Sakura sejak lama. Pikirnya, pernikahan selalu berakhir bahagia seperti yang dialami sahabatnya, Emi.Â
Kehidupan sempurna ala Cinderella telah menjadi dambaanDitambah dirinya yang kini berada di usia emas untuk memulai bahtera rumah tangga. Semestapun seolah berpihak pada Sakura, mempertemukannya dengan seorang pangeran mapan yang ia selamatkan saat tengah mabuk berat di jalanan.Â
Hubungan yang awalnya dianggap utang budi, lambat laun berbuah manis. Keduanya memantapkan hati untuk meresmikan hubungan 'kilat' mereka secara legal. Sakura makin percaya bahwa Kota-lah pangeran yang benar-benar ditakdirkan untuknya.Â
Pemberian kamar rawat inap kakeknya yang berharga fantastis, ayahnya yang dipermudah dalam mencari kerja, adiknya yang dibantu belajar mempersiapkan ujian masuk universitas secara sukarela menjadi serentetan alasannya.Â
Dalam hati saya, gila benar-benar beruntung sekali si Sakura ini, dengan gampangnya ia bertemu dengan sosok laki-laki tampan, baik, mapan lagi. Gimana gak klepek-klepek coba?Â
Kalau saya baca kisahnya hanya sampai disini, sudah pasti saya akan peluk Kota erat-erat dan takkan saya lepaskan eaaa.Â
Tapi mengingat setelah itu si Kota menunjukkan perangai aslinya yang psycho, saya memilih mundur teratur. Kota sangat gila menurut saya. Dia rela berjuang mati-matian membela anaknya yang jelas-jelas bersalah dengan menghalalkan segala cara.Â
Terakhir, dia sengaja menyuntikkan insulin pada teman-teman dan guru Kaori saat program vaksinasi dijadwalkan. Ekspresinya? Tersenyum lebar-lebar, sumringah seolah tak takut dengan penyelidikan polisi.Â
Parahnya, Sakura justru mendukung, malah dialah yang mendalangi semuanya. Jadi seperti inikah kehidupan Cinderella yang diidam-idamkan Sakura?Â
Dimana letak 'happily ever after'nya? Padahal saya sudah senang Sakura sempat sedikit 'tercerahkan' dan memutuskan kabur dari kediaman Kota.Â
Tapi kok akhirnya begini? Saya gagal paham dengan perubahan drastis Sakura di ending novel terbaru Akiyoshi Rikako ini.Â