Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ajip Rosidi, Doktor tanpa Ijazah yang Tak Kenal Lelah Mengingatkan

5 Februari 2011   19:10 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:52 2323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ajip Rosidi, Berkibar Tanpa Ijazah

[caption id="" align="alignnone" width="384" caption="Ajip Rosidi, Berkibar Tanpa Ijazah"][/caption] Apabila di Kompasiana ada Gustaaf Kusno , Kompasianer yang rajin membedah kata yang sering ditemukan dalam perbincangan sehari-hari, maka di harian Pikiran Rakyat ada Ajip Rosidi. Hadir setiap Sabtu dalam kolom “Stilistika”, mengingatkan kolom yang sama yang disediakan majalah Intisari , “Bahasa Kita” yang pernah diisi oleh Yus Badudu dan Anton M.Moeliono. Tapi berbeda dengan para pakar bahasa diatas, Ajip Rosidi, Sastrawan dan Budayawan Sunda membuktikan eksistensi dirinya dengan sederet prestasi tanpa selembar ijazahpun! Lahir di Jatiwangi , Jawa Barat, 31 Januari 1938. Pendidikan tidak tamat SMA, apalagi kuliah hingga S1, S2 dan S3. Walau tidak tamat SMA, jangan ditanya kiprahnya ! Tahun 1967 Ajip diangkat sebagai dosen luarbiasa pada Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran, Bandung. Ajip juga sering memberikan kuliah di berbagai perguruan tinggi di seluruh Indonesia. Bahkan tahun 1981 hingga 2003, Ajip diangkat sebagai visiting professor dan guru besar luar biasa   di beberapa perguruan tinggi di Jepang. Tepat pada hari ulang tahunnya yang ke-73, Senin (31/1) Ajip Rosidi mendapat anugerah gelar honoris causa dari Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran sebagai tokoh yang berpengaruh dalam ilmu budaya dan sastrawan Sunda. Tim promotor Ajip untuk anugerah ini adalah Prof. Dr, Ir Ganjar Kurnia, D.E.A., (Rektor Unpad) , Prof. Dr. H.Dadang Suganda, M.Hum., dan Prof. Dr. Cece Sobarna, M.Hum. Pada kesempatan itu Ajip menyampaikan orasi ilmiah bertajuk “Urang Sunda di Lingkungan Indonesia” .Uniknya dan untuk pertama kalinya orasi ilmiah dalam penganugerahan honoris causa disampaikan dengan bahasa Sunda. Dalam orasi ilmiahnya Ajip mengungkapkan penyesalannya karena jarang sekali ada orang Sunda yang tampil di gelanggang nasional. Hal ini tidak seimbang dengan kenyataan bahwa jumlah orang Sunda nomor dua diantara suku bangsa yang membentuk Indonesia. Hal tersebut disebabkan karena karakter orang Sunda yang suka menipu diri sendiri dengan jalan menutupi kenyataan dengan kata-kata yang menyenangkan hati sendiri. Tidak berani bersaing dengan orang lain sebab tidak mempunyai rasa percaya diri. Tidak punya kebanggaan sebagai orang Sunda sehingga banyak yang merasa malu menjadi orang Sunda. Padahal menjadi orang Sunda adalah ketentuan Allah SWT yang harus disyukuri. [caption id="" align="alignnone" width="165" caption="Ajip Rosidi"][/caption] Orasi ilmiah ini jelas mempunyai tujuan besar, membangkitkan semangat dan kepercayaan diri Urang Sunda serta menunjukkan dengan kerja keras, keuletan dan semangat pantang menyerah pasti semua jerih payah akan menunjukkan hasilnya. Walau sebetulnya himbauannya tidak sekedar untuk Urang Sunda, bisa diterima semua Anak Bangsa Indonesia yang sering minder dengan keIndonesiaannya atau sebaliknya justru abai dengan keIndonesiaannya. Ketidak pedulian yang paling disorot Ajip tentu saja mengenai bahasa Indonesia. Dalam salah satu kolom Stilistika, Ajip menulis tentang kesungguhan pemerintah Malaysia mengembangkan dan mempromosikan bahasa Melayu. Padahal seperti kita ketahui di Malaysia terdapat banyak bahasa resmi selain bahasa Malaysia yaitu bahasa Cina, Inggris dan Tamil. Akan tetapi yang dimajukan dengan sungguh-sungguh adalah bahasa Malaysia. Pemerintah Malaysia melakukan langkah-langkah di dalam negeri antara lain dengan membina dan mendorong agar orang banyak menulis karya ilmu dan karya sastra dalam bahasa Malaysia. Malaysia juga agresif mempromosikan bahasanya dengan menyediakan tenaga pengajar yang biayanya ditanggung pemerintah Malaysia bagi perguruan tinggi di luar negeri yang mengajarkan bahasa Malaysia. Pemerintah Malaysia juga menyediakan dana untuk mengundang para sarjana bahasa dan sastra Indonesia untuk memperhatikan dan membuat penelitian tentang bahasa dan sastra Malaysia yang hasilnya kemudian diterbitkan oleh Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP). Karena sikap dan langkah ini, banyak ahli mancanegara tentang bahasa dan sastra Indonesia. “berhijrah” menjadi pemerhati, peneliti dan penerjemah bahasa Malaysia, antara lain Dr. Monique Lajoubert dari Perancis, Dr Wendy Mukherjee dan Harry Aveling dari Australia dan alm Prof. Parnickel dari Rusia. Oleh karena itu , kita tak usah merasa heran apalagi cemburu apabila ternyata perhatian orang dan sarjana asing terhadap bahasa dan sastra Malaysia meningkat sementara perhatian terhadap bahasa dan sastra Indonesia mengecil . Ajip juga menulis bahwa bangsa Indonesia tidak memiliki kemauan karena tidak memiliki kesadaran akan arti kebudayaan, kesenian dan bahasa serta sastra bagi bangsa. Kita menganggap kebudayaan itu hanya seperti komoditi yang laku dijual karena itu kebudayaan disatukan dalam satu departemen dengan pariwisata. Kita menganggap kebudayaan itu sejenis dengan pariwisata, yaitu sesuatu yang digemari oleh orang asing sehingga mereka bersedia mengeluarkan dolar. Kita melihat kebudayaan sebagai sumber devisa. Kita tidak pernah menganggap kebudayaan itu sebagai proses yang mempengaruhi eksistensi kita sebagai bangsa. Sebagai penutup, selain prihatin terhadap pemahaman masyarakat tentang kebudayaan, Ajip juga menulis keprihatinan atas nasib “ budayawan” sebagai berikut : Memang kita tidak tahu manusia macam apa sebenarnya “budayawan” itu. “sastrawan” kita tahu, ialah orang yang berolah sastra. “wartawan” ialah orang yang biasa membuat atau terlibat dengan kegiatan jual beli warta. “dramawan” ialah orang yang aktif dalam bidang drama atau teater. “seniman” ialah orang yang berkesenian, menciptakan kesenian. Akan tetapi “budayawan”? Asal ada orang yang tidak jelas masuk kedalam “wan” yang lain, mudah saja disebut budayawan. Artinya budayawan adalah yang bukan sastrawan, yang bukan dramawan, yang bukan seniman, yang bukan wartawan …….. Ó Setuju ? Sumber : Pikiran Rakyat 15 Januari 2011 Pikiran Rakyat 1 Februari 2011 Catatan Supardiyono Sobirin, 31 Januari 2011 Sumber foto :  disini dan   disana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun