Namaku Meredith Parlor. Aku terlahir di keluarga sederhana di wilayah Kerajaan Kerlington. Di wilayah kerajaan ini, masyarakat yang sedang mengenyam pendidikan, juga wajib menjalani latihan khusus untuk menentukan status, peran sosial dan kekuatan rahasia yang akan diperoleh. Jika sudah lulus tahap pertama, akan disebut Ellection Human yang merupakan status terendah dimana yang mendapatkannya memperoleh kekuatan untuk mengendalikan elemen-elemen di bumi saja, selanjutnya disebut Veridian Human dimana yang mendapatkannya mempunyai kekuatan tambahan yaitu mengendalikan peristiwa alam di bumi, dan tahap terakhir disebut Delusion Human yang merupakan status tertinggi dimana yang mendapatkannya akan memiliki kekuatan untuk mengendalikan semua elemen di bumi, peristiwa alam, dimensi, waktu dan pikiran orang. Raja kami memberi peraturan bahwa untuk mendapatkan gelar Delusion Human harus sudah berusia minimal 25 tahun. Namun,aku sudah mendapat gelar Delusion Human di usia 20 tahun. Aku berusaha kabur dari kediamanku demi menghindari hukuman raja dan menyembunyikan identitasku sebagai seorang Delusion Human.
“Sam, Sam, kemarilah”, panggilku dari dalam kamar. “Ya, ada apa, bu?”, tanya ayah ketika menghampiri ibu. “Meredith tidak ada. Aku sudah periksa kamarnya, namun Meredith tak kutemukan, tidak ada satu pesanpun yang diberikannya”, tangisku dipelukan ayah. “Sungguh? Ayo kita periksa seluruh sudut rumah ini, kalau Meredith tidak juga ditemukan, kita akan melapor pada sersan”, ujar ayah memeluk dan menenangkan ibu. (Pemeriksaan dilakukan namun Meredith tak juga ditemukan). “Bu, kita harus melapor pada sersan tentang hilangnya Meredith. Aku sudah menelepon, tapi handphonennya tidak aktif. Bersiap-siaplah, aku tunggu di mobil”, kata ayah. “Baiklah ayah”, kata ibu sembari menghapus air matanya lalu bersiap-siap.
Di markas sersan...
“Sersan, anakku, Meredith Parlor menghilang. Bisakah kau melacak dimana keberadaannya?”, kata ayah pada Sersan Dunn. “Baiklah, mari ke ruang deteksi”, ajak Sersan Dunn.
Di ruang deteksi...
“Siapa namamu, tuan?”, tanya Sersan Dunn. “Sam Chris Parlor, dan ini istriku Cassie Parlor”, jawab ayah dilanjutkan Sersan Dunn memasukkan namanya ke mesin deteksi. Beberapa saat kemudian... “Tuan Sam, keberadaan anakmu belum diketahui saat ini. Tapi mesin mendeteksi bahwa anakmu telah meninggalkan wilayah ini karena pelanggaran hukum raja, dia telah menjadi Delusion Human pada usia 20 tahun. Dia sengaja merekonstruksi darahnya agar serupa dengan manusia biasa agar tidak mudah dikenali. Ini masalah yang serius, tuan. Terimakasih sudah memberitahu kami. Kami akan segera mengerahkan pasukan untuk menangkap dan mengadili anakmu. Sebaiknya kau pulang, serahkan semua pada kami dan jika ada perkembangan kami akan menghubungimu”, ujar Sersan Dunn. “Apa? Aku tidak percaya ini”, gumam ayah lalu kembali pulang bersama ibu.
“Semuanya harap berkumpul. Ada masalah serius yang harus kita hadapi”, ujar Sersan Dunn memberi pengumuman. “Meredith Parlor, putri dari Sam Chris Parlor dan Cassie Parlor telah melanggar hukum raja. Dia telah menjadi Delusion Human di usia 20 tahun, usia yang masih sangat muda. Dia juga menghilangkan jejak dengan merekonstruksi darahnya seperti manusia biasa agar tidak mudah dikenali. Seperti kita tahu bahwa mesin pendeteksi dapat mendeteksi apakah dia Delusion Human atau tidak dan apakah syarat untuk mendapatkan gelar itu sudah dipenuhi semua atau tidak melalui darah dan pikiran orang itu. Persiapkanlah senjata, borgol dan alat-alat uji, sisirlah seluruh wilayah dan daerah-daerah potensial baginya melarikan diri, lalu temukan dia dan bawa kemari untuk diinterogasi dan diadili”, ujar Sersan Dunn lagi diikuti angggukan awaknya lalu bergegas menuju ke ruangan yang lebih kecil. “Anak itu punya nyali yang besar untuk melawan hukum raja, tapi kita lihat saja nanti apakah kau masih bisa lolos, anak muda”
Di kampus...
(suara sedikit menjerit) “Maaf, telah menabrakmu. Kau tak apa?”, sapa seorang laki-laki di sebelahku. “Ya tak apa”, jawabku singkat. “Kau mahasiswa baru disini? Kenalkan namaku Ben Starling. Siapa namamu?”, tanyanya sambil mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menjawab sambil menjabat tangannya, “Iya. Namaku Meredith Parlor. Kau bisa panggil aku Merry. Itu nama panggilanku sejak kecil”. “Hmm, baiklah. Oh ya, dimana kelasmu?”, tanya Ben lagi. “A05”, jawabku. “Kelas yang sama denganku. Ayo kita berangkat bersama”, lanjut Ben. “Baiklah. Ngomong-ngomong mengapa kau menatapku seperti itu?”, tanyaku bingung. “Hmm, tak apa-apa. Kau terlihat cantik”, bisik Ben di telingaku. Aku tersenyum dan melanjutkan perjalanan menuju kelas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H