Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Celoteh Anak-anak tentang UAN

27 April 2011   02:26 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:21 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13428939371166292544

Tanggal 18 April 2011, Bimo anak ketiga, anak yang amat pendiam mengikuti Ujian Akhir Nasional (UAN) SMA. Saya tidak berharap berlebihan karena kisah UAN selalu membawa lara, seperti obrolan berikut: "Gimana sayang, tadi bisa?" "Bisa" "Ada yang nyontek?" "Ada" Dan masih panjang lagi percakapan kami, sebelum akhirnya saya mendengar kisah bahwa penyebaran jawaban UAN SMA masih terjadi walau soal UAN tahun ini terbagi 5 kelompok : A,B,C,D.E. Penyebaran jawaban UAN biasanya lewat SMS dengan tidak lupa menyertakan kode soal. Hal yang bertentangan terjadi pada si bungsu, Mabelle yang juga mengikuti UAN SMP dimulai tanggal 25 April 2011. Dengan ceria, lancar dan tanpa ditanya, dia bercerita mengenai soal-soal UAN yang dapat diselesaikannya. Mengenai guru-guru pengawas yang galak. Bahkan begitu galaknya hingga siswa/i yang terpaksa harus ke kamar kecil akan dikawal. Wah .....^_^ Tanpa bermaksud mendiskreditkan sekolah manapun, tapi begitulah suasana UAN dari tahun ke tahun. Ternyata tidak berubah. Ada yang begitu disiplin dan ketat seperti sekolah Mabelle dan Bimo dulu (Mabelle dan Bimo bersekolah di SMP yang sama, Bimo baru pindah sekolah ketika SMA karena bosan dengan lingkungan sekolahnya. Ya iyalah bagaimana nggak bosan,  TK, SD, SMP dan SMA dibawah naungan yayasan yang sama, bangunan sama hingga area olah ragapun sama) Karena itu Mabelle mendapat perlakuan sama seperti ketika Bimo menghadapi UAN SMP dan Ujian Akhir Sekolah (UAS) SMP. Siswa/i hanya diperbolehkan membawa tempat pensil berisi beberapa pensil 2B, penghapus, penggaris dan peraut pensil. Itupun diperiksa. Jacket, tas apalagi ponsel dilarang masuk ke ruang ujian. Pengawasnya? Galak-galak! Bahkan Mabelle bercerita pengawas yang memakai kacamata seperti memakai kacamata tembus pandang, karena seperti bisa melihat setiap kecurangan! Sok tahu dia. Anak sulung saya, Eko hampir seperti Bimo yang tidak banyak bicara. Tapi SMPnya berbeda dengan Bimo dan Mabelle. Dengan sedikit investigasi gaya seorang ibu,  saya mendapat pengakuan bahwa contekan itu beredar dalam bentuk kertas kecil dan SMS. Eko mengabaikan SMS dan kertas contekan dengan alasan takut malah bingung apabila mendapati jawaban yang berbeda. Walau diakuinya dia sempat melihat kertas contekan karena masih ada banyak sisa waktu dan iseng ingin tahu. "Ah, soal-soal UAN itu gampang ma. Lebih sulit soal UAS, tapi kita kan udah dapat soal-soal serupa sewaktu pemantapan" Yang dimaksud program pemantapan adalah program tambahan belajar yang diselenggarakan pihak sekolah dimana mata pelajaran kelas 1 hingga kelas 3 diulang dan diujikan dalam bentuk soal-soal. Selain soal-soal harian, diadakan juga Try Out untuk menguji sejauh mana hasil belajar siswa/i. Hasil Try Out biasanya tidak jauh berbeda dengan hasil UAN karena itu biasanya siswa/i mengejar target rangking tertinggi pada waktu Try Out. Selain program pemantapan, biasanya siswa/i kelas 3 mengikuti program bimbingan belajar (bimbel) yang banyak diadakan lembaga pendidikan luar sekolah. Tapi itupun tergantung si siswa/i, apabila dia merasa program belajar yang diberikan sekolah sudah cukup maka biasanya dia menolak program bimbel. Misalnya Mabelle yang menolak bimbel karena berpendapat bahwa program diluar sekolah hanya membuat tubuhnya capek. Sebelum Mabelle yang dengan senang hati bercerita panjang lebar mengenai UANnya, sebetulnya di tahun 2007 anak kedua saya Iyo mempunyai kisah lebih seru karena keduanya bertemperamen sama. Bedanya SMP keduanya berbeda sehingga pengalaman UANnya pun berbeda. "Aduh ma, saya tadi dapat contekan, tapi nggak saya percaya. Ternyata yang benar contekannya ma, jawaban saya salah" Ya ampun Iyo. Dengan geli sayapun bertanya prosesnya. Ternyata  tanpa diminta jawaban soal datang bersliweran baik berupa kertas jawaban A dan B (dimasa Iyo mengikuti UAN, soal sudah terbagi 2 yaitu A dan B), juga SMS karena ponsel dan jacket bebas masuk ke dalam kelas. Hanya tas sekolah yang disimpan di luar kelas. Dan seperti yang dikatakan kakaknya, soal-soal UAN itu gampang. Khususnya karena mereka sudah belajar, sudah menyiapkan fisik dan psikis sebaik mungkin. Sehingga soal bisa diselesaikan dalam waktu cepat. Yang menjadi pembeda, kakaknya melihat isi contekan sekedar iseng, sedangkan Iyo menggunakannya untuk menghitung kembali jawaban-jawaban yang berbeda. Semacam parameter, yang salah siapa. Karena contekan yang berasal dari jawaban guru biasanya tidak akan 100 % betul. Pasti ada 2 atau 3 soal yang sengaja dibuat salah, sehingga tidak menimbulkan kecurigaan. Sedangkan contekan yang berasal dari jawaban soal asli tentunya berisi jawaban 100 % benar. Masalahnya siswa/i tidak mengetahui ini jawaban guru yang "membantu" atau jawaban soal asli. Maka tidak heran, dihari kedua UAN, sepulang sekolah Iyo langsung mencari saya di dapur. "Ma, wah .....yang sekarang saya salah lagi" "Emang kenapa?" "Saya percaya jawaban contekan, jadi saya ganti jawaban saya. Eh ternyata jawaban saya yang bener, contekannya salah" Dengan terpaksa saya tersenyum. Karena Iyo mendapat pelajaran untuk menghargai hasil kerja diri sendiri melalui jalan berliku. Hal yang mungkin tak terjangkau dengan nasehat dari saya, ibunya. Situasi yang mengantar dia berproses sama baiknya dengan situasi yang diterima  Mabelle yang tak mendapat kesempatan menyontek tetapi mendapat semangat kedisiplinan dan kejujuran. Karena itu dengan hati-hati saya bercerita pada Mabelle bahwa suasana diluar gedung sekolahnya tak senyaman itu. Mengapa? Karena saya penasaran mendengar cerita Iyo. "Lho Yo, kok bisa sih dapat kertas contekan dan SMS? Guru pengawasnya kemana?" "Ah, guru pengawas sih ngobrol di depan kelas atau ditaman. Jadi kita bebas ma, tuker-tukeran jawaban". "Ha?!!" Entah harus berkata apa. Seperti telah saya tulis diatas, saya tidak mau mendiskreditkan sekolah khususnya para guru. Karena mereka mendapat tekanan untuk menyukseskan UAN walaupun untuk itu harus pura-pura tidak mengetahui bahwa murid-muridnya mencontek. Mereka sendiri sudah mempersiapkan  anak didiknya dengan cukup baik. Mulai dari pertemuan orang tua murid dan para guru termasuk Kepala Sekolah, Wakasek dan Komite Sekolah. Bahkan ada beberapa sekolah yang menggelar pertemuan hampir tiap bulan. Tujuannya untuk mengevaluasi, memberi diagram perkiraan passing grade sekolah tujuan hingga pemberian "therapy" untuk anak-anak yang berada di rangking 100 kebawah. Itu belum cukup, masih ada acara-acara yang membuat suasana makin mencekam, misalnya Istighosah menyambut UAN. Sedangkan Bimo, harus mengikuti muhasabah satu malam di sekolahnya. Untungnya Mabelle malah mendapat acara "cekakak-cekikik" karena berkumpul bersama teman-temannya untuk makan-makan sepuasnya selama satu hari penuh. Menurut saya ini positif, karena tekanan yang tidak perlu akan membuat anak yang mampu mengerjakan soal UAN malah menjadi grogi  dan tidak percaya diri. Teror akibat pernah ada sejumlah siswa/i SMAN favorit tidak lulus ujian harusnya tidak terjadi. Jangan-jangan merekapun terjebak dalam tekanan berlebihan untuk lulus UAN. Ambisi  Kepala Daerah karena tingginya tingkat kelulusan akan berdampak pada prestise  daerahnya akan menular ke sekolah. Dan yang apes tentunya apabila Kepala Sekolah  mengamini permintaan Kepala Daerahnya karena kelulusan 100 % anak didik membawa gengsi tersendiri bagi Sekolahnya. Pertanyaannya kemudian, sekolah didirikan untuk siapa? Kepala Sekolah? Kepala Daerah? Atau anak didik? Bukankah ketidaklulusan anak didik hanyalah keberhasilan yang tertunda? [caption id="attachment_201911" align="aligncenter" width="575" caption="Tiap anak berbeda sekolahnya......tapi sama2 seneng foto bareng"][/caption] [caption id="" align="alignnone" width="648" caption="Bingung mencari anak!! ......... ternyata di kanan atas "][/caption]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun