Hak perempuan merupakan hak fundamental yang wajib dijamin oleh negara dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sosial, ekonomi, dan politik. Akan tetapi, implementasinya masih seringkali jauh dari harapan. Perempuan pun telah lama menghadapi isu kesetaraan gender yang umumnya disebabkan oleh pengaruh budaya patriarkis yang mengakar di masyarakat. Konsep yang sejak lama berkembang ini pada dasarnya menganalogikan seorang pemimpin sebagai "ayah" (patriarch). Sebagai akibatnya, hal ini membatasi ruang gerak perempuan dalam pemenuhan hak-hak mereka.Â
Dalam perkembangan politik Indonesia yang semakin dinamis, partisipasi politik perempuan menjadi salah satu hak paling penting yang perlu diperjuangkan saat ini. Partisipasi politik tersebut berkaitan dengan keterwakilan perempuan secara politik dalam menempati posisi atau jabatan strategis di bangku pemerintahan. Keterwakilan politik (political representative) itu sendiri pun diartikan sebagai terwakilinya kepentingan  anggota  masyarakat  termasuk perempuan  di  lembaga  legislatif melalui proses politik (Azis, 2013). Dengan demikian, partisipasi perempuan tidak hanya sebatas menduduki jabatan strategis, namun juga perlu diberikan ruang untuk menyalurkan aspirasi dan kepentingan mereka dalam proses pembuatan kebijakan publik. Menimbang pentingnya hal ini, pemerintah Indonesia telah berupaya meningkatkan partisipasi serta representasi perempuan dalam bidang politik lewat penetapan kebijakan affirmative action.
Kebijakan Afirmatif mulai diimplementasikan menjelang pemilu tahun 2004 sebagai bentuk "himbauan" bagi partai politik untuk mencalonkan sekurang-kurangnya 30% perempuan di dalam daftar calon legislatif (UU Pemilu Nomor 12 / 2003). Seiring waktu, kebijakan affirmative  action  terhadap perempuan semakin disempurnakan dalam berbagai paket undang-undang. Beberapa undang-undang tersebut antara lain, yaitu UU No. 12 tahun 2003, UU No. 2 Tahun 2008, UU No. 10 tahun 2008, dan UU No 7 Tahun 2017 (Kiftiyah, 2019). Pada dasarnya, kebijakan ini dirancang sebagai upaya negara dalam menguatkan keterwakilan perempuan di legislatif. Akan tetapi, dalam praktiknya, penulis mengamati bahwa meskipun terdapat peningkatan jumlah perempuan, angkanya tidak pernah menembus kuota yang ditetapkan dan mekanismenya belum memadai. Dengan demikian, hal ini menimbulkan pertanyaan: apakah kebijakan ini benar-benar telah terimplementasi secara efektif, baik dari perspektif negara maupun agama, atau hanya sekadar langkah formalitas ?
Tesis yang mendasari diskusi ini adalah bahwa meskipun kebijakan affirmative action berpotensi meningkatkan partisipasi perempuan dalam politik, namun ada tantangan signifikan yang membututi. Tantangan tersebut datang baik dari aspek implementasi negara yang masih normatif, maupun pengaruh nilai-nilai agama yang cenderung patriarkis dalam masyarakat. Selain itu, tantangan terbesar yang dihadapi dalam penerapan affirmative action juga terkait dengan cara memastikan perempuan yang terpilih benar-benar memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan dan bukan hanya menjadi "pelengkap" partai politik untuk memenuhi persyaratan kuota. Hal ini menjadi suatu aspek penting yang perlu diperhatikan karena hak perempuan untuk terlibat dalam partisipasi politik tidak hanya berbicara soal keterwakilan angka, melainkan juga tentang membuka ruang bagi perspektif dan suara perempuan di berbagai tingkatan pemerintahan.Â
Efektivitas dan Tantangan Kebijakan Affirmative Action
Jika kita meninjau kembali mengenai efektivitas pemenuhan affirmative action, sebenarnya persentase partisipasi perempuan dalam meraih kursi DPR tidak pernah mencapai 30%. Berdasarkan data KPU, representasi perempuan di DPR pada Pemilu 2014-2019 hanya mencapai 17,32% atau 97 orang; Pemilu 2019-2024 sebesar 20,87% atau 120 orang; dan Pemilu 2024 sebanyak 21,90% atau 127 orang. Rendahnya perolehan angka ini sangat disayangkan karena representasi perempuan dengan proporsi seimbang dalam ranah politik sangatlah penting. Dalam hal ini, Ann Philips (1995) juga berpendapat bahwa dengan menghadirkan identitas perempuan secara proporsional, maka akan mendorong kesetaraan, keadilan, dan kepentingan perempuan, serta memberikan akses sumber daya bagi kesejahteraan seluruh masyarakat. Maka dari itu, sangat penting bagi pemerintah untuk mendorong keterwakilan perempuan dalam parlemen agar hak-hak mendasar perempuan dapat terakomodasi lewat setiap butir-butir pasal yang tertuang dalam rumusan kebijakan publik. Namun, realitanya kebijakan affirmatif pun belum mampu memenuhi harapan tersebut.
Berkaca dari pemilu 2024, implementasi kebijakan affirmative action ternyata masih juga belum bisa memenuhi standar kuota 30% yang telah ditetapkan. Menurut data yang dirilis dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), terdapat 21,90% atau 127 perempuan yang terpilih untuk duduk di bangku parlemen pada kontestasi Pemilu 2024. Angka ini menunjukan peningkatan dari hasil Pemilu 2019 yang mencatatkan keterwakilan perempuan sejumlah 20,87%. Namun, pertambahan sebesar 1,56% bukan merupakan prestasi yang patut dibanggakan. Pasalnya, angka ini masih cukup jauh dari aturan minimal yang diisyaratkan oleh undang-undang.
Melihat stagnansi angka keterpilihan perempuan dalam parlemen, penulis menilai bahwa perlu adanya reformasi kebijakan dan penegakan hukum dalam mengatasi kendala implementasi affirmative action. Salah satu tantangan yang seringkali dihadapi adalah terkait ketidakseriusan partai dalam mendorong keterwakilan perempuan dan hanya sekadar menganggap affirmative action sebagai formalitas dalam memenuhi kuota legislatif. Argumen ini diperkuat oleh pernyataan dari peneliti Perludem--Heroik Pratama-- yang menyatakan bahwa kuota affirmative action yang tidak pernah terpenuhi disebabkan oleh faktor lemahnya dukungan partai politik terhadap perempuan. Lemahnya dukungan ini juga diperparah oleh ketidakefektifan aturan yang berlaku dan belum adanya sanksi yang diberikan apabila partai melanggar aturan tersebut (Dinata, 2020)
Selain itu, sejumlah partai politik juga belum dapat memberikan contoh dalam mendorong keterwakilan perempuan yang signifikan. Mengacu pada hal ini, Dr. Ana Sabhana Azmy, M.I.P. --dalam FGD mengenai Women and Islam di kanal YouTube Chusnul Mariyah Official-- menyatakan bahwa bahkan PDIP sebagai partai besar hanya dapat menghadirkan 26 caleg perempuan dari total 128 dalam kontestasi pemilu 2024 lalu. Hal ini tentunya sangat disayangkan mengingat partai tersebut telah memiliki sarana sekolah partai yang diharapkan mampu mendukung pengembangan kapasitas caleg perempuan. Bisa dibayangkan, partai besar seperti PDIP yang telah memiliki infratruktur pendukung saja belum dapat meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen, lalu bagaimana dengan partai kecil lain yang bahkan tidak memiliki fasilitas serupa? Menanggapi pertanyaan ini, Dr. Ana Sabhana Azmy, M.I.P. dalam diskusi yang sama, juga mengkritik bahwa banyak partai politik yang masih kurang memberikan support dari segi pendidikan, pelatihan, dan "ongkos politik" bagi para caleg perempuan. Hal ini menunjukkan kurangnya komitmen partai dalam mendorong partisipasi politik perempuan secara substansial. Dengan demikian, kesan yang didapatkan dalam kebijakan kuota dalam affirmative action jadi terkesan sangat administratif. Â Â
Kurang efektifnya penetapan kuota perempuan dalam pemilu menginsyaratakan bahwa perlu ada kebijakan afirmatif yang lebih konkret dalam menanggapi persoalan pemenuhan hak partisipasi politik perempuan. Data yang tersedia menunjukan bahwa upaya meningkatakan keterwakilan perempuan di parleman tidak cukup jika hanya mengejar kuota atau angka. Maka dari itu, salah satu langkah yang dapat dilakukan adalah untuk memperkuat aturan yang mendorong partai politik untuk memberikan nomor urut satu kepada perempuan dalam setiap daerah pemilihan. Hal ini tentu bukan tanpa alasan. Pemilih seringkali memiliki kecenderungan untuk memilih calon legislatif yang berada di nomor urut strategis, seperti nomor 1 atau 2 (Prihatini, 2019). Fenomena ini dibuktikan pada pemilu 2019, ketika Margret dkk. (2022) menemukan bahwa 48% caleg perempuan terpilih menempati nomor urut 1, sementara 25% berada di nomor urut 2.
Analisis Melalui Perspektif Negara dan Agama