Diantara hiruk pikuk berita politik, ekonomi dan sepakbola, ada berita terabaikan yaitu  tentang sebagian anak-anak Indonesia yang terkena busung lapar. Tentang anak-anak yang terkena malnutrisi (penderita gizi buruk). Bahkan hari Gizi Nasional 25 Januari 2012 berlalu seolah pihak terkait ingin menutup mata akan keberadaan mereka. Padahal mereka sungguh  nyata dan pengabaiannya merupakan tindakan tak termaafkan. Keberadaan ribuan penderita gizi buruk menyebar merata diseluruh Indonesia, bukan hanya didominasi Nusa Tenggara Timur  (NTT) yang tanahnya tandus. Tetapi juga Bogor, Indramayu, kabupaten Garut Jawabarat, Malang Jawatimur hingga Tangerang yang hanya berjarak beberapa jam perjalanan dari istana Presiden Republik Indonesia. Apa komentar Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih mengenai  jumlah penderita gizi buruk yang mencapai 4 % dari total 23 juta balita Indonesia atau sekitar 900 ribu anak? Endang Rahayu menyatakan telah ada penurunan drastis sejak 1990 sebesar 31,0 persen antara lain karena bantuan Posyandu dan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) yang dilakukan ibu-ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Betulkah Pemberian Makanan Tambahan (PMT) mampu menyumbang penurunan angka gizi buruk?  Karena PMT hanya dibagikan sebulan sekali di Posyandu yaitu pada waktu penimbangan balita. Anggarannyapun terbatas sekitar Rp 70.000 untuk 100 anak atau sekitar Rp 700/anak (tergantung daerahnya). Sehingga jenis makanan yang dibagikan hanya bubur kacang hijau encer atau satu buah telur rebus. Bahkan di suatu Posyandu, penulis menemukan anak-anak balita hanya dibagi cemilan merk O*** berisi 3 buah dalam kemasan plastik. Rasanya terlalu berlebihan mengharapkan ibu-ibu PKK di Posyandu mampu meningkatkan angka kecukupan gizi secara signifikan. Mereka bekerja sukarela tanpa dibayar tetapi harus mampu melaksanakan 10 program PKK secara sekaligus. Tugasnya tidak sekedar menyiapkan PMT, menimbang dan mencatat perkembangan pertumbuhan anak. Tetapi juga mengumpulkan data balita, peserta KB, penduduk lanjut usia (lansia), kondisi rumah per rumah termasuk sanitasinya, penyandang cacat (disabilitas) dan seterusnya. Data-data tersebut  diisi ke dalam kolom-kolom rumit termasuk harus merekapnya untuk kemudian dilaporkan pada kelurahan. Begitu seterusnya hingga hierarki tertinggi. Hierarki teratas hanya duduk manis dan menyebutkan angka-angka keberhasilan. Tanpa peduli darimana data berasal. Data akurat? Atau data serabutan? Karena tidak semua kader PKK mempunyai cukup waktu dan cukup keahlian untuk mengisi laporan-laporan tersebut. Padahal sering terjadi petugas kelurahan mendatangi kelompok PKK suatu Rukun Warga (RW) dan bersikukuh data harus selesai hari itu juga. Alamak........ ngasih honor nggak tapi kok maksa! Anehnya para ibu PKK yang baik hati mau berlari tunggang langgang memenuhi permintaan tidak masuk akal tersebut ^_^ ....... Ya, memang tidak banyak yang menyadari bahwa ibu-ibu PKK memegang peranan penting dalam kesejahteraan masyarakat. Tanpa mereka bagaimana mungkin pemerintah mampu melaksanakan program-programnya. Bagaimana dengan Nusa Tenggara Timur? Daerah yang meraih angka tertinggi untuk penderita gizi buruk sekaligus terindikasi tinggi angka korupsinya. NTT menempati posisi ke 29 dari 33 provinsi untuk indeks Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Atas dasar itulah beberapa waktu lalu suatu perusahaan multinasional memberikan donasi sebesar Rp 100 juta untuk merevitalisasi posyandu di NTT. Donasi diberikan dalam bentuk alat kesehatan seperti thermometer, tensimeter, stetoskop, Kartu Menuju Sehat (KMS) dan Kartu Ibu dan Anak(KIA) serta pelatihan kader PKK. Hmmm Rp 100 juta? Pelit amat, ..........  Bukankah perusahaan tersebut sekalian mempromosikan sabun cuci tangannya?  Apakah pelatihan kader PKK dapat menjamin alat-alat seperti stetoskop dan tensimeter digunakan dengan semestinya? Menurut pengalaman penulis di Bandung, alat-alat tersebut berakhir utuh belum pernah dipakai. Karena kegiatan Posyandu hanya sebulan sekali padahal diperlukan jam terbang untuk pengoperasiannya. Selain itu banyak ibu-ibu PKK yang  gamang menggunakan stetoskop dan tensimeter, sehingga peralatan tersebut akhirnya menjadi "pajangan" di Posyandu. [caption id="attachment_168628" align="aligncenter" width="300" caption="stetoskop dan tensimeter utuh, belum pernah digunakan (dok. Maria Hardayanto)"]
[/caption] Pertanyaan besarnya: Mengapa donasi tidak berupa bahan makanan berprotein? Seperti susu, daging dan ikan dalam kaleng, kacang hijau serta aneka bahan makanan lainnya yang dapat segera dibagikan. Pelatihan kader PKK memang diperlukan, tetapi mengingat  tingginya penderita malnutrisi di daerah NTT  diperlukan penanganan segera dan bukan sekedar seremoni belaka. Penderita akan mengalami penurunan kecerdasan, rabun senja serta rentan terhadap penyakit terutama infeksi. Ada banyak faktor penyebab masa
golden age anak-anak balita (dibawah lima tahun) berlalu begitu saja. Mulai dari kemiskinan, minimnya pengetahuan, lingkungan yang tidak mendukung hingga perilaku orangtua. Masalah akan semakin rumit apabila
krisis pangan menimpa Indonesia. Kondisi yang tak terelakkan karena ketidak mandirian Indonesia dalam hal pangan. Semua bahan makanan pokok seperti beras dan tepung terigu di
impor. Ikan laut yang sebetulnya hidup diperairan Indonesia diimpor dari Vietnam, Filipina dan Cina. Jangan dikata komoditi lain seperti bawang merah, bawang putih, buah-buahan, semua diimpor. Bahkan singkong dan garam dapurpun diimpor. Daripada berkeluh kesah melihat pejabat dan wakil perusahaan yang asyik berseremonial, Â bisakah kita berpartisipasi dalam mengurangi tingkat malnutrisi atau minimal mencegah terjadinya malnutrisi?
Bisa, sangat bisa! Setahun terakhir ini penulis bersama teman-teman pengajian mencari Posyandu untuk menambah PMT mereka. Tentu saja teman sepergerakan ini bisa berasal dari mana saja: teman arisan, teman kuliah, teman kantor bahkan sahabat pena antar negara yang mau bergabung karena sama-sama mempunyai kepedulian sosial. Bagaimana caranya? 1.  Â
Pemberian susu kotak (susu dalam kemasan tetrapak). Cara ini memang paling mudah dan murah. Estimasi harga susu kotak terkecil adalah Rp 1.200 x 100 anak = Rp 120.000. Dibagi 2 orang adalah Rp 60.000/bulan karena pertemuan Posyandu hanya sekali sebulan. Dibagi 4 orang lebih kecil lagi hanya Rp 30.000/orang. Bayangkan hanya dengan menyumbang Rp 30.000/orang/bulan kita telah ikut berkontribusi meningkatkan kesejahteraan anak Indonesia. Tentu saja jenis makanan tambahan bisa bervariasi, tergantung kesepakatan. [caption id="attachment_168629" align="aligncenter" width="576" caption="asyikkk....dapat susu dan bolu kukus ubi (dok. Maria Hardayanto)"]
[/caption] 2.  Â
Pemberian diversifikasi pangan. Sekali dayung dua-tiga pulau terlampaui. Membagikan makanan tambahan apa salahnya sekaligus memperkenalkan makanan non beras sejak dini. Apabila balita enggan makan ubi, memberikan bolu kukus ubi bisa menjadi pilihan. Demikian juga brownies dan cupcake dari tepung ganyong akan menarik minat anak-anak balita. Menurut data Departemen Pertanian, angka ketergantungan beras rakyat Indonesia sangat
tinggi yaitu 139,15 kg/kapita/tahun. Sangat jauh dibanding Jepang yang berhasil menekan hingga angka 58 kg/kapita/tahun. Kunci keberhasilan Jepang adalah dengan mengenalkan pangan nonberas semenjak dini di sekolah-sekolah. Program yang mampu dilaksanakan pemerintah Jepang dengan sukses ini dapat kita tiru dalam skala kecil yaitu memperkenalkannya pada anak-anak balita di Posyandu. Kue-kue nonberas dapat dibeli di toko-toko makanan. Tentu saja harganya tidak terjangkau oleh ibu-ibu komunitas dampingan penulis karena itu disiasati dengan membuat sendiri di rumah masing-masing. 1 orang membuat 1 adonan kue untuk 40 anak. Sehingga hanya perlu 4 orang yang membuat kue di malam hari untuk diserahkan esoknya pada Posyandu dan dibagikan pada anak-anak balita.Â
Simple and easy! ^_^ [caption id="attachment_168631" align="aligncenter" width="411" caption="upz.....dapat puding dan brownies ganyong (dok. Maria Hardayanto)"]
[/caption] Indonesia memiliki kekayaan yang begitu berlimpah. Sumber daya alam yang seolah tak ada habisnya. Yang diperjualbelikan dengan serakahnya tanpa mengindahkan sumber daya alam tersebut juga milik insan-insan mungil berusia balita yang kini terabaikan. Insan-insan mungil yang hanya  dapat menangis kesakitan karena derita berkepanjangan. Insan-insan mungil yang terancam masa depannya karena malnutrisi menyebabkan mereka tidak tumbuh normal. Insan-insan mungil yang kasusnya selalu ditutupi karena pembiaran berita akan menimbulkan aib pejabat setempat.
Tetapi Indonesia mempunyai kekayaan lain yang lebih besar yaitu kepedulian sosial. Walau mulai tergerus, tapi bisa tumbuh dan terus berkembang apabila semangat persatuan masih ada. Semangat persatuan untuk menyelamatkan generasi penerus. Generasi penerus yang menjadi korban keadaan dan hanya bisa ditolong oleh kita yang menyadarinya.  Jadi yuk datangi Posyandu di sekitar rumah  dan berbuatlah sesuatu ........ Sambil berharap semoga semangat perubahan ini bisa menyebar  hingga pelosok. Amin **Maria Hardayanto** Sumber gambar:
klik disini,
disini,
dan disini Sumber data   :
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Foodie Selengkapnya