[caption id="attachment_177186" align="aligncenter" width="425" caption="tukang sampah, salah satu ujung tombak pengumpul sampah anorganik"][/caption] "Pilah dan Olah Sampah Jadi Rupiah" slogan yang diusung pemerintah kota Pekalongan dalam menjaga dan memelihara kebersihan kota. Tapi apakah sesederhana itu? Peserta program lingkungan hidup di kota Bandung bahkan mendapat iming-iming akan mendapat bantuan perbankan apabila mampu menyukseskan program Bank Sampah. Padahal apabila mau dikaji lebih dalam bukankah tujuan dilaksanakannya program lingkungan hidup adalah untuk meminimalisir sampah? Jangan-jangan sebagai nasabah Bank Sampah warga malah berusaha meningkatkan saldonya dengan perilaku boros sampah. Karena program Bank Sampah dan Pengelolaan Sampah Anorganik "berbeda jurusan" dengan pelestari lingkungan hidup. Ranahnya berbeda, kerangka berpikir berbeda, departemen yang mengurus berbeda, sehingga hasil akhirnyapun berbeda pula. Perbedaan tersebut dapat diperjelas dengan membagi kedua "jurusan" tersebut: 1. Pelaku program Bank Sampah dan Pengelola Sampah Anorganik di ranah Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) Sayangnya, tidak ada istilah "Bank Sampah" dan "Daurulang Sampah Anorganik" dalam UMKM. Yang ada adalah bisnis rongsokan dan bisnis pengolah sampah plastik/kaleng/kertas menjadi bahan baku baru berkualitas rendah. Berapa omzet seorang pengepul rongsokan? Bisa mencapai ratusan juta rupiah pertahun. Untuk memperlancar usaha, biasanya seorang pengepul membawahi puluhan tukang rongsok yang diberi fasilitas tinggal di satu atau dua rumah kontrakan. Para tukang rongsok yang harus berkeliling di area pemukiman ini umumnya urban ke kota karena menunggu musim panen/musim tanam. Bagaimana dengan bisnis daurulang sampah anorganik seperti kaleng, plastik dan kardus? Sama juga. Keuntungannya sangat menjanjikan. Bahkan seorang pelaku bisnis pengolah limbah plastik di Bandung Selatan mampu memiliki armada truk untuk mengangkut rongsokan dari para pengepul rongsokan. Banyaknya pelaku bisnis rongsokan menciptakan hubungan simbiosis mutualisme. Sama-sama untung, pengepul rongsokan tidak harus mengeluarkan biaya transportasi untuk mengangkut rongsokan. Pelaku bisnis daurulang sekaligus pemilik trukpun bisa tenang karena adanya kepastian pasokan bahan baku. Pebisnis kelas kakap yang mampu membeli beberapa buah truk memang tidak sekedar mempunyai pabrik pengolah sampah plastik menjadi biji plastik. Tetapi umumnya dia juga memasok bahan baku limbah kaleng, besi dan kertas ke pabrik daurulang di kota lain. Mungkin akhir-akhir ini anda membeli produk elektronik? Untuk merk tertentu bahan pengganjal produk elektronik bukan lagi styrofoam tetapi hasil daurulang kardus bekas. Apakah pelaku rongsokan dan produsen pengolah sampah anorganik tersebut masuk ranah lingkungan hidup? Jelas tidak. Cara pandang mereka sangat berbeda dengan pegiat lingkungan hidup. Gaya hidup merekapun bertolak belakang dengan gaya hidup organis yang  wajib dilakoni praktisi lingkungan hidup. Karena itu, jangan heran apabila disekitar kantor/pabrik rongsokan banyak terdapat sampah. Beragam sampah: sampah organik dan sampah anorganik. Contoh sederhana adalah tukang sampah yang mengangkut sampah dari rumah ke rumah. Jangan berharap area rumah si tukang sampah senantiasa bersih dari sampah. Karena dia mengumpulkan sampah demi mendapatkan upah sedangkan rumah pribadinya penuh sampah dia tidak akan peduli. [caption id="attachment_177185" align="aligncenter" width="336" caption="Bank Sampah di Surabaya (dok. Sandi Bayu Perwira)"]
[/caption] Seorang pelaku bisnis rongsokan harus bertujuan menghasilkan profit sebanyak mungkin. Dia tidak mau bercapek-ria mencatat detail jenis sampah anorganik seperti yang dilakukan pengelola bank sampah. Bahkan apabila perlu dia "
ngaborong" beragam sampah yang ditawarkan padanya. Praktis dan tidak membuang waktu. Prinsip mereka: "Waktu adalah uang". Disekelilingnya berserakan sampah dia tidak akan peduli karena sampah yang tersisa tersebutÂ
euweuh duitna (tidak bernilai materi). Demikian pula pelaku bisnis daur ulang sampah plastik.  Dia harus menargetkan pasokan  bahan baku agar usaha pengolahan plastik bekas menjadi biji plastik berjalan lancar. Dia bahkan tidak mau repot mencatat tiap jenis plastik karena sekali pegang atau lihat, dia akan tahu
jenis plastik apakah itu. PETE? HDPE, PP atau LDPE? Yang harus dilakukannya adalah efisiensi waktu dan keefektifan gerak. Berapa jumlah tenaga kerja yang diperlukan dan mampu dibiayai, semua harus dihitung dengan seksama. Para tenaga kerja itulah yang nantinya memilih berdasarkan jenis dan warna plastik, memasukkan mesin pencacah, mesin pelebur plastik dan mesin pembuat biji plastik. Contoh sampah plastik diambil penulis karena selama ini dituding menjadi pembuat masalah dibanding sampah anorganik lainnya. [caption id="attachment_177174" align="aligncenter" width="454" caption="pemulung, ujung tombak UKM sampah anorganik"]
[/caption]
2. Pelakuprogram Bank Sampah dan Pengelola Sampah Anorganik di ranah Lingkungan Hidup Berbeda dengan UMKM, pelaku pelestari  lingkungan hidup mempunyai tujuan aksi nonmateri. Mereka bertujuan menjadikan lingkungan hidupnya nyaman dengan mengelola sampah. Salah satu bentuk kegiatan mereka adalah "Bank Sampah" dan"Kerajinan Daurulang sampah". Membuang waktu menjadi  tidak masalah karena lingkungan rumahnya menjadi bersih, asri dan
pikabetaheun (nyaman)
. Target nonmateri ini membuat pengelola bank sampah tidak dapat menargetkan pemasukan sesuai
cash-flow agar kegiatan berjalan lancar. Bank sampah juga membutuhkan "tokoh" dalam operasionalnya. Sang tokohlah yang memobilisir nasabah bank sampah agar jangan lupa menyetor sampah anorganik. Sungguh berbeda dengan bank konvensional
. Bank konvensional mengedepankan
produk jasa dan
pelayanannya. Nasabah akan berduyun-duyun datang apabila produk jasa dan pelayanan suatu bank konvensional menyenangkan . Sedangkan
bank sampah akan
terancam keberlangsungan operasionalnya apabila si tokoh mengundurkan diri atau meninggal dunia. Karena itu apabila
pihak perbankan tertarik pada kegiatan bank sampah, maka akan lebih bijak memberikan
charity (sumbangan) daripada pinjaman. Khusus di kota besar, niatan untuk membentuk bank sampah sebaiknya dikesampingkan dulu. Targetkan membuat
lingkaran hijau komunitas dimana hasilnya langsung terasa. Terlebih tukang rongsokan rajin keluar masuk kompleks perumahan, panggil saja untuk membereskan sampah anorganik yang bertumpuk. (
Bank Sampah, Paradigma Salah Kaprah) Hasil yang lebih mengecewakan dialami pelaku kerajinan bekas kemasan plastik. Pengumpulan bahan baku yang sulit, biaya, tenaga serta waktu yang dihabiskan ternyata tidak diimbangi dengan inkam memadai.  Barang sulit dijual padahal proses pembuatannya sama rumitnya dengan proses pengumpulan bahan baku. Diperlukan  banyak pengorbanan yang tidak masuk kalkulasi pelaku kerajinan. Sehingga tidak berlebihan apabila penulis mengategorikan pekerjaan ini sebagai
aksi sosial. Sayangnya
penikmat hasil kerja sosial mereka adalah perusahaan pembuat produk yang menggunakan kemasan untuk menyimpan dan membawa produk dari satu tempat ke tempat lainnya. Kemasan plastik memang didisain bewarna-warni "
ngejreng" dengan tujuan memikat pembeli. Bukan untuk menggerakkan minat pembuat produk daurulang kemasan agar mengumpulkan dan memprosesnya hingga menjadi produk baru seperti tas, tikar dan sajadah. Sayangnya lagi telah terjadi
pembiaran pelanggaran pasal 15 Undang-Undang nomor 18 tahun 2008, yaitu : "Produsen wajib mengelola kemasan dan/atau barang yang yang diproduksinya yang tidak dapat atau sulit terurai oleh proses alam". Limbah kemasan plastik jelas memenuhi kriteria pasal 15. Kelalaian produsen memenuhi kewajibannya mengakibatkan masalah lanjutan. Yaitu sampah di buang ke tanah, sungai atau dibakar. Sampah plastik yang dibuang begitu saja akan sulit terurai oleh alam sedangkan pembakaran sampah menimbulkan asap beracun . Sampah plastik bekas kemasan dan
keresek (kantung plastik) sebetulnya bisa didaurulang menjadi biji plastik. Tapi harganya sangat murah karena biji plastik yang dihasilkan adalah kualitas terendah. Bahan baku keresek hitam. Untuk memenuhi kebutuhan bahan baku umumnya pabrik biji plastik menerima pasokan Tempat Pembuangan sampah Sementara (TPS) dan Tempat Pembuangan sampah Akhir (TPA). Harga pasar yang sangat rendah pulalah yang menyebabkan pengepul enggan menampung sampah kemasan plastik dan keresek. Sehingga jangan heran melihat tukang rongsok dan pemulung tidak menggubris keberadaan sampah kemasan dan keresek. Sebanyak apapun. Selain kemasan plastik biasa, beberapa produsen menggunakan kemasan plastik berlapis aluminium untuk menjaga kualitas produknya contohnya kopi, cemilan dan deterjen. Tetapi bagai boomerang, limbah kemasan plastik berlapis aluminium ini sulit terurai oleh alam. Produsen daurulang plastik angkat tangan. Karena biaya pengolahannya besar sekali. Tidak sebanding dengan hasil penjualan biji plastik Satu-satunya yang masih mempedulikan adalah pengrajin daurulang. Mereka mengumpulkan dari rumah tangga dan warung, bukan dari tempat sampah. Sehingga hasil kerja mereka penulis kategorikan sebagai kerajinan daurulang bekas kemasan bukan kerajinan sampah. Untuk memenuhi kebutuhan jumlah dan warna bahan baku, pengrajin daurulang juga harus merogoh kocek. Mereka bersedia membayar
cangkang kopi (limbah kemasan kopi) Rp 25/lembar. Mereka membutuhkan minimal seratus lebih
cangkang kopi untuk membuat dompet kecil. Â Tapi apa lacur? Sulit sekali memasarkan produk-produk kerajinan plastik ini. [caption id="attachment_177175" align="aligncenter" width="500" caption="hasil kerajinan bekas kemasan plastik"]
[/caption] Harapan yang tersisa adalah bantuan pemerintah untuk menjembatani permasalahan. Agar pihak-pihak terkait bisa mencari solusi terbaik. Pemerintah
dapat dan harus membantu dalam hal regulasi. Produsen dengan program CSRnya bisa membantu memasarkan, memberi pengarahan disain produk dan  pemberian modal bergulir. Karena para pengrajin daurulang sampah plastik umumnya berasal dari golongan menengah kebawah. Mereka telah mengambil alih kewajiban produsen tetapi hasil kerja kerasnya diabaikan. Bahkan mungkin produsen berfikir telah memberi lapangan kerja bagi para pengrajin. Tanpa mengetahui fakta bahwa hasil kerajinan tidak selalu terjual di pameran yang hanya dilaksanakan beberapa bulan sekali. Beberapa dari mereka nekad berjualan di pasar kaget setiap hari Minggu. Berbaur dengan pedagang kaki lima (PKL). Mereka hanya berfikir soal mendapatkan rupiah dengan cara halal. Mereka hanya berpikir soal harapan. Walau hasil kerjanya tidak mencukupi kebutuhan hidup, mereka selalu bersemangat. Itulah sebagian kecil potret wajah anak bangsa. **Maria Hardayanto**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Nature Selengkapnya