umbian lainnya. Beragam umbi-umbian tersebut bersama singkong merupakan bagian sesajen upacara Seren Taun . Juga terdapat buah-buahan hasil panen yang dikumpulkan di Balai Adat untuk menunjukkan rasa syukur kepada Sang Pencipta atas anugerah hidup. Mereka bersyukur bahwa dari alam ada inti bumi yang menjadi sumber kehidupan.
Itulah kearifan lokal yang mereka yakini, kearifan lokal yang tercipta karena hubungan baik dengan alam. Di setiap kesempatan, mereka mengheningkan cipta untuk berterimakasih pada Sang Khalik yang telah memberikan tanah yang subur, air berasal dari sumber air yang senantiasa mengalir, udara yang bersih dan matahari yang selalu memancarkan sinarnya.
Mereka juga bersyukur atas kelimpahan pangan yang didapat dari alam. Kelebihan pangan selalu disimpan dalam leuit (Bahasa Sunda: lumbung pangan). Rasa syukur atas ketersediaan pangan juga ditunjukkan dengan memegang teguh tradisi mengonsumsi pangan non beras. Apabila “terjebak” harus menyantap hidangan non beras dalam suatu perhelatan diluar komunitasnya, maka mereka “meminta izin” dalam hati atau berkomat kamit layaknya berdoa.
Mayoritas warga Cireundeu penganut agama Sunda Wiwitan yang disebarkan Pangeran Madrais dari Cigugur, Kuningan Jawa Barat. Esensi ajarannya pembangunan jati diri bangsa (nation character building) yang berkorelasi dengan kecintaan pada“tanah amparan” (Bahasa Sunda: tanah air). Ajaran agama Sunda Wiwitan juga kental dengan nilai-nilai kebangsaan dan kemandirian budaya. Mereka tidak mengenal waktu berdoa. “Setiap helaan nafas, adalah waktu berbincang denganNya, mengingat kebesaranNya dan mohon keridhoanNya”, jelas salah seorang warga masyarakat, Rusmana. Sedangkan Ketua Kampung Adat Cireundeu, Abah Emen Sunarya memperjelas esensi kepercayaan agama mereka yang ditunjukkan dengan tekad, ucap dan perilaku. “Yang penting adalah bagaimana perilaku kita, bukan apa yang keluar dari mulut. Yang diucapkan harus benar, tak boleh berbohong. Itu prinsip. Kita harus berbuat baik kepada sesama manusia, tolong menolong, jangan menyakiti sesama, hati-hati dalam berkata-kata, jangan asal bicara,” jelasnya. Lebih lanjut dijelaskan oleh Abah Emen: “Ajaran ini menekankan agar manusia harus saling menghargai dan berdampingan hidup secara arif dengan mahluk hidup lainnya” Karena itu tidak ada penebangan pohon tanpa sebab, keperluan bahan bakar bisa dipenuhi dari ranting-ranting tua yang berjatuhan. Tanaman tidak dipupuk zat kimia yang diyakini tidak ada keterkaitan dengan alam walau untuk mereka harus menunggu lama untuk memanen singkong. Umumnya petani memanen singkong setelah 8 bulan sedangkan petani Cireundeu bersabar hingga tanaman mencapai 12 bulan. Toh hal tersebut tidak mengakibatkan mereka kelaparan, lumbung pangan tetap penuh. Sebagai lazimnya komunitas, mereka memiliki hierarki untuk menunjang tata sosial kehidupan. Adapun susunannya sebagai berikut: ·Sesepuh atau Ketua Adat ialah Abah Emen Sunarya. ·Ais Pangampih atau Penerima Tamu ialah Abah Widya ·Panitren atau Bagian Humas ialah Abah Asep Abbas Mereka memimpin kurang lebih 1.000 warga Cireundeu agar selalu berjalan pada jalur rel yang diyakini. Seperti kata Panitren Abah Asep Abbas: “ Kami berdaulat di kaki sendiri, termasuk menggunakan bahasa ibu. Kami wajib menjaga kehidupan kesundaan.” Apakah itu berarti mereka menjadi masyarakat ekslusif yang tidak mau menerima perubahan? Ternyata tidak, warga Cireundeu yang menganut agama Islampun banyak. Di tengah pemukiman berdiri megah masjid bagi penganut agama Islam. Penganut agama Islam dan penganut agama Sunda Wiwitan hidup harmonis. Setiap warga melaksanakan ibadah sesuai keyakinan dan saling menghargai hari besar keagamaan warga lainnya. Mirip kehidupan beragama di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur provinsi Jawa Barat dimana penganut agama Kristen Pasundan hidup berdampingan dengan penganut agama Islam. Bangunan masjid tempat penganut agama Islam beribadah terletak tidak jauh dari bangunan Gereja Kristen Pasundan. Betapa indahnya kebersamaan. Bagaimana dengan arus modernisasi? Ternyata masyarakat adat Cireundeu tidak menabukan gegap gempitanya gadget. Ketiga tokoh adat memiliki telepon seluler sehingga mudah dihubungi apabila wisatawan ingin berkunjung. Ibu-ibu penggerak usaha mikro kecil menengah (UMKM) juga tidak gagap dalam menggunakan telepon seluler. Karena mereka tidak hanya mengolah hasil sampingan singkong menjadi rasi, eggroll dan dendeng, tetapi juga memasarkannya. Sedang tugas menanam singkong, memanen hingga mengolahnya menjadi tepung tapioka merupakan kewajiban kaum pria. “Tangan saya tak pernah kosong, berangkat dan pulang dari kebun selalu membawa sesuatu. Terkadang hasil panen singkong, daun singkong atau umbi-umbian lainnya,” kata Rusmana, warga Cireundeu. Tempat tinggal Rusmana selain digunakan untuk mengolah singkong, juga digunakan sebagai tempat berlangsungnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Ya, bahkan program pemerintah dalam pendidikan usia dini menjadi bagian keseharian mereka. Mereka tidak menjadi kolot karena berpegang teguh pada ajaran Sunda Wiwitan. Ajaran agama menjadi way of life agar tidak terkontaminasi dampak negatif budaya luar yang sering bertentangan dengan kearifan lokal. Karenanya jangan heran apabila melihat kaum remaja putri hilir mudik menggunakan celana jeans dan kebaya putih sebagai blus seusai upacara Seren Taun. Tidak ada larangan memakai celana jeans, tidak ada larangan berkomunikasi melalui telepon seluler dan tidak ada larangan apapun selama tidak bertentangan dengan ajaran agama. Modernisasi bisa membawa dampak positif, terlebih ketika diartikan sebagai mencari ilmu setinggi-tingginya. Mereka bangga ketika beberapa anggota masyarakatnya mampu menyelesaikan pendidikan sarjana. Mereka tidak kuatir karena dalam kehidupan keseharian senantiasa menerapkan filosofi leluhur yang merupakan garis yang harus dijaga dan diemban hingga akhir hayat. Sulit menemukan tempat tinggal beratap rumbia dan berlantai tanah disini, semua sudah berubah menjadi bangunan modern. Tetapi jangan heran apabila disela-sela bangunan atau bahkan di depan rumah terdapat kandang kambing dan kandang ayam. Karena sesuai filosofi mereka, keberadaan setiap mahluk hidup saling menguntungkan. Saling memiliki keterkaitan yang dipengaruhi oleh 4 unsur utama diatas: tanah, air, angin dan sinar matahari. Entah apa yang terjadi apabila warga Cireundeu enggan memelihara ternak, mungkin kedaulatan pangan akan hilang. Karena selain memasok kebutuhan protein, ternakpun menghasilkan kotoran yang diperlukan sebagai pupuk tanaman. Menurut sensus BPS tahun 2010 terdapat 1.340 suku bangsa di Indonesia. Dari jumlah itu dipastikan lebih banyak lagi komunitas kampung adat, salah satunya adalah komunitas kampung adat Cireundeu . Setiap komunitas memiliki kearifan lokal sehingga bisa menjadi pedoman bagi masyarakat lainnya agar hidup selaras dengan alam. Alam Indonesia yang harus dipertahankan kelestariannya. Sumber air harus dijaga dan pepohonan di hutan tidak ditebang semata-mata demi keserakahan. Apabila semua itu dilaksanakan, Indonesia terhindar dari krisis air dan krisis pangan adalah keniscayaan. Komunitas kampung adat Cireundeu telah membuktikannya, walau area menuju pemukiman mereka pernah berubah fungsi menjadi tempat pembuangan sampah akhir (TPA) Leuwigajah. TPA yang mengubur beberapa mata air dan berakhir longsor mengakibatkan 143 orang meninggal dalam tumpukan sampah pada tanggal 21 Februari 2005. Tetapi kehidupan warga Cireundeu yang tinggal di lembah Gunung Kunci, Gunung Cimenteng dan Gunung Gajahlangu tersebut tak tergoyahkan. “Turun temurun kami menjaga kearifan lokal sehingga bisa berdaulat pangan. Semuanya tak kan terwujud apabila kita meninggalkan ajaran leluhur agar selalu bersahabat dengan alam,”tutur panitren Kampung Adat Cireundeu, Abah Asep Abbas. Ah, andaikan setiap warganegara Indonesia berpandangan sama: “ Bersahabat dengan alam karena apabila kita menjaga alam maka alampun akan menjaga kita.” **Maria Hardayanto** [caption id="attachment_231132" align="aligncenter" width="504" caption="warga Cireundeu, menuju ke makam (bawah) do. Maria Hardayanto"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H