Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature

Kisah Citarum, Kisah Cinta Sang Ibu

4 Mei 2011   16:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:04 760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_107347" align="aligncenter" width="300" caption="ilustrasi Citarum oleh Tita Larasati"][/caption] Sebagaimana kisah cinta lainnya yang begitu unik dan spesifik. Kisah cinta Citarum tidak bisa disamakan dengan kisah Jokowi pada Bengawan Solo. Tidak bisa disamakan dengan kisah cinta Romo Mangun pada Kali Code, bahkan kisah cinta Ayi Vivananda pada sejumlah sungai di Bandung. Kisah Citarum adalah kisah seorang ibu yang selalu memberi tanpa mengharap. Airnya mengairi sejumlah sawah, sejumlah tambak .Memberi penghidupan kepada begitu banyak penghidupan penduduk Jawa Barat yang mencapai total 20 % dari total penduduk Indonesia dan juga penduduk DKI Jakarta. Dalam bentuk air bersih dan listrik. Ketika anak-anaknya mendurhakai si ibu dengan melempar kotoran manusia, kotoran hewan, limbah rumah sakit, limbah B 3 dan trilyunan plastik yang entah kapan akan terurai, apalah daya si ibu? Apakah si ibu  harus direstorasi dengan dana sekian trilyun rupiah ? Bukankah anak-anaknyalah yang harus bebenah? Berhenti melempari ibunya dengan kotoran. Mengembalikan daerah aliran sungai (DAS) sesuai fungsinya. Menanami kembali daerah hulu dan mengembalikan hutan dengan keanekaragaman hayatinya. Pemerintah daerah setempat yang menjalankan regulasi dengan konsisten dan konsekuen dengan tidak  menerbitkan IMB pada kawasan peresapan air. Fisik ibu yang rusak tak mungkin diperbaiki apabila perilaku anaknya tetap sama. Karena itu dapat dimaklumi apabila Kuntoro Mangkusubroto mundur dari jabatan Ketua Masyarakat Cinta Citarum semenjak Mei 2010, walau beralasan sibuk sebagai Ketua Satgas dan Ketua UKP4), Kuntoro tahu penyelesaian masalah Citarum terlalu kompleks. Menyangkut multidisiplin ilmu. Memerlukan team solid dan terintegrasi. Bahu membahu dengan Kepala Daerah yang mempunyai otoritas dari hulu setiap anak. Kepala Daerah yang peduli bahwa masalah anak dan sang ibu sungai harus dikerjakan konsisten, terus menerus dan berkelanjutan. Kepala Daerah yang tidak saling melempar tanggung jawab. [caption id="" align="alignnone" width="604" caption="Kawasan Bandung Utara, harusnya menjadi daerah resapan air"][/caption] sumber gambar : disini Pendekatannyapun tidak sama. Karena itu kedatangan para ahli seperti Jenna Cavelle, founder of Peak Water, California USA, akan percuma. Ibarat dokter dia hanya memeriksa, menganalisis dan berusaha mengobati si ibu. Padahal anak-anaknyapun sakit. Dan anak-anaknya perlu perhatian ekstra. Mereka  bukanlah sekedar si nakal yang harus masuk panti rehabilitasi. Mereka berkarakter khusus. Perlu pendekatan kultur budaya yang berbeda. Pendekatan untuk si Ciliwung jelas tidak sama dengan si Cikapundung dan si Cisadane. Banjir di Kabupaten Bandung dan banjir di Jakarta mempunyai perbedaan resep obat. Kabupaten Bandung dihuni penduduk asli Jawa Barat sedangkan penduduk sepanjang si Ciliwung adalah masyarakat urban yang terpaksa membangun di bantaran sungai. Harus diberikan opsi penataan ulang, karena sungguhlah berbahaya menyodet sungai Citarum. Sama berbahayanya dengan membiarkan bangunan liar berpondasikan tupak di sepanjang sungai. Pembiaran yang dipelihara karena penduduk merasa berhak sesudah membayar sejumlah uang pada aparat. Walau ada benang merah permasalahan. Di daerah urban maupun bukan, kawasan daerah aliran sungai (DAS) umumnya curam sehingga sampah rumah tangga sulit terangkut padahal sampah rumah tangga abad millennium mengandung banyak sampah yang sulit membusuk hingga beratus tahun kemudian. Pengawasan terhadap Instalansi Pengolahan Air Limbah (IPAL) pun minim. Apalagi pembuangan limbah rumah tangga seperti bekas deterjen sehingga diduga kuat masih terkandung dalam air minum yang dialirkan PDAM. [caption id="" align="aligncenter" width="485" caption="Sewenang-wenang Membuang Air Limbah ke Sungai Citarum"]

Sewenang-wenang Membuang Air Limbah ke Sungai Citarum
Sewenang-wenang Membuang Air Limbah ke Sungai Citarum
[/caption] sumber gambar : disini Solusinya? Pembentukan komunitas disepanjang sungai Citarum dan anaknya. Komunitas-komunitas yang tinggal dan mencari nafkah disepanjang sungai Citarum dan anaknya adalah pengawas terampuh sebelum Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup sesuai UU nomor 32 tahun 2009 dipilih dan diresmikan. Sungai Cikapundung berhasil menyatukan 24 komunitas peduli sungai. Jadi, mengapa tidak bisa berlaku untuk sungai-sungai  lainnya? Penyelesaian masalah Sungai Citarum secara parsial seperti penggalian sedimentasi sebaiknya tidak dilakukan lagi. Karena bagai  kanker ganas, penyakit Sungai Citarum selama ini tidak tuntas diobati. Menghabiskan puluhan milyar dengan percuma. Masalah banjir hanya berpindah tempat. Fokus  penanaman daerah hululah yang harus dilakukan sehingga Sang Ibu, Sungai Citarum  dapat hidup normal Hutan yang kaya akan keanekaragaman hayati. Karena selama ini daerah Puncak, daerah Bandung Utara adalah tempat fatal yang dibiarkan gundul bahkan sengaja dibangun hutan beton yang menguntungkan segelintir orang tapi mengorbankan penduduk Jawa Barat, dan DKI Jakarta. Penembokan sepanjang Sungai Citarum dan anak-anaknya tanpa penyediaan daerah amfibi, tanpa penanaman bambu dan akar wangi hanya akan berdampak sebagai berikut : [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Turap ambrol"][/caption] sumber gambar :  disini Limbah peternakan sapi? Sudah banyak proyeknya yang dicanangkan pemerintah dengan nama ambisius yaitu Desa Mandiri Energi, tapi jangan kaget apabila di satu desa hanya ditemukan satu buah kompor biogas berbahan baku kotoran sapi yang masih berfungsi. Selebihnya? Menjadi rongsokan dan kotoran sapi tetap dibuang ke Sungai Citarum dan anak-anaknya. Apa masalahnya? Pendekatan! Dengan ngawurnya pimpinan proyek membangun instalasi biogas tanpa penyuluhan yang cukup bagi penggunanya. Bisa membayangkan apabila Anda baru pulang dari ibadah Haji dan mendapati instalasi biogas sudah terpasang di rumah ? Akibatnya, Anda harus mengurus kotoran sapi secara khusus, juga harus membayar Rp 60.000/bulan. Marah? Itu normal! Jadi mengapa harus memaksakan membangun Desa Mandiri Energi? Mengapa tidak menanyakan penduduk setempat apa yang mereka butuhkan?  Mungkin dengan senang hati mereka mau berpartisipasi memasok kotoran sapi sebagai komponen yang dibutuhkan pupuk organik. Jangan menjadikan sumber daya manusia sebagai objek belaka. Jangan menjadikan sumber daya alam sebagai objek juga. Mengenalinya, mempedulikannya adalah langkah awal sebelum si Ciliwung, si Cisadane, si Cikapundung dan Sang Ibu, Citarum sehat kembali. Karena seperti kata leluhur, semua harus kembali ke peruntukannya : Gunung kaian, gawir awian, cinyusu rumatan, pasir talunan, lebak caian, sampalan kebonan, walungan rawatan, legok balongan, daratan sawahan, situ pulasaraeun, lembur uruseun, basisir jagaeun. Budaya Pasundan jadikeun pameungkeut pageuh karahayuan.

[caption id="attachment_107349" align="aligncenter" width="500" caption="ilustrasi Sungai Citarum oleh Tita Larasati"][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun