Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Dosa Ekologis Seorang Guru TK

26 April 2012   02:02 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:06 1317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_184278" align="aligncenter" width="533" caption="pendidikan lingkungan hidup untuk anak-anak, sederhana tapi bermakna"][/caption]

Perbuatan baik haruslah benar. Apabila tidak benar maka akan menjadi kesalahan fatal. Contohnya menengok orang sakit adalah perbuatan baik. Tetapi menjadi tidak benar ketika tetangga satu RT menengok bersama-sama sekaligus. Apalagi sambil membawa makanan yang menjadi pantangan si sakit. Entahlah apa yang akan terjadi. Mungkin penyakitnya akan bertambah parah. Atau bahkan mungkin bisa lebih fatal.

Demikian pula halnya dengan pendidikan lingkungan hidup. Pendidikan Lingkungan Hidup (PLH) selama 2 jam per minggu merupakan salah satu pelajaran yang termasuk muatan lokal (Mulok) yang harus diajarkan pada murid-murid sekolah di kotamadya Bandung.

Tetapi bagaimana apabila cara pengajarannya salah? Khususnya menyangkut anak-anak sekolah taman kanak-kanak (TK) yang masih polos bak kertas putih belum mendapat coretan apapun. Maka kesalahan harus diungkap tanpa tedeng aling-aling.

Tulisan penulis kali ini merujuk pada tulisan kompasianer Achmad Siddik mengenai seorang guru TK yang memberikan pendidikan lingkungan hidup pada murid-muridnya. Salah satunya adalah tatkala memperingati hari Air. Mengapa harus membagi-bagikan air minum dalam kemasan kepada orang tak mampu? Tahukah sang ibu guru bahwa dia sedang mengajar murid-muridnya membagikan sampah kemasan ? Tahukah dia bahwa dia sedang berkontribusi menambah sampah, alih-alih mengurangi? Tahukah dia bahwa hanya 10 % dari total sampah kemasan yang berhasil di daur ulang? Sisanya menunggu ratusan tahun lamanya untuk terurai di bumi?

[caption id="attachment_184402" align="aligncenter" width="448" caption="Anak TK membagikan air kemasan (dok. Cinta Rakhmati)"]

1335442956275818865
1335442956275818865
[/caption]

Membagi-bagikan air minum dalam kemasan (AMDK) juga mengajarkan anak untuk mengikuti arus kapitalis yang telah lama menyengsarakan wong cilik dengan praktek privatisasi air. Sebagai warga yang peduli lingkungan dan tinggal di Bandung, mengapa tidak menghubungi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, di jalan Piit no 5 Bandung? Disana banyak rekomendasi pelajaran untuk anak didik termasuk film tentang air. Tentang bagaimana air berproses dari air hujan dan mengendap dalam waktu yang cukup lama (bertahun-tahun lamanya) hingga menjadi air tanah yang layak dikonsumsi.

Dengan menonton film seperti itu, anak didik akan lebih menghargai air. Karena proses edukasi memang harus dimulai dari diri sendiri. Dari yang terkecil dan mulai saat itu. Sesudah anak mempunyai cukup pemahaman barulah proses “memberi”.

Kegiatan menarik lainnya yang bisa dilakukan sesudah menonton filmadalah menggambar. Anak-anak diberikan tugas menggambar tentang air sesuai gambaran yang mereka miliki lengkap dengan konsep yang mereka pahami tentang bagaimana cara/bentuk memberi air. Apakah takut hasilnya akan ngawur, jelek dan “liar”? mengapa? Biarkan saja. Itulah dunia mereka, bahkan kalaupun hasilnya adalah gambar air yang berbentuk melingkar-lingkar bak spiral atau kotak-kotak. Emang kenapa?Itu jauh lebih bagus daripada anak TK yang didikte memberi air dengan cara yang salah.

Serba bagus, serba enak dipandang dan memukau untuk dipotret. Itulah ciri karnaval. Karnaval diselenggarakan ibu guru tersebut untuk memperingati hari air.  Tetapi mengapa harus diselenggarakan?  Sejauh mana manfaat dan keefektifannya? Siapa yang melihat karnaval? Warga di sekitar sekolah? Tukang becak? Sesudah itu apa kelanjutannya? Apakah penonton karnaval akan lebih menghargai air dan lingkungan hidupnya? Akan teredukasi?

Bukankah karnaval seperti itu hanya menghasilkan tumpukan sampah? Duh, semoga mereka tidak menggunakan styrofoam untuk membuat tulisan dan gambar yang digantungkan di bagian depan badan mereka yang mungil. Apabila mereka menggunakan styrofoam, tidak ada artinya mereka menyintai pohon. Karena usia pohon jauh dibawah usia styrofoam yang tidak akan lenyap dari muka bumi kecuali dibakar. Malangnya membakar styrofoam menimbulkan masalah lain yaitu menyebarkan asap yang mengandung styrene yang berpotensi menyebabkan kerusakan otak ketika dihirup.

Mengapa tidak diadakan lomba memilah sampah organik dan anorganik dan memasukkannya ke tempat sampah organik dan anorganik? Lebih baik lagi diperkenalkan B3 sebagai limbah berbahaya, contohnya batu batere. Sehingga anak-anak tidak sembarangan bermain dengan batu batere yang sudah rusak dan mengeluarkan cairan. Lomba cerdas cermat juga menyenangkan. Tentu saja dengan pertanyaan setingkat mereka, misalnya:

“Termasuk jenis apakah sampah kertas?”

“Termasuk jenis apakah sampah sedotan?

Tidak hanya pohon produktif, anak-anak juga bisa diajarkan ber-urban farming di pot atau di polybag dan memasak hasilnya untuk dimakan bersama. Misalnya sayur bening bayam dan jagung manis. Anak-anak hanya perlu membawa nasi dalam misting dan air minum dalam tumbler.

Ada lagi? Banyak! Selain penilaian siapa yang paling rajin membawa bekal makanan sehat, anak-anak juga dapat diajarkan mengisi kompos dengan sisa sayuran atau sisa makanan ke dalam kotak takakura dan atau lubang biopori. Mau mengajak anak-anak TK belajar membuat kotak takakura dan lubang resapan biopori (LRB)? Bisa juga, toh cara membuatnya mudah.

Edukasi lingkungan hidup untuk anak-anak TK, sesungguhnya merupakan tugas mulia. Gampang-gampang susah menghadapi anak-anak yang mudah buyar konsentrasi belajarnya. Karena itu sebagai guru TK yang mempunyai otoritas sekaligus kecintaan pada anak-anak, seharusnya semua dipersiapkan dengan teliti mengingat dia sedang melukis ingatan terdalam seorang anak tentang lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup yang harus dia jaga karena milik generasi selanjutnya.

Maaf, tulisan kali ini mungkin sangat pedas. Tapi proses edukasi haruslah benar, tidak sekedar baik. Karena seperti contoh yang pernah diberikan ustaz Aam Amirudin. Sholat Subuh itu jumlahnya hanya 2 rakaat. Apabila mau ditambah menjadi 4 rakaat adalah baik, tapi tidak benar alias salah.

**Maria Hardayanto**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun