"Ma, minggu depan  saya mau belanja", kata si bungsu Abey (13 tahun),  sambil mengumpulkan buku-buku pelajarannya yang berserakan.
Untuk sejenak saya tertegun. Belanja ya belanja aja. Apa spesialnya? Setelah mendapat penjelasan Abey barulah saya mengerti bahwa belanja yang dimaksud adalah "pelajaran belanja" ke Alfamart dengan jumlah pembelanjaan maksimal Rp 100 ribu rupiah. Mengapa dipilih Alfamart? Karena umumnya lokasi Alfamart dekat dengan pemukiman sehingga diharapkan siswa terbiasa ketika harus berbelanja sendiri. Selain itu siswa juga belajar untuk bijaksana dalam berbelanja. Karena hasil akhir akan dinilai oleh guru, apakah isi kantong belanja cemilan semua? Ataukah ada barang bermanfaat yang dibeli siswa?
Sebetulnya Abey sudah terbiasa belanja dengan saya, ibunya. Tapi lebih tepatnya : melihat ibunya berbelanja. Dia hanya ikut memilih telur sesuai ciri -ciri yang saya sebutkan atau ikut memperhatikan label halal atau tidaknya suatu produk. Apakah produk itu buatan dalam negeri atau luar negeri. Tetapi yang paling mengasyikkannya adalah  memperhatikan tanggal produksi dan tanggal kadaluarsa suatu produk. Karena pernah saya teledor membeli produk dengan tanggal kadaluarsa yang berdekatan dengan tanggal pembelian.
Sekarang Abey mempunyai otoritas membelanjakan uangnya sendiri. Sesuatu yang sering saya lupakan. Bahwa anak harus mempunyai kepercayaan membelanjakan uangnya. Dia juga harus mampu menentukan substitusi barang yang dibelinya. Selama ini dia sudah terbiasa menerima barang yang diperlukan. Tapi bagaimana proses membeli produk ternyata tidak semudah diucapkan. Karena sebagai orangtua kitapun mengalami proses sehingga akhirnya mampu mengelola uang belanja dan membeli barang tepat dan sesuai dengan kebutuhan sehari-hari.
Maka Abeypun membuat daftar belanja. Berdasarkan daftar belanja yang ditulisnya kami berdiskusi. Salah satunya adalah tempat pinsil. Benarkah dia membutuhkan tempat pinsil? Sudah rusakkah yang lama? Atau hanya sekedar ingin ganti? Kalau ya, Â Abey harus bisa menentukan kegunaan lain tempat pinsil lama. Apakah cukup untuk tempat spidol warna warninya yang berserakan? Karena saya mengajak Abey meminimalisir sampah dalam perilaku sehari-hari.
Selain itu ada penghapus pulpen merek "A" (bukan nama merek sebenarnya) dalam daftar belanjanya. Bagaimana kalau merek "A" tidak ada? Maukah Abey mensubstitusinya dengan merek lain? Ternyata Abey tidak mau.
"Kalau pakai merek lain, banyak sisa penghapus di kertas, ma. Bikin kertasnya kotor".
Oh ya sudah. Hak Abey untuk menentukan. Toh dia yang akan menggunakan penghapus pulpen tersebut.
Tetapi yang mengejutkan dalam daftar belanja adalah adanya produk selain peralatan tulis menulis. Yaitu sabun cuci muka, hand and body lotion dan shampoo.
"Lho ini semua kan udah dibeliin mama? Bahkan ada persediaannya?"
"Sabun cuci mukanya yang anti acne, ma. Sedangkan hand and body lotion dan shampoo nya pingin seperti punya Nulit, harum".